Kamis, 22 Agustus 2013

Pembagian Potensi Amal



Seorang tokoh ahli ibadah menulis surat kepada Imam Malik rahimahumallah, yang berisi ajakan untuk beruzlah (mengisolir diri) dan menyibukkan diri dengan ibadah ritual individual seperti shalat, dzikir, baca Al-Qur’an dan semacamnya.
Dan ini jawaban Imam agung tersebut: “Sesungguhnya Allah Ta’ala telah membagi-bagi potensi amal (diantara hamba-hamba-Nya) sebagaimana Dia membagi-bagi rezeki (diantara mereka). Sehingga boleh jadi ada orang yang lebih dimudahkan (potensi dan kesiapannya) dalam hal shalat, tapi tidak demikian dalam hal puasa. Ada pula yang lebih dimudahkan dalam bidang sedekah, tapi tidak begitu dalam hal puasa. Lalu ada orang lain lagi yang lebih diberi potensi dalam hal jihad, tapi tidak seperti itu dalam hal shalat. Sedangkan menyebarkan ilmu serta mengajarkannya, adalah termasuk bentuk amal kebajikan yang paling mulia. Dan aku sungguh telah rela dengan potensi ilmu yang telah Allah bukakan untukku. Dan aku tidak yakin bahwa, bidang amal (yakni menyebarkan ilmu) yang aku tekuni ini lebih rendah dibandingkan dengan bentuk amal (yakni ibadah ritual individual) yang Engkau jalani.
Namun di saat yang sama aku tetap berharap bahwa, masing-masing kita (meskipun bidang prioritas amal berbeda) sama-sama berada dalam kebaikan dan kebajikan. Dan (yang lebih penting), setiap kita wajib legowo dengan potensi amal yang dibagikan untuknya (tentu untuk kemudian mengoptimalkannya).Wassalam”.
Ahmad Mudzoffar Jufri
- See more at: http://inspirasiislami.com/index.php/2011/12/pembagian-potensi-amal/#sthash.3bYy2Wdk.dpuf

Sudahkah Kita Memiliki Amal Unggulan ?



