Kamis, 08 November 2012

HAKIKAT PENUNTUT ILMU*

Seluruh Ahlul Ilmi sepakat bahwa