Kamis, 26 September 2013

KIAT SUKSES MENYISIRI UJIAN



Ilustrasi dari Inet
Manusia hanya mampu melukiskan harapan dan impian. Membuka jalan ikhtiar dan menapaki tangga cita-cita sekuat kaki melangkah. Namun satu hal yang harus kita yakini bahwa rencana manusia hanya sebatas bayangan, karena rencana Allah-lah penentu akhir dari usaha yang kita perbuat.
Ingatanku kembali dibasahi memori indah dua belas tahun yang lalu. Agustus tahun 2000, saat itulah aku resmi melepas masa lajangku. Seorang gadis manis berdarah sunda, itulah yang telah mencuri hatiku. Namun sayangnya, 4 hari pasca pernikahan, aku harus menyingkirkan rencana hangatnya bulan madu, karena aku harus meninggalkannya sementara waktu dan segera berangkat ke Madinah untuk menyelesaikan studi S1 di sana. Tentu anda bisa membayangkan apa yang kurasakan saat itu.
Masa liburan musim panas, terasa semakin hangat karena rindu yang terpendam di lubuk hati yang paling dalam dapat tertumpahkan kala itu. Mengarungi samudera luas terasa begitu indah dengan sarana kapal cinta yang bersinar kemilaunya. Dunia yang luas bagaikan milik berdua. Yang lain biarlah mengontrak dan mengambil rumah kos-kosan saja.
Rasa bahagia kami lengkap sudah dan kian menambah semarak hari-hari kami, ketika pada 4 Maret 2002 M, isteriku melahirkan seorang anak laki-laki yang sangat mirip denganku. Sempurna sudah statusku sebagai seorang suami yang mampu memberikan keturunan. Ja’far el Thayyar, itulah nama yang sudah kupersiapkan jauh-jauh hari untuk anak pertamaku. Tergantung satu harapan, kelak di kemudian hari buah hati kami bisa mengikuti jejak langkah sahabat agung itu. Sahabat yang perawakan yang wajahnya mirip baginda Nabi saw.
Setelah tamat kuliah, aku memilih kantor dakwah di Riyadh sebagai medan pengabdian diri untuk umat. Maka sejak Februari 2003 aku memulai hidup baru di ranah perjuangan, yang sebelumnya bergelut di medan akademisi. Terselip keinginan; membawa keluarga dan mendekatkan buah hati pada dua kota suci; Mekkah dan Madinah. Setelah proses pengurusan Visa dan yang berkaitan dengannya kelar, hati ini amat berbunga-bunga. Karena beberapa pekan lagi kami sekeluarga bisa menikmati udara segar dan lembaran hidup baru di Riyadh.
Namun pada 12 Juni 2003 M lalu, kami harus segera mengubur impian indah kami. Ketika Allah yang Maha Adil mengambil kembali titipan-Nya. Ketika itu Ja’far berusia 1,5 tahun. Di saat kumendengar berita duka ini dari istriku, jasad lemahku seolah-olah tersambar ledakan dahsyat. Mataku terasa panas oleh air mata yang serasa menggelegak mencoba keluar. Pertahananku pun bobol, pipiku dibasah air mata yang tak mampu kubendung. Ya Rabb semoga air mataku ini merupakan air mata rahmat yang Engkau tanamkan di dalam hati hamba-Mu ini, dan bukan air mata ratapan dan ketidak relaan dengan ketentuan-Mu.
Tak bisa kubayangkan kepedihan hati istriku, yang telah mengandung dengan susah payah, melahirkannya dengan perjuangan antara hidup dan mati, dan merawatnya dengan penuh kasih sayang. Terlebih tanpa kehadiranku saat itu di sisinya. Akhirnya pada hari itu pula aku putuskan untuk pulang ke Lampung, guna menghibur hati istriku walaupun aku sadar bahwa diri inipun belum mampu menata hati seperti semula.
Walau kesedihan mendera hati ini teramat sangat, namun aku berusaha terlihat tabah di hadapan istriku dan tak lepas kubisikan kepadanya agar terus beristighfar dan ikhlas menerima takdir Allah . Karena apa yang telah Allah tentukan adalah yang terbaik buat hamba-Nya. Semua peristiwa yang kita alami pasti menaburkan hikmah bagi hidup kita. Terkadang hikmah itu mampu kita raba dengan kaca mata bathin. Dan tidak sedikit hikmah-Nya yang belum mampu kita pahami.
