Kamis, 22 Agustus 2013

Kala Orang Miskin dan Kaya Hidup Rukun Harmonis



Ilustrasi dari Inet
Saudaraku..
Siang itu, angin sepoi-sepoi menyapa Madinah. Ketika beberapa orang miskin yang hidup kekurangan mendatangi Nabi Saw. Mereka mengadukan kisi-kisi hati mereka perihal orang-orang kaya yang hidup berkecukupan di tengah-tengah mereka.
Orang-orang miskin itu curhat kepada beliau bukan karena mereka dizalimi hak-haknya oleh orang-orang kaya. Bukan pula karena mereka terlambat menerima upah hasil kerja keras mereka dari orang-orang kaya. Atau karena hak-hak mereka disunat. Atau karena orang-orang berkecukupan itu tak mau menghulurkan bantuan kepada mereka dan seterusnya.
Demikian pula mereka datang kepada Nabi Saw, bukan karena mereka lelah menjadi orang miskin. Atau karena sulit menerima takdir-Nya. Atau lantaran berat menanggung beban dan seterusnya.
Mari kita simak penuturan Abu Hurairah ra:
“Sesungguhnya orang-orang miskin dari kalangan Muhajirin mendatangi Rasulallah saw seraya berkata, “Orang-orang kaya pergi dengan memborong semua pahala (seolah-olah mereka tidak menyisakan seonggok pahala pun buat kami) dan mereka akan meraih kenikmatan abadi.”
Beliau bersabda, “Kenapa bisa begitu?.”
Mereka menjawab, “Mereka shalat dan puasa seperti yang kami lakukan. Tetapi mereka mengeluarkan sedekah dan membebaskan budak yang tak mampu kami perbuat.”
Saudaraku…
Mereka memandang kemampuan orang-orang kaya dalam berkontribusi harta dan memberikan andil besar dalam mengangkat persoalan sosial di masyarakat, seperti; sedekah, menyantuni fakir miskin, janda dan kaum jompo, membebaskan budak, menanggung hutang orang yang tak mampu, memberi beasiswa bagi anak berprestasi tapi tak mempunyai biaya sekolah dan yang lainnya. Sedangkan mereka tak kuasa melakukan hal tersebut karena kemiskinan yang mendera mereka. Bahkan untuk menyambung hidup pun mereka harus menarik nafas dalam-dalam.
Rasulullah Saw memberikan solusi tepat, yang menjadikan mereka dapat mengembangkan senyum lebar mereka.
“Maukah aku tunjukan kepada kalian (suatu amalan), yang dengannya kalian mampu mengejar amalan umat sebelum kalian dan mendahului orang-orang yang datang kemudian? Tiada seorang pun yang lebih baik daripada kalian, terkecuali orang yang berbuat seperti amalan yang kalian perbuat.” Demikian sabda Nabi Saw.
Apa jawaban mereka saudaraku?
Sudah barang tentu mereka dengan penuh antusias menjawab, “Pasti kami mau wahai Rasulullah.”
Beliau bersabda, “Kalian bertasbih, bertakbir dan bertahmid setiap selepas shalat sebanyak 33 kali.” Muttafaq ‘alaih.
Subhanallah duhai saudaraku..
Mereka cemburu dalam kebaikan dan kebajikan. Mereka iri hati dalam persoalan akherat dan kenikmatan abadi. Hasad yang terpuji dan teramat baik akibatnya.
Para ulama mengitilahkannya dengan ‘Ghibthah’, semacam iri hati tapi tidak mengharap hilangnya nikmat dan sirnanya karunia dari pemiliknya.
Itulah perlombaan. Tapi di arena ‘derma’. Itulah perebutan gelar, tapi di lapangan ‘berbagi dan memberi’.
Mereka berlomba bukan memperebutkan sepotong kue kekuasaan. Atau berebut jatah kursi, mengharap bagian dan komisi seperti dalam kasus Wisma Atlet. Bukan pula mengambil kesempatan menjadi tim sukses bagi calon kuat dalam sebuah pilkada.
Tapi mereka berlomba memperebutkan jatah satu kursi di surga nanti. Tapi mereka menginginkan menjadi penguasa di akherat. Mereka bercita-cita menyunting bidadari di surga. Mereka berhasrat meraih kekuasaan yang langgeng. Yang tiada kekhawatiran dirongrong oleh lawan politiknya atau diusik oleh mereka yang tamak dengan jabatan. Dan begitu seterunya.
Saudaraku…
Namun kebahagiaan kaum papa itu tak berlangsung lama. Harapan menjadi yang terbaik di hadapan Allah Swt telah sirna. Sebab petunjuk Nabi saw di atas sampai pula ke telinga orang-orang yang berkecukupan itu dan mereka pun mengamalkannya.
Abu Shalih menuturkan:
“Kaum fakir Muhajirin itu kembali menghadap Nabi saw seraya berkata, “(Ya Rasulullah) saudara-saudara kami orang-orang kaya mendengar amalan kami dan mereka pun melakukan apa yang kami perbuat.”
Nabi saw bersabda, “Jika demikian, maka hal itu merupakan karunia Allah yang dicurahkan kepada siapa yang dikehendaki-Nya.” Muttafaq ‘alaih.
Allahu Akbar!
Menjadi orang kaya, tapi hatinya subur dengan rasa syukur. Lisannya senantiasa dibasahi kata dzikir. Dan perilakunya terhindar dari takabur dan warna kufur. Sungguh masa depannya di akherat akan terhibur.
Saudaraku..
Alangkah indahnya, jika orang kaya dan miskin saat ini hidup rukun dan harmonis. Yang tak punya tiada melaknati orang yang mampu. Qana’ah menerima ketetapan-Nya. Tiada menengadahkan tangan di depan pintu orang yang berada. Serta mendo’akan kebaikan bagi orang yang diuji Allah Swt berupa kekayaan dan fasilitas hidup.
Bagi yang berpunya; tidak mengabaikan hak orang-orang miskin. Empati dengan kesulitan hidup yang mereka alami. Tidak melewatkan peluang bakti dan menabur budi dengan mengeluarkan sebagian harta yang ada dalam genggamannya. Dan begitu seterusnya.
Saudaraku..
Jika anda harus memilih dua pilihan. Yang mana keduanya memiliki keistimewaan tersendiri di hati Nabi saw. Yaitu; kaya dan miskin. Maka yang manakah yang anda pilih? Yang pasti orang-orang miskin lebih dahulu masuk surga sebelum orang-orang kaya dengan jarak 500 tahun, demikian sabda Nabi saw dalam riwayat Tirmidzi.
Tapi riwayat di atas mengukuhkan derajat tinggi bagi orang kaya yang bersyukur. Dan faktanya, banyak peluang amal shalaih dan kewajiban kita selaku mukmin, hanya bisa ditunaikan dengan kucuran harta benda yang Dia titipkan kepada kita. Wallahu a’lam bishawab.
Sumber:Status Ustadz Abu Ja’far

0 komentar:

Posting Komentar