Ada sebuah kisah yang pernah di ceritakan Rasulullah kepada para sahabat untuk memberi pelajaran hidup tentang pertolongan Allah kepada 3 Pemuda yang terjebak di dalam sebuah gua dan memberi pelajaran tentang pentingnya amal unggulan bagi setiap manusia.
Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda dalam sebuah hadits:
خَرَجَ ثَلاَثَةٌ يَمْشُونَ فَأَصَابَهُمْ الْمَطَرُ فَدَخَلُوا في غَارٍ في جَبَلٍ فَانْحَطَّتْ عليهم صَخْرَةٌ قال فقال بَعْضُهُمْ لِبَعْضٍ ادْعُوا اللَّهَ بِأَفْضَلِ عَمَلٍ عَمِلْتُمُوهُ فقال أَحَدُهُمْ اللهم إني كان لي أَبَوَانِ شَيْخَانِ كَبِيرَانِ فَكُنْتُ أَخْرُجُ فَأَرْعَى ثُمَّ أَجِيءُ فَأَحْلُبُ فَأَجِيءُ بِالْحِلَابِ فَآتِي بِهِ أَبَوَيَّ فَيَشْرَبَانِ ثُمَّ أَسْقِي الصِّبْيَةَ وَأَهْلِي وَامْرَأَتِي فَاحْتَبَسْتُ لَيْلَةً فَجِئْتُ فإذا هُمَا نَائِمَانِ قال فَكَرِهْتُ أَنْ أُوقِظَهُمَا وَالصِّبْيَةُ يَتَضَاغَوْنَ عِنْدَ رِجْلَيَّ فلم يَزَلْ ذلك دَأْبِي وَدَأْبَهُمَا حتى طَلَعَ الْفَجْرُ اللهم إن كُنْتَ تَعْلَمُ أَنِّي فَعَلْتُ ذلك ابْتِغَاءَ وَجْهِكَ فَافْرُجْ عَنَّا فُرْجَةً نَرَى منها السَّمَاءَ قال فَفُرِجَ عَنْهُمْ وقال الْآخَرُ اللهم إن كُنْتَ تَعْلَمُ أَنِّي كنت أُحِبُّ امْرَأَةً من بَنَاتِ عَمِّي كَأَشَدِّ ما يُحِبُّ الرَّجُلُ النِّسَاءَ فقالت لَا تَنَالُ ذلك منها حتى تُعْطِيَهَا مِائَةَ دِينَارٍ فَسَعَيْتُ فيها حتى جَمَعْتُهَا فلما قَعَدْتُ بين رِجْلَيْهَا قالت اتَّقِ اللَّهَ ولا تَفُضَّ الْخَاتَمَ إلا بِحَقِّهِ فَقُمْتُ وَتَرَكْتُهَا فَإِنْ كُنْتَ تَعْلَمُ أَنِّي فَعَلْتُ ذلك ابْتِغَاءَ وَجْهِكَ فَافْرُجْ عَنَّا فُرْجَةً قال فَفَرَجَ عَنْهُمْ الثُّلُثَيْنِ وقال الْآخَرُ اللهم إن كُنْتَ تَعْلَمُ أَنِّي اسْتَأْجَرْتُ أَجِيرًا بِفَرَقٍ من ذُرَةٍ فَأَعْطَيْتُهُ وَأَبَى ذَاكَ أَنْ يَأْخُذَ فَعَمَدْتُ إلى ذلك الْفَرَقِ فَزَرَعْتُهُ حتى اشْتَرَيْتُ منه بَقَرًا وَرَاعِيهَا ثُمَّ جاء فقال يا عَبْدَ اللَّهِ أَعْطِنِي حَقِّي فقلت انْطَلِقْ إلى تِلْكَ الْبَقَرِ وَرَاعِيهَا فَإِنَّهَا لك فقال أَتَسْتَهْزِئُ بِي قال فقلت ما أَسْتَهْزِئُ بِكَ وَلَكِنَّهَا لك اللهم إن كُنْتَ تَعْلَمُ أَنِّي فَعَلْتُ ذلك ابْتِغَاءَ وَجْهِكَ فَافْرُجْ عَنَّا فَكُشِفَ عَنْهُمْ
“Tiga orang (dari orang-orang terdahulu sebelum kalian) keluar berjalan lalu turunlah hujan menimpa mereka, maka mereka lalu masuk ke dalam gua di sebuah gunung. Lalu jatuhlah sebuah batu (dari gunung hingga menutupi mulut gua), lalu sebagian mereka berkata kepada yang lainnya, “Berdoalah kepada Allah dengan amalan yang terbaik yang pernah kalian amalkan!”. Maka salah seorang diantara mereka berkata, “Ya Allah aku memiliki dua orang tua yang telah tua , (pada suatu waktu) aku keluar untuk menggembala dan aku kembali, Setelah aku memerah susu maka aku datang membawa susu kepada mereka berdua sehingga mereka berdua minum kemudian aku memberi minum anak-anakku, keluargaku, dan istriku. Pada suatu malam aku terlambat pulang dan ternyata mereka berdua telah tertidur (maka akupun berdiri di dekat kepala mereka berdua aku dan tidak ingin membangunkan mereka berdua dan aku tidak ingin memberi minum anak-anakku), maka aku tidak ingin membangunkan mereka berdua padahal anak-anakku berteriak-teriak menangis di kedua kakiku (dan aku tetap diam di tempat dan gelas berada di tanganku, aku menunggu mereka berdua bangun dari tidur mereka) dan demikian keadaannya hingga terbit fajar. Ya Allah jika Engkau mengetahui bahwasanya aku melakukan hal itu karena mengharap wajahMu maka bukalah bagi kami celah hingga kami bisa melihat langit”, maka dibukakan celah bagi mereka.
Orang yang kedua berkata, “Yaa Allah Engkau sungguh telah mengetahui bahwasanya aku pernah mencintai seorang wanita salah seorang putri pamanku, aku sangat mencintainya. Akan tetapi ia berkata : “Engkau tidak akan bisa meraih cintanya hingga engkau memberikan kepadanya seratus keping dinar”. Maka akupun berusaha hingga aku berhasil mengumpulkan uang dinar tersebut. Tatkala aku telah duduk di antara dua kakinya (untuk menzinahinya-pen) maka iapun berkata, “Bertakwalah engkau kepada Allah, dan janganlah engkau pecahkan (buka) cincin kecuali dengan haknya”. Maka akupun pergi meninggalkannya. Ya Allah jika Engkau mengetahui bahwasanya aku melakukan hal itu karena mengharap wajahMu maka bukalah bagi kami celah hingga kami bisa melihat langit. Maka Allah pun membuka dua pertiga celah (namun mereka belum bisa keluar-pen).