Ku kuatkan terus hati istriku untuk tetap beristighfar dan aku pun berusaha keras menjaga hati ini agar tidak luluh di hadapannya. Kubisikan di telinganya perkataan Nabi saw setelah mendapat kabar bahwa salah satu cucunya meninggal dunia, “Sesungguhnya yang diambil dan yang diberikan adalah milik Allah , dan segala sesuatu di sisi-Nya telah ditetapkan dengan jelas. Bersabarlah (wahai putriku) dan mohonlah pahala dari kesabaranmu ini.” Muttafaq ‘alaih.
Kini musibah itu telah berlalu. Dan hati kami kembali tertata sedikit demi sedikit. Walaupun belum setenang telaga biru. Seulas senyum kembali menghiasi wajah dan hari-hari kami. Nasihat DR. Mustafa Siba’i rahimahullah, mampu membangkitkan kami dari kejatuhan. Seorang pejuang kebenaran asal Siria, selama lima tahun lebih harus berjuang melawan lumpuh. Dan pada akhirnya usianya terhenti pada angka 47 tahun. Beliau pernah menulis:
Ada enam perkara yang apabila anda kenang, akan meringankan musibah yang menimpa anda:
• Ingatlah bahwa segala sesuatu yang menimpa kita adalah sesuai dengan takdir ketentuan-Nya.
• Keluh kesah tiada akan mengembalikan apa yang telah hilang.
• Nikmat pemberian-Nya yang masih tersisa adalah lebih banyak dari apa yang telah diambil-Nya.
• Musibah yang menimpa kita sebenarnya jauh lebih ringan dari cobaan yang menerpa sebagian orang.
• Setiap ketentuan-Nya pasti mengandungi hikmah. Jikalau kita mampu menangkap hikmahnya, niscaya kita memandang bahwa musibah merupakan mata air nikmat-Nya.
• Musibah yang menimpa seorang mukmin tiada luput dari; buah pahala atau menggapai ampunan, atau seleksi alami, atau meninggikan derajat atau menolak bala. Dan apa yang ada di sisi-Nya lebih baik dan kekal.
Saudaraku…
Musibah, ujian dan cobaan hidup adalah sunnatullah. Yang tiada akan sepi dari kehidupan kita. Karena dengan ujian itu, Allah swt mengetahui kadar kwalitas iman kita. Warna cobaan tentu berbeda antara satu orang dengan yang lainnya. Kepergiaan orang-orang terkasih. Didera oleh kemiskinan dan lilitan hutang. Gagal bersinar di tempat kerja. Bangkrut setiap kali bangun usaha. Anak keturunan tak kunjung datang. Rezki berpindah ke tangan orang lain yang sebelumnya dalam genggaman kita dan begitu seterusnya. Itulah di antara warna ujian yang biasa dialami seorang hamba.
Perbedaan seorang mukmin sejati dengan mukmin gadungan dapat dilihat saat cobaan datang dan pasca ujian melanda. Seorang mukmin bersabar dan mencoba meraih pahala dari kesabarannya. Sedangkan mukmin palsu, tidak ridha dengan ketentuan takdir-Nya dan berputus asa dari rahmat-Nya.
Ada beberapa hikmah cobaan dan ujian yang dapat kita petik dalam hidup ini, sebagaimana disebutkan penulis buku “hakadza ‘alamatnil hayat”.
• Ingatlah bahwa segala sesuatu yang menimpa kita adalah sesuai dengan takdir ketentuan-Nya.
Sejak usia kita genap empat bulan di alam rahim, telah ditetapkan-Nya jatah rezki, usia, amal perbuatan, kebahagiaan atau kesengsaraan kita, seperti dalam riwayat Abdullah bin Mas’ud ra. Walau semua sudah ditakdirkan, kita tetap berikhtiar maksimal untuk menjumput rezki, memaksimalkan usia, memperbaiki amal dan meraih kebahagiaan hidup. Karena kita tak pernah tahu batas takdir kita terkecuali setelah terjadi.
