Haji Yunus Mailibit, Imam Masjid An-Nuur menceritakan
bahwa pada awalnya masyarakat Islam saja yang tinggal di Pulau Arar.
Meraka berasal dari suku-suku Raja Ampat, Ternate, dan Biak. Untuk
mendorong saudara-saudara yang beragama Kristen mendiami pulau itu, maka
masyarakat Islam membangunkan gereja untuk mereka. Hal ini dibenarkan
oleh Ketua Majelis Gereja Pieter Kami, suku Moi juga, dan Pendeta
Marghareta Felis.
(http://www.pgi.or.id/index.php?option=com_content&view=article&id=326:oase-kerukunan-islam-kristen-di-indonesia&catid=97:artikel-a-kajian)
Anehnya, berbagai pihak masih saja memberikan
gambaran buruk tentang toleransi beragama di Indonesia, dengan cara
mengangkat kasus-kasus konflik keagamaan. Dalam masyarakat yang plural,
perbedaan dan kadangkala konflik tentunya biasa terjadi. Tetapi tidak
sepatutnya, kasus-kasus itu diangkat secara berlebihan sehingga
menghilangkan gambar besar kerukunan umat beragama di Indonesia.
Kasus-kasus tentang rumah ibadat biasa terjadi di berbagai daerah dan
negara.
Jika tidak proporsional dalam mengangkat masalah,
maka masyarakat internasional akan kehilangan gambaran yang sebenarnya
terhadap toleransi beragama di Indonesia. Prof. Bilver Singh, dari
Singapore Nasional University, pernah mengekspose data yang membalik
opini masyarakat internasional tentang kondisi keagamaan di Timor Timur.
Seperti dikutip Adian Husaini, Singh menyimpulkan
bahwa selama Timor Timur menjadi bagian NKRI yang terjadi adalah
Katolikisasi, bukan Islamisasi! Ternyata, selama 22 tahun sejak
1972-1994, jumlah pengikut Katolik di Timtim meningkat 356,3%, yaitu
dari 27,8% menjadi 92,3%. Padahal, Portugis saja selama 450 tahun
menjajah Timtim hanya mampu mengkatolikkan 27,8% orang Timtim. Adian
menambahkan bahwa pertumbuhan pengikut Katolik itu di barengi dengan
peningkatan pendirian Gereja di Timtim yang berkembang lebih cepat
dibanding wilayah lain mana pun di dunia.
(http://adianhusaini.com/index.php?option=com_content&view=article&id=71:umat-islam-tidak-toleran&catid=38:artikel&Itemid=53).
Lebih lanjut, Menteri Agama Suryadharma Ali pada
24/4/11 menjelaskan “Berdasarkan data statistik fakta di lapangan,
justru tingkat pertumbuhan Gereja jauh lebih besar di banding Masjid.
Dalam kurun waktu 1997 hingga 2004, pertumbuhan rumah ibadah Kristen
sebesar 150 persen, Budha 360 persen, dan Hindu 400 persen. Sedangkan
tingkat pertumbuhan rumah ibadah umat Islam hanya sebesar 64 persen.”
(http://www.suara-islam.com/news/berita/nasional/2578-pertumbuhan-masjid-paling-kecil-dibanding-rumah-ibadah-lain).
Potret lainAwal Juni 2012 lalu, penulis melakukan perjalanan ke beberapa daerah di NTT untuk kegiatan workshop dan seminar. Di daerah minoritas Muslim ini, seperti diceritakan sejumlah tokoh Muslim, toleransi warga mayoritas sudah mulai terbangun dan ada beberapa peningkatan. Misalnya, diberikannya hak pelajaran agama Islam bagi siswa muslim di sekolah-sekolah negeri. Di samping itu pembauran dan interaksi sosial juga terbina dengan baik. Hal ini diperkuat lagi menjelang musim pilkada, di mana para kontestan non muslim kerap bersilaturahmi kepada komunitas muslim untuk mencari dukungan suara. Kompensasinya mereka akan lebih memperhatikan kepentingan umat Islam.