Orang yang ketiga berkata, “Yaa Allah Engkau sungguh telah mengetahui bahwasanya aku pernah menyewa seorang pekerja dengan upah tiga soo’ jagung (sekitar 9 kg jagung-pen), akupun memberikan upah kepadanya akan tetapi ia enggan untuk menerimanya (saat itu). Maka akupun mengolah upahnya tersebut dan akupun menanam jagung tersebut hingga akhirnya hasilnya aku gunakan untuk membeli sapi-sapi dan para penggembalanya. Kemudian iapun datang (setelah beberapa tahun) dan berkata kepadaku, Wahai Abdullah (fulan) bayarlah upahku!”. Aku berkata, “Pergilah engkau ke sapi-sapi itu dan para penggembalanya , seluruhnya adalah milikmu”. Ia berkata, “Apakah engkau memperolok-olok aku?”. Aku berkata, “Aku tidak sedang memperolok-olokmu, akan tetapi semuanya itu benar-benar milikmu”. Ya Allah jika Engkau mengetahui bahwasanya aku melakukan hal itu karena mengharap wajahMu maka bukalah celah bagi kami”. Maka terbukalah pintu gua dari batu tersebut. (HR Al-Bukhari no 2102)
Kata kunci dari hadits ini adalah AMAL UNGGULAN para pemuda tersebut di hadapan Allah.Ketiga pemuda tersebut memiliki amal unggulan yang bisa di jadikan sebagai wasilah untuk bermunajat kepada Allah untuk meminta di lepaskan dari kesuliatn yang di hadapai, yaitu terkurung di dalam sebuah gua.
Dan ternyata ketiga pemuda tersebut memiliki amal unggulan masing-masing yang berbeda-beda dan bisa terbebas dari gua tersebut.Bagaimana seandainya ketiga pemuda tersebut  tidak memiliki amal unggulan atau salah satu dari mereka tidak memiliki amal unggulan ?,maka mereka bertiga pasti akan terkurung di dalam gua tersebut hingga ajal menjemput.
Lalu bagaimana dengan diri kita, apakah kita sudah memiliki amal unggulan yang bisa kita gunakan sebagai wasilah do’a kita ketika ada masa-masa genting dalam hidup kita ?.Atau dalam arti yang lebih luas, sudahkah kita memiliki amal unggulan di hadapan Allah sehingga bisa menyelamatkan kita dari siksaan api Neraka kelak di akherat ?.
Kita harus menyadari bahwa, tidak semua dari kita bisa menjalankan dengan sempurna semua ajaran Islam karena berbagai keterbatasan tetapi kita punya peluang untuk memilih amal unggulan bagi diri kita.Mungkin ada dari kita yang lebih suka bersedakah sehingga itu bisa kita jadikan sebagai amal unggulan ,atau sebagian kita ada yang lebih “klik” dengan puasa sehingga menjadikan ibadah puasa sunnah sebagai amal unggulan, dan sebagian yang lain bisa saja lebih condong dengan amal unggulan dengan bentuk berbakti kepada kedua orang tua.Dengan catatan bahwa ketika kita memilih amal unggulan kita tidak bermaksud menyepelekan ibadah-ibadah yang lain tetapi karena faktor keterbatasan sebagai manusia  sehingga kita “hanya” mampu memilih beberapa amal unggulan atau hanya satu amal unggulan dalam diri kita sambil berusaha memaksimalkan ibadah-ibadah lainnya.
Kalau di lihat dari ilmu marketing maka ketiga pemuda tersebut memiliki Deferensiasi masing-masing, maka “brand” dari masing-masing pemuda tersebut jelas di hadapan Allah sehingga ketika meminta seuatu kepada Allah maka cepat di kabulkan.Jika kita, menurut pandangan  manusia dibumi di kenal memiliki deferensiasi dan keahlian tertentu yang bisa di banggakan maka lebih penting bagi kita jika bisa memiliki deferensiasi di mata Allah.Jika di dunia kita sebagai generalis dan juga spesialis maka dalam hal ibadah kita juga idealnya menjadi generalis dan spesialis.Sehingga kita bisa memiliki spesialisasi dalam ibadah tertentu yg bisa di banggakan di mata Allah dan sebagai generalis yang berusaha melaksanakan semua perintah-NYA.
Maka pertanyaan bagi masing-masing kita adalah, apakah kita sudah punya deferensiasi di mata Allah di banding hamba-NYA yang lain ?.Apakah “Brand” diri kita sudah terkenal di langit sehingga ketika kita berdo’a cepat di kabulkan Allah ?.Mari berinstropeksi diri  dan mari memilih, apa amal unggulan kita dari sekarang sehingga kita punya deferensiasi di mata Allah dan bisa menyelamatkan kita di akherat kelak,sehingga layak mendapat Surga dan terhindar dari Neraka..Aamiin
Semoga bermanfaat.
Ibnu Jufry
- See more at: http://inspirasiislami.com/index.php/2012/01/sudahkah-kita-memiliki-amal-unggulan/#sthash.f2DP5Z0j.dpuf

