Ilustrasi dari Inet
Saudaraku…
Di malam yang hening itu, saat banyak orang sedang terbuai di alam mimpi, Ali bin Husein atau yang lebih dikenal dengan Zainul Abidin ra bermunajat dan berdo’a kepada Allah Swt dengan deraian air mata. Ia menangis tersedu-sedu di pelataran Ka’bah. Suatu tempat yang diijabahi do’a seorang hamba. Terlebih do’a yang terutus di pertengahan malam, saat Allah Swt turun ke langit dunia, untuk mendengarkan permohonan hamba-Nya dan mengabulkan permintaannya.
Ia larut dalam kekhusyua’an dan lautan munajat. Tanpa ia sadari ada orang shalih lain yang sedang memperhatikannya.
Setelah tangisannya berhenti, Thawus bin Kisan rahimahulah menghampirinya seraya berucap, “Wahai cucu Rasulullah, mengapa engkau menangis seperti ini, sementara engkau memiliki tiga keistimewaan yang tak dipunyai orang lain:
Pertama, engkau adalah cucu Rasulullah saw.
Kedua, engkau akan mendapat syafaat dari kakekmu.
Ketiga, keluasan rahmat-Nya untukmu.”
Zaenul Abidin menjawab,
“Adapun hubungan nasabku dengan Rasulullah, bukan merupakan garansi keselamatanku di akherat sana setelah aku mendengar firman Allah Swt, “Apabila sangkakala ditiup, maka tidak ada lagi pertalian nasab di antara mereka pada hari itu dan tidak ada pula mereka saling bertanya.” Al Mu’minun: 101.
Sedangkan syafaat Nabi saw, maka Allah Swt berfirman, “Dan mereka tiada memberi syafa’at melainkan kepada orang yang diridhai Allah.” Al Anbiya’: 28.
Dan terakhir, terkait rahmat Allah, Dia berfirman, “Sesungguhnya rahmat Allah itu amat dekat kepada orang-orang yang berbuat baik.” Al A’raf: 56.
Saudaraku..
Menangis merupakan salah satu fitrah yang tidak dapat dipisahkan dari diri kita. Pernahkah kita menghitung berapa kali kita menangis dalam hidup kita? Dan untuk apa kita menangis? Dan bukankah kita menangis ketika kita pertama kali melihat alam dunia, yang sebelumnya berada di alam rahim?
Ada banyak faktor yang menyebabkan kita menangis. Bisa jadi karena kita terkenang dengan hutang yang melilit leher. Atau menahan sakit karena ada luka menganga di tubuh. Atau tak kuat menghadapi musibah besar yang menyapa kita. Kepergian orang-orang dekat dan terkasih dan seterusnya.
Air mata pun mempunyai makna tersendiri. Ada air mata yang melambangkan rahmat dan kasih sayang. Ada yang mengandung nilai kelemahan diri dan cengeng dalam menghadapi persoalan hidup. Ada air mata buaya. Ada air mata pura-pura. Ada tangis bahagia dan syukur. Dan ada air mata yang tertumpah karena takut kepada azab Allah Swt.
Itu artinya, air mata ada yang bernilai positif dan ada yang negative. Dan bahkan ada yang bernilai ibadah di sisi Allah Swt.
Dalam kitab “Hilyatul Auliya” disebutkan bahwa Yazid bin Maesarah membagi tangisan menjadi tujuh macam; menangis karena bahagia, menangis karena sedih, rasa takut mencekam, riya, menahan rasa sakit, ungkapan rasa syukur dan menangis karena takut kepada Allah Swt, menangis karena takut kepada Allah inilah yang akan dapat memadamkan api neraka yang besarnya laksana gunung.”
Saudaraku..
Menangis karena takut kepada Allah Swt, itulah air mata yang menetes dari kelopak mata cucu Rasulullah saw, Zainul Abidin.
Air mata yang tak akan mengalir dari hati yang telah gelap karena dosa. Jiwa yang kotor lantaran maksiat. Kalbu yang ternodai debu-debu kealpaan.
Itulah jenis air mata yang akan memadamkan dahyatnya api neraka, sebagaimana sabda Nabi saw, “Tidak akan masuk neraka seseorang yang menangis karena takut kepada Allah, sehingga susu kembali ke payudara.” H.R. Tirmidzi dan Nasa’i.
Saudaraku…
Menjadi manusia akherat, itulah kuncinya agar air mata kita mudah meleleh lantaran takut kepada Allah Swt.
Berbagai keistimewaan yang dimiliki oleh Zainul Abidin ra; cucu Nabi saw, jaminan syafa’at dan luasnya rahmat Allah bagi ahlul bait bukan menjadikannya bangga diri. Namun membuat hatinya diselimuti rasa takut, jikalau hal itu justru bisa menggelincirkan dan melemparkannya ke dalam neraka.
Dan jawaban cucu Nabi yang zuhud, ahli ibadah dan suka berderma secara rahasia ini, merupakan teguran bagi mereka yang selalu membanggakan diri sebagai habib dan ahlul bait, tanpa diimbangi dengan keluhuran budi pekerti, ukiran amal-amal shalih, mendaki puncak ubudiyah dan menangis karena takut kepada Allah Swt.
Kita terkenang dengan beberapa bait syair di masa dulu,
“Menangislah agar tangisan itu
dapat mengingatkan kita
Akan hari-hari mati
yang pastinya datang.
Dunia hanya pinjaman”
Saudaraku…
Sudahkah kita menagis hari ini? Dan karena apa kita menangis? Wallahu a’lam bishawab.
- See more at: http://inspirasiislami.com/index.php/2012/03/biarkan-air-mata-kita-menetes/#sthash.Mo5cqpdh.dpuf