Namun demikian, tak dipungkiri, adanya beberapa kasus
diskriminasi yang menimpa umat Islam. Inilah yang, misalnya, dialami
warga pulau Kera yang hidup jauh dari standar kepatutan. Pulau kecil
seluas 1,5 km persegi ini terletak persis ditengah-tengah pintu masuk
kota Kupang dengan jarak tempuh sekitar 45 menit dengan menggunakan
perahu motor. Pulau ini dihuni sejak 1919 dan saat ini warganya mencapai
kurang lebih 78 kk (315 jiwa). Saat mengungjungi pulau ini, penulis
melihat begitu sangat tidak memadainya kondisi kehidupan mereka. Mereka
hidup di gubuk-gubuk reyot; tidak ada layanan pendidikan, kesehatan, air
bersih, apalagi listrik. Pada musim hujan, ombak dan angin, mereka
didera kelaparan karena akses keluar pulau sangat beresiko.
Kondisi ini diperparah lagi dengan tidak adanya
pengakuan kependudukan dari pemerintah daerah setempat, sehingga
mayoritas warga tidak memiliki KTP. Akibatnya, hal ini sangat
menyulitkan warga pulau Kera yang berasal dari suku Bajo, Sulawesi
Tenggara ini untuk mengurusi segala hal yang berkaitan dengan
pemerintahan, seperti pengurusan pernikahan, akte kelahiran, jaminan
kesehatan masyarakat (JAMKESMAS), dll. Itulah “museum hidup” derita
warga pulau Kera. Anehnya, menjelang pilkada biasanya ada yang membujuk
mereka untuk memberikan suaranya kepada salah satu calon dengan tumpukan
berbagai janji. Namun hingga saat penulis datang ke daerah itu, kondisi
mereka masih sangat memilukan.
Kasus-kasus individual juga kadang terjadi.
Sumber-sumber dari kalangan tokoh Muslim menceritakan, bahwa beberapa
waktu lalu warga muslim berencana mendirikan Sekolah Dasar Islam Terpadu
(SDIT) di Oebobo, kota Kupang. Namun dengan alasan tertentu, ijin
pendirian SDIT tidak diperoleh, akhirnya gedung yang sudah dipersiapkan
digunakan untuk lokasi Taman Kanak-kanak. Sebuah kasus juga pernah
dialami siswi sebuah SMA di Kupang. Ketika ada acara pengambilan foto
untuk pembuatan kartu siswa, siswi tersebut diminta melepaskan jilbab
dengan alasan kebijakan sekolah.
Dalam masalah pembuatan KTP elektrik (e-KTP), seorang
muslimah juga diminta membuka jilbab saat difoto. Muslimah ini lebih
memilih pulang dan urung membuat KTP daripada harus buka jilbab. Insiden
ini terjadi di kecamatan Maulafa. Suaminya kemudian melaporkan ke MUI
Kupang. Alhamdulillah, setelah dilakukan pendekatan, kasus ini selesai
dan Muslimah diijinkan membuat KTP dengan tetap memakai jilbab.
“Yang membuat kami resah di sini jika TV-TV nasional
memberitakan kasus-kasus yang menimpa beberapa gereja di Jawa,” kata
seorang dai yang sudah sejak 1965 bertugas di di NTT. Bapak berusia 70
tahun ini becerita, saat terjadi kasus penyerangan Gereja di Temanggung,
misalnya, sudah beredar SMS bahwa aka nada penyerbuan-penyerbuan masjid
di Kupang. Akibatnya, masyarakat, polisi, dan juga beberapa pemuka
agama Kristen berjaga-jaga dan berusaha menenangkan situasi.
Kasus demi kasus akan selalu terjadi. Sebab, Indonesia adalah negara plural. Akan tetapi, seperti diimbau oleh KH Hasyim Muzadi, seyogyanya, kasus-kasus itu diselesaikan secara internal. (***)
Kasus demi kasus akan selalu terjadi. Sebab, Indonesia adalah negara plural. Akan tetapi, seperti diimbau oleh KH Hasyim Muzadi, seyogyanya, kasus-kasus itu diselesaikan secara internal. (***)
0 komentar:
Posting Komentar