Syetan Hanyalah Suporter !



  Rasulullah shallallahu alaihi wasallam bersabda (yang artinya) : “Apabila bulan Ramadhan tiba, maka pintu-pintu Surga dibuka selebar-lebarnya, pintu-pintu Neraka ditutup serapat-rapatnya dan syetan-syetan dibelenggu” (HR Muttafaq ‘Alaih). Bulan Ramadhan adalah bulan istimewa, karena Allah Ta’ala dan Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam telah mengkhususkannya dengan berbagai bentuk keistimewaan yang tidak terdapat di bulan-bulan yang lain. Salah satu keistimewaan khusus itu adalah dibelenggu dan dirantainya syetan-syetan selama Ramadhan, sehingga tidak bisa dengan bebas dan leluasa – seperti biasanya – menjalankan tugas utamanya sebagai pengganggu, penggoda dan pembisik jahat. Dan, sekali lagi, ini hanya berlaku khusus selama bulan suci Ramadhan. Sungguh suatu keistimewaan luar biasa, yang harus dioptimalkan pemanfaatannya oleh setiap insan beriman.
Banyak pelajaran yang bisa kita ambil dari hadits diatas. Antara lain adalah bahwa, jika kita renungkan dengan cermat dan seksama isi dan kandungan hadits tersebut, lalu kita padukan dengan fakta dan realita yang terjadi didalam kehidupan manusia, maka kita akan tersadarkan tentang kekeliruan persepsi kita selama ini tentang peran syetan dalam menyesatkan manusia.
Banyak diantara kita selama ini memahami secara salah bahwa peran dan posisi syetan dalam penyesatan sangatlah dominan. Segala bentuk kejahatan, kesesatan, kemaksiatan dan keburukan yang ada dalam perilaku manusia selalu dialamatkan kepada syetan sebagai biangnya. Syetan selalu dijadikan sebagai kambing hitam. Kita tidak mungkin memungkiri adanya peran syetan disana. Kita semua sepakat bahwa syetan adalah makhluk yang sangat jahat dan busuk, dan bahwa ia adalah salah satu biang utama kejahatan. Karena memang Allah Ta’ala – berdasarkan hikmah-Nya – telah menciptakan syetan dan menetapkannya khusus untuk kekufuran, kebusukan dan kejahatan. Tapi yang harus kita luruskan adalah persepsi salah bahwa syetan adalah satu-satunya sumber kejahatan, dan bahwa ia adalah segala-galanya dalam setiap kekufuran, kesesatan, kejahatan dan kemaksiatan yang terjadi dalam kehidupan manusia.
Seandainya pemahaman itu benar, maka semestinya setiap Ramadhan tidak ada lagi kekufuran, kejahatan dan kemaksiatan. Karena – seperti penegasan hadits shahih diatas – syetan sedang dirantai dan dibelenggu atau dengan kata lain sedang ‘dinonaktifkan’ perannya selama bulan Ramadhan seperti yang segera hadir ini. Tapi faktanya ternyata sebalik dari itu. Kekufuran tetap ada. Kesyirikan tetap merajalela. Dan kejahatan tetap terjadi dimana-mana. Itu berarti syetan bukanlah satu-satunya biang kejahatan. Dan bahkan ia bukan merupakan pemeran utama atau pemain int. Dan berarti ada pemeran atau pemain lain. Ya, pemeran dan pemain lain itulah yang justru sebenarnya merupakan pemeran utama atau pemain inti dalam setiap kesesatan manusia. Pemeran utama dan pemain inti itu tiada lain adalah dir, jiwa dan hawa nafsu manusia itu sendiri. Sementara itu, syetan – baik yang ‘asli’ maupun yang ‘tidak asli’ – sebenarnya hanyalah sebatas ‘suporter’ dan bukan pemain apalagi pemain inti. Inilah hakikat yang ditegaskan oleh Al-Qur’an (lihat misalnya QS Ibrahim : 22) dan Al-Hadits, yang didukung oleh fakta dan realita. Namun tidak banyak orang yang memahami dan menyadarinya secara benar.
Sesungguhnya Allah Ta’ala telah menciptakan dan memberikan didalam setiap jiwa manusia dua potensi sekaligus secara seimbang dan adil, yakni potensi baik dan potensi buruk. Tinggal setiap manusia sendirilah setelah itu yang menentukan dan memilih, apakah akan memenangkan potensi baik ataukah potensi buruk dalam dirinya. Sehingga pilihan manapun yang ia pilih – iman atau kufur, taat atau maksiat, baik atau jahat dan seterusnya – adalah pilihan dia sendiri, yang atas dasar itulah Allah akan meminta pertanggungjawabannya di Akherat kelak (lihat QS Asy-Syams : 7 – 10). Oleh karena itu, jika seseorang memilih jalan kekufuran, kamaksiatan dan kejahatan, maka dirinya sendirilah yang menjadi pemeran utama dan pemain inti dalam hal itu. Adapun syetan, seperti yang telah disebutkan diatas, hanyalah sebatas sebagai ‘suporter’ belaka ! Atau bahkan sekadar menjadi pembaca woro-woro (pengumuman) atau penebar brosur undangan saja kepada setiap kemungkaran yang ada! (QS. 14:22).
Hakikat inilah antara lain yang diingatkan dan disadarkan oleh hadits diatas. Selama Ramadhan dimana syetan-syetan dinonaktifkan perannya, kita dihadapkan dengan diri kita sendiri untuk melihat jiwa kita apa adanya. Maka ketika masih tetap ada kecenderungan buruk dan jahat dalam diri kita selama Ramadhan ini nanti misalnya, maka jangan lagi membawa-bawa dan menuduh syetan sebagai bianganya. Melainkan masing-masing harus sadar bahwa, ya berarti itulah hakikat diri dan jiwanya apa adanya, tanpa campur tangan syetan seperti biasanya, yang tentu harus dilakukan mujahadah untuk men-tazkiyah-nya selama Ramadhan dan sesudahnya.
Wallahu a’lam.
Ahmad Mudzoffar
- See more at: http://inspirasiislami.com/index.php/2011/12/syetan-hanyalah-suporter/#sthash.B8PZ1EkD.dpuf

Biarkan AIR MATA Kita Menetes



Ilustrasi dari Inet
Saudaraku…
Di malam yang hening itu, saat banyak orang sedang terbuai di alam mimpi, Ali bin Husein atau yang lebih dikenal dengan Zainul Abidin ra bermunajat dan berdo’a kepada Allah Swt dengan deraian air mata. Ia menangis tersedu-sedu di pelataran Ka’bah. Suatu tempat yang diijabahi do’a seorang hamba. Terlebih do’a yang terutus di pertengahan malam, saat Allah Swt turun ke langit dunia, untuk mendengarkan permohonan hamba-Nya dan mengabulkan permintaannya.
Ia larut dalam kekhusyua’an dan lautan munajat. Tanpa ia sadari ada orang shalih lain yang sedang memperhatikannya.
Setelah tangisannya berhenti, Thawus bin Kisan rahimahulah menghampirinya seraya berucap, “Wahai cucu Rasulullah, mengapa engkau menangis seperti ini, sementara engkau memiliki tiga keistimewaan yang tak dipunyai orang lain:
Pertama, engkau adalah cucu Rasulullah saw.
Kedua, engkau akan mendapat syafaat dari kakekmu.
Ketiga, keluasan rahmat-Nya untukmu.”
Zaenul Abidin menjawab,
“Adapun hubungan nasabku dengan Rasulullah, bukan merupakan garansi keselamatanku di akherat sana setelah aku mendengar firman Allah Swt, “Apabila sangkakala ditiup, maka tidak ada lagi pertalian nasab di antara mereka pada hari itu dan tidak ada pula mereka saling bertanya.” Al Mu’minun: 101.
Sedangkan syafaat Nabi saw, maka Allah Swt berfirman, “Dan mereka tiada memberi syafa’at melainkan kepada orang yang diridhai Allah.” Al Anbiya’: 28.
Dan terakhir, terkait rahmat Allah, Dia berfirman, “Sesungguhnya rahmat Allah itu amat dekat kepada orang-orang yang berbuat baik.” Al A’raf: 56.
Saudaraku..
Menangis merupakan salah satu fitrah yang tidak dapat dipisahkan dari diri kita. Pernahkah kita menghitung berapa kali kita menangis dalam hidup kita? Dan untuk apa kita menangis? Dan bukankah kita menangis ketika kita pertama kali melihat alam dunia, yang sebelumnya berada di alam rahim?
Ada banyak faktor yang menyebabkan kita menangis. Bisa jadi karena kita terkenang dengan hutang yang melilit leher. Atau menahan sakit karena ada luka menganga di tubuh. Atau tak kuat menghadapi musibah besar yang menyapa kita. Kepergian orang-orang dekat dan terkasih dan seterusnya.
Air mata pun mempunyai makna tersendiri. Ada air mata yang melambangkan rahmat dan kasih sayang. Ada yang mengandung nilai kelemahan diri dan cengeng dalam menghadapi persoalan hidup. Ada air mata buaya. Ada air mata pura-pura. Ada tangis bahagia dan syukur. Dan ada air mata yang tertumpah karena takut kepada azab Allah Swt.
Itu artinya, air mata ada yang bernilai positif dan ada yang negative. Dan bahkan ada yang bernilai ibadah di sisi Allah Swt.
Dalam kitab “Hilyatul Auliya” disebutkan bahwa Yazid bin Maesarah membagi tangisan menjadi tujuh macam; menangis karena bahagia, menangis karena sedih, rasa takut mencekam, riya, menahan rasa sakit, ungkapan rasa syukur dan menangis karena takut kepada Allah Swt, menangis karena takut kepada Allah inilah yang akan dapat memadamkan api neraka yang besarnya laksana gunung.”
Saudaraku..
Menangis karena takut kepada Allah Swt, itulah air mata yang menetes dari kelopak mata cucu Rasulullah saw, Zainul Abidin.
Air mata yang tak akan mengalir dari hati yang telah gelap karena dosa. Jiwa yang kotor lantaran maksiat. Kalbu yang ternodai debu-debu kealpaan.
Itulah jenis air mata yang akan memadamkan dahyatnya api neraka, sebagaimana sabda Nabi saw, “Tidak akan masuk neraka seseorang yang menangis karena takut kepada Allah, sehingga susu kembali ke payudara.” H.R. Tirmidzi dan Nasa’i.
Saudaraku…
Menjadi manusia akherat, itulah kuncinya agar air mata kita mudah meleleh lantaran takut kepada Allah Swt.
Berbagai keistimewaan yang dimiliki oleh Zainul Abidin ra; cucu Nabi saw, jaminan syafa’at dan luasnya rahmat Allah bagi ahlul bait bukan menjadikannya bangga diri. Namun membuat hatinya diselimuti rasa takut, jikalau hal itu justru bisa menggelincirkan dan melemparkannya ke dalam neraka.
Dan jawaban cucu Nabi yang zuhud, ahli ibadah dan suka berderma secara rahasia ini, merupakan teguran bagi mereka yang selalu membanggakan diri sebagai habib dan ahlul bait, tanpa diimbangi dengan keluhuran budi pekerti, ukiran amal-amal shalih, mendaki puncak ubudiyah dan menangis karena takut kepada Allah Swt.
Kita terkenang dengan beberapa bait syair di masa dulu,
“Menangislah agar tangisan itu
dapat mengingatkan kita
Akan hari-hari mati
yang pastinya datang.
Dunia hanya pinjaman”
Saudaraku…
Sudahkah kita menagis hari ini? Dan karena apa kita menangis? Wallahu a’lam bishawab.
- See more at: http://inspirasiislami.com/index.php/2012/03/biarkan-air-mata-kita-menetes/#sthash.Mo5cqpdh.dpuf