Suatu ketika Rasulullah saw bersabda, “Tidaklah salah seorang dari kalian melainkan telah ditentukan tempat tinggalnya di surga atau neraka.” Para sahabat bertanya, “Jika demikian mengapa kami harus beramal? Bolehkah kami pasrah saja?.” Beliau bersabda, “Tidak, tapi beramallah. Karena setiap orang dimudahkan untuk menggapai takdirnya masing-masing.”
Walau semua orang menghalang-halangi kepergian orang-orang yang kita cintai, tetap takdir akan berlaku untuk mereka. Demikian pula dalam bab rezki, jodoh dan seterusnya.
• Keluh kesah tiada akan mengembalikan apa yang telah hilang.
Pernahkah kekasih yang telah pergi untuk selamanya, akan kembali ke pelukan kita? Tentu tidak. Berkeluh kesah merupakan benih putus asa dari rahmat Allah. Dan pada akhirnya akan membuahkan kekufuran. “Dan jangan kamu berputus asa dari rahmat Allah. Sesungguhnya tiada berputus asa dari rahmat Allah melainkan kaum yang kafir.” Yusuf: 87.
• Nikmat pemberian-Nya yang masih tersisa adalah lebih banyak dari apa yang telah diambil-Nya.
Setelah Ja’far el Thayyar pergi, kini al hamdulillah telah hadir; Atikah, Arwa, Dihya dan yang masih berada dalam kandungan.
Demikianlah, apa saja nikmat yang diambil oleh-Nya jauh lebih sedikit daripada karunia dan nikmat yang terus mengucur membasahi kehidupan kita.
• Musibah yang menimpa kita sebenarnya jauh lebih ringan dari cobaan yang menerpa sebagian orang.
Dunia tak selebar daun kelor, demikian pribahasa mengajari kita. Jika kita kekurangan harta, lihatlah di sana ada yang lebih miskin daripada kita. Jika kita belum dianugerahi keturunan, lihatlah di sana masih banyak orang yang belum melepas masa lajangnya. Jika kita ditinggal kekasih kita, lihatlah di sana banyak orang yang telah kehilangan segala hal yang berharga dalam hidupnya. Dan begitulah seterusnya.
• Setiap ketentuan-Nya pasti mengandungi hikmah.
Anak yang diambil-Nya di usia dini, barangkali jika ia hidup hingga dewasa, maka ia bukanlah tipe anak yang berbakti. Yang justru akan menghitamkan wajah orang tuanya kelak.
Kita ditakdirkan menjadi orang miskin, hikmahnya agar kita banyak memohon kepada-Nya. Atau mungkin kita bukanlah orang yang berkarakter dermawan saat memiliki kenikmatan dunia. Dan begitu seterusnya.
• Musibah jika sabar dalam menghadapinya, akan berbuah pahala atau menggapai ampunan, atau seleksi alami, atau meninggikan derajat atau menolak bala.
Tapi saudaraku…
Walaupun musibah memberikan banyak buah hikmah dalam kehidupan kita, jangan kita minta kepada Allah untuk diuji atau menerima cobaan yang berat. Sebab belum tentu kita mampu melewati masa-masa sulit dalam ujian.
Jangan minta kemiskinan, karena didera kemiskinan dan serba kekurangan bukanlah perkara ringan. Terlebih kemiskinan berada di ambang kekufuran.
Jangan minta bencana kepada-Nya. Karena fakta berbicara, banyak orang yang menggadaikan imannya hanyut terbawa banjir dan digoyang gempa bumi.
Jangan minta kepergian orang-orang terkasih. Karena tidak sedikit orang yang frustasi dan terjatuh setelah kepergian mereka.
Ya Rabb, anugerahkanlah kesabaran atas musibah dan cobaan yang menyapa kami. Dan bimbinglah kami agar senantiasa melihat sapaan, teguran dan peringatan-Mu. Amien.
Sumber:Status Ustadz Abu Ja’far
- See more at: http://inspirasiislami.com/index.php/2012/02/kiat-sukses-menyisiri-ujian/#sthash.7OGXhqf8.dpuf

0 komentar:

Posting Komentar