BERDOA KEPADA ALLAH DI WAKTU LAPANG



Ilustrasi dari Inet
Saudaraku..
Abu Darda ra pernah menasihati kita:
اُدْعُ اللَّهَ يَوْمَ سَرَائِكَ لَعَلَّهُ يَسْتَجِيْبُ لَكَ يَوْمَ ضَرَائِكَ
“Berdo’alah kepada Allah di hari-hari senangmu, mudah-mudahan Dia memperkenankan do’amu di hari-hari sulitmu.”
(Mawa’izh as shahabah, Shalih Ahmad al Syami).
Saudaraku..
Diakui atau tidak. Sadar atau tidak. Dievaluasi atau tidak. Fakta berbicara, bahwa dalam hidup kita selalu merapat, berdo’a dan memohon kepada Allah swt di kala sulit, sempit, miskin, berduka, merana, lemah, membutuhkan pertolongan-Nya, sakit, tak berdaya dan yang seirama dengan itu.
Sementara di waktu lapang, ada kemudahan, ada keluasan, kaya, bahagia, kuat, sehat dan ada kekuatan dan kemampuan, kita pun menjauh dari-Nya. Jarang memohon dan berdo’a kepadanya. Terlebih lagi, kita pun sering melupakan-Nya.
Saat kegagalan menghantui hidup kita. Saat persoalan hidup mendera kita. Saat problematika hidup mencengkeram kita. Saat itu kita merasakan diri kita lemah tak berdaya. Saat kita bermasalah dengan atasan kita di tempat kerja. Saat kita merasa sangat membutuhkan pertolongan dan bantuan dari Zat yang Maha Kuat. Kita berdoa’ memohon kepada-Nya di waktu pagi, siang, petang dan malam hari. Bahkan di sepertiga malam terakhir pun kita sanggup bangun malam untuk melaksanakan shalat tahajjud yang diringi dengan do’a panjang berlinang air mata.
Namun, di saat kesuksesan menyelimuti hidup kita. Kejayaan akrab dengan diri kita. Hajat kehidupan terpenuhi. Kelapangan kita rasakan. Keluasan rezki kita dapatkan. Jabatan dan martabat tinggi tergapai. Kitapun lupa, bahwa semua kelapangan dan kesuksesan itu murni anugerah dari yang Maha Kaya. Kitapun lupa dan lalai dengan karunia-Nya. Do’a dan permohonan pun menyingkir dari hari-hari kita.
Saudaraku..
Yakinlah, bahwa saat kita menjauh dan melupakan-Nya di saat kita lapang, bahagia dan sukses. Maka Dia pasti akan membiarkan dan melupakan kita di kala kesempitan, kegagalan dan kesusasahan menyapa kita.
Pesan Abu Darda ra di atas sebenarnya hanya sebagai penegasan dari petunjuk Nabi saw, di mana beliau pernah berpesan: “Kenalilah Allah di waktu senang, pasti Allah mengenalimu (menolongmu) di waktu susah.” (Hadits Arba’in no: 19).
Saudaraku..
Jika kita mampu menghadirkan wajah-Nya di kala senang, bahagia, sukses, sehat, kaya dan Berjaya. Sudah barang tentu di kala susah, merana, gagal, sakit, miskin dan terpuruk, kita akan selalu bersimpuh dan bermunajat serta memasrahkan diri dalam pelukan-Nya.
Sudahkah kita mengingat-Nya, menyebut-Nya dan menengadahkan kedua tangan kita kepada-Nya hari ini?. Wallahu a’lam bishawab.
- See more at: http://inspirasiislami.com/index.php/2012/09/berdoa-kepada-allah-di-waktu-lapang/#sthash.8BhMc2xX.dpuf

PERBANYAK BERBICARA KEPADA ALLAH SWT



Ilustrasi dari Inet
Saudaraku..
Muadz bin Jabal ra pernah berpesan kepada kita:
كَلِّمِ النَّاسَ قَلِيْلاً وَكَلِّمْ رَبَّكَ كَثِيْرًا لَعَلَّ قَلْبَكَ يَرَى اللَّهَ تَعَالَى
“Kurangi pembicaraanmu dengan manusia dan perbanyak berbicara dengan Tuhanmu. (dengan demikian) mudah-mudahan hatimu mengenal Allah swt.”
(Mawa’izh as shahabah, Shalih Ahmad al Syami).
Saudaraku..
Kita kuat dan biasa berpuasa sehari penuh; menahan diri dari makan, minum dan memenuhi kebutuhan biologis. Tapi barangkali kita tak akan sanggup berpuasa dalam sehari atau setengah hari saja dalam keadaan terjaga, untuk menahan diri dari tidak berbicara dengan orang-orang di sekitar kita.
Padahal semakin banyak kita berbicara, maka semakin membuka peluang untuk mengukir kesalahan dan ketergelinciran yang diperbuat oleh lisan kita yang tak bertulang. Pembicaraan yang dilarang, seperti; menggunjing, perkataan dusta, fitnah, curang dan yang senada dengan itu, sudah jelas keharamannya.
Pembicaraan yang mubah, terkadang juga menyeret kita kepada perkataan yang sia-sia, tanpa faedah dan berujung pada kekhilafan.
Saudaraku..
Di kala sepi, jika kita berbicara dengan-Nya, maka hal itu pertanda bahwa kita telah bermunajat dan berdua-duaan dengan-Nya. Itu menjadi amalan rahasia yang dapat mengalirkan cinta-Nya.
Namun jika kita di tempat sepi, berbicara dengan orang-orang dekat lewat dunia maya. Terlebih, ia berlainan jenis dengan kita dan ia belum menjadi milik kita dan bukan mahram kita, maka berkhalwat dan berdua-duaan dengannya akan membuka pintu dosa dan maksiat. Minimal zina hati tak mampu kita hindari.
Saudaraku..
Saat kita lemah, sakit, terjepit, terhimpit, galau dan menjerit menahan perihnya cobaan hidup. Saat kita mengadu kepada Allah dan mengakui kelemahan kita. Maka itu pertanda, baik dan tebalnya iman kita.
Sebaliknya, saat kondisi kita lemah, dirundung duka dan ambruk, lalu kita banyak mengadu kepada makhluk ciptaan-Nya, maka hal itu perlambang lemah dan dangkalnya keyakinan kita.
Saudaraku..
Saat karunia dan nikmat akrab menyapa kita, lalu kita banyak bercerita kepada orang-orang di sekeliling kita, bisa jadi ada sebagian dari mereka yang iri hati dan cemburu dengan kesuksesan kita. Dan tak jarang, yang mengatakan kita pamer, sombong dan seterusnya.
Tapi, jika kesuksesan yang menyapa kita dan membuat kita semakin dekat dengan-Nya, berbicara dengan-Nya. Itu pertanda selaksa kesyukuran kita gemakan untuk-Nya. Yang dengan semakin mendekatkan kita kepada cinta-Nya.
Saudaraku..
Mari kita mulai dari hari ini untuk mengurangi pembicaraan kita terhadap sesama. Terlebih pembicaraan yang tiada berfaedah. Dan kita membuka pembicaraan hari ini dengan menyebut nama-Nya, berterima kasih atas segala karunia-Nya. Dan memohon petunjuk dan bimbingan-Nya. Agar setiap detik dan waktu yang kita lewati berada dalam cinta dan ridha-Nya. Wallahu a’lam bishawab.
Riyadh, 18 September 2012 M
Sumber:Status Ustadz Abu Ja’far
- See more at: http://inspirasiislami.com/index.php/2012/09/perbanyak-berbicara-kepada-allah-swt/#sthash.XwO7IZyx.dpuf

KEMULIAAN SEMU YANG MENYILAUKAN MATA



Ilustrasi dari Inet
Syekh Mustafa Siba’i rahimahullah pernah menceritakan dalam bukunya “min rawai’ hadharatina” luhurnya peradaban kita, dua kisah menarik yang menghiasi sejarah gemilang umat ini.
Di masa khalifah Umar bin Khattab ra, ia pernah mengirim pasukan kaum muslimin ke Mesir untuk menaklukan negeri piramida itu. Di saat mereka mengepung benteng Babilonia, Mokaokus ingin berdialog dengan mereka. Maka Amru bin Ash ra selaku panglima kaum muslimin saat itu mengutus 10 orang sahabat yang dipimpin oleh Ubadah bin Shamit. Ia seorang sahabat yang berperawakan tinggi dan berkulit sangat gelap. Postur tubuhnya mencapai 10 jengkal.
Ia ditunjuk Amru sebagai juru bicara. Ketika sampai di hadapan penguasa Mesir, Mokaokus berkata, “Menyingkirlah dariku! karena aku tak sanggup menatap wajahmu yang hitam kelam ini.”
Maka ketika Ubadah menangkap bahwa hati Mokaokus telah dibanjiri rasa takut yang terpantul dari wajahnya, maka dengan penuh izzah dan sangat diplomatis ia berkata, ”Apabila engkau takut melihat wajah gelapku ini, maka ketahuilah bahwa di belakangku masih ada 1000 pasukan yang kulitnya lebih hitam dariku.”
Dan demikianlah akhirnya Mesir pun futuh di tangan kaum muslimin. Tanpa ada kontak senjata. Tanpa ada korban jiwa. Suatu negeri yang pernah melahirkan Fir’aun, Haman dan Qarun dengan segala kecongkakan dan kepongahannya, ternyata takluk hanya lewat seorang Ubadah bin Shamit.
Kisah kedua saudaraku..
Abdul Malik bin Marwan, sang khalifah bani Umayyah menobatkan Atha’ bin Abi Rabah sebagai satu-satunya mufti Mekkah di musim haji pada masa itu. Tidak diperkenankan seorang ulama pun memberikan fatwa kepada manusia selain dirinya.
Ia seorang ulama tabi’in yang tidak memiliki kesempurnaan fisik. Ia seorang yang berkulit hitam. Matanya cacat tidak sempurna. Pincang kakinya dan kriting ikal rambutnya. Namun muridnya cukup banyak memenuhi majlis ilmunya. Apabila ia duduk di tengah-tengah muridnya yang berjumlah ribuan maka seolah-olah ia seperti burung gagak hitam yang berada di tengah kebun kapas nan putih bersih.
Tetapi ia menjadi rujukan terhadap permasalahan agama, menjadi imam dalam fatwa. Dan sejarah telah mencatat dengan tinta emas bahwa madrasah Atha’ bin Abi Rabah telah melahirkan ribuan ulama handal yang berkulit putih. Ia senantiasa dihormati, dicintai dan dihargai oleh murid-muridnya.
Saudaraku..
Itulah potret dari kemuliaan sejati. Izzah yang didamba umat ini. Gambaran dari luhurnya peradaban Islam. Yang tidak membedakan warna kulit. Status sosial. Garis ketutunan. Harta kekayaan. Gelar akademisi. Popularitas dan reputasi meroket dan seterusnya. Parameternya adalah “kebersihan hati dan ukiran amal-amal shalih.” Demikian Nabi saw menyebutkan di salah satu sabdanya.
Sebuah kemuliaan hakiki mustahil kita bangun di atas pondasi kekuasaan. Keturunan ningrat ataupun darah biru. Tidak pula menempel pada gelar akademisi; Doktor, Profesor dan seterusnya. Tidak pula dipahat pada batu berlian dan mutiara kekayaan. Atau memancar dari paras rupawan dan berkulit putih, berpostur tubuh atletis. Atau ditopang reputasi tinggi dan popularitas yang terus meroket. Tidak pula dengan aliran dana yang tak terputus.
Itu semua merupakan kebanggaan dan kemuliaan semu. Yang akan menggelincirkan pemiliknya. Yang akan menyeretnya kepada siksa abadi di akherat sana.
Tapi jika kelapangan dan kemudahan yang Allah swt bentangkan di hadapan kita, berupa; kekayaan, gelar akademisi, postur tubuh sempurna, jabatan dan kedudukan, keturunan terhormat dan lain sebagainya. Hal itu semua kita jadikan sebagai sarana taqqarub kita kepada Allah dan berkhidmah terhadap umat serta memperjuangkan hukum-hukum-Nya. Maka kemuliaan sejati di dunia dan akherat pasti kita gapai.
“Padahal kekuatan (izzah) itu hanyalah bagi Allah, Rasul-Nya dan bagi orang-orang mukmin.” Al Munafiqun: 8.
Artinya, semakin kita dekat kepada Allah, Rasul-Nya dan orang-orang mukmin, maka kemuliaan dan izzah tak akan menjauh dari kita. Walaupun kita tak mempunyai baju kekuasaan, dasi kekayaan, stempel ningrat, embel-embel gelar dan seterusnya. Meskipun bisa jadi di hadapan publik, kita adalah orang-orang yang dipinggirkan.
Ya Rabb, karuniakanlah kepada kami kemuliaan sejati, amien.
- See more at: http://inspirasiislami.com/index.php/2012/02/kemuliaan-semu-yang-menyilaukan-mata/#sthash.rU42Nhlr.dpuf

AIR MATA YANG MENETES KARENA TAKUT KEPADA ALLAH



Ilustrasi dari Inet
Saudaraku..
Abdullah bin Amru bin Ash ra pernah berkata:
“Setetes air mata yang jatuh di wajahku lantaran takut kepada Allah, lebih aku sukai daripada sedekah dengan seribu dirham.”
(Mawa’izh as shahabah, Shalih Ahmad al Syami).
Saudaraku..
Pernahkah air mata kita menetes membasahi wajah lantaran takut kepada Allah? Lantaran takut siksa-Nya? Lantar
an mengenang dosa-dosa yang pernah kita perbuat dalam hidup ini. Karena kita sadar dengan kekurangan-kekurangan kita dalam menjalankan perintah agama. Karena banyaknya larangan yang belum mampu kita jauhi secara sempurna. Karena begitu mudahnya kita tergelincir dan terperosok di jurang dosa dan kesalahan.Kita memang terkadang menangis, tapi bukan karena takut kepada Allah. Bukan pula karena menghayati ayat-ayat-Nya. Bukan karena takut ancaman dan siksa-Nya di neraka sana. Bukan juga karena merindukan surga dengan segala kenikmatannya.
Saudaraku..
Kadang kita menangis karena gagal dalam membangun usaha. Karena hasil panen kebun karet dan sawit yang jauh dari harapan kita. Lantaran tidak tersedianya bahan makanan untuk esok hari. Di PHK dari perusahaan bonafid. Diberhentikan di tengah jalan dari anggota dewan. Kalah dalam Pilkada padahal seluruh harta benda milik kita telah terkuras habis. Gagal mempersunting gadis tambatan hati. Kepergian orang-orang dekat. Bencana alam yang membawa pergi harta milik kita. Kapal keluarga yang karam tenggelam di laut merah. Gagal mendidik anak keturunan. Hutang yang semakin mencekik leher. Disingkirkan oleh atasan kita, karena ia tak menyukai kita. Dan seterusnya.
Jika karena hal tersebut di atas yang membuat kita meneteskan air mata. Itu artinya kita memiliki kepribadian yang lemah, rapuh dan ringkih. Kita bermental anak-anak walaupun usia kita sudah mulai merambat senja. Manja dan cengeng dalam menjalani hidup. Kerdil di mata manusia dan hina dalam pandangan Allah swt.
Saudaraku..
Menangis karena takut akan siksa-Nya, di tengah malam atau di penghujungnya. Sewaktu manusia terlelap di alam mimpi. Ketika kita jauh dari penglihatan manusia. Itulah amalan rahasia antara kita dengan Rabb pencipta kita.
Itulah tetesan air mata pertanda ketulusan kita dalam mendaki puncak ubudiyah. Sebagai bukti kesungguhan kita dalam meraih surga-Nya dan takut terhadap siksa-Nya. Itulah air mata yang akan menyelamatkan kita di sana. Air mata yang mengalir dari keinsafan kita.
Itulah air mata yang lebih baik dari sedekah seberapa pun jumlah harta yang kita sedekahkan. Karena sedekah, adalah suatu amalan yang berhubungan dengan orang lain. Berbeda dengan air mata yang mengalir di tengah malam. Hanya Dia yang melihatnya. Karena Dia air mata ini tercipta.
Saudaraku..
Air mata ini akan terhenti mengalir. Atau bahkan tak akan menetes sama sekali. Lantaran dosa dan maksiat yang telah mengelapkan hati kita. Ketika hati telah menjadi gelap, maka darimana air mata akan membasahi wajah kita. Padahal Rasulullah saw pernah menjamin:
“Mata yang menangis di tengah keheningan malam karena takut kepada Allah, tidak akan tersentuh api neraka.” Hadits hasan riwayat Tirmidzi.
Ya Rabbana, karuniakanlah kepada kami tetesan air mata yang akan menjauhkan kami dari sentuhan api neraka-Mu. Air mata yang bersimbah lanataran takut akan siksa-Mu.” Amien. Wallahu a’lam bishawab.
Sumber:Status Ustadz Abu Ja’far
- See more at: http://inspirasiislami.com/index.php/2012/12/air-mata-yang-menetes-karena-takut-kepada-allah/#sthash.Ezr03rkr.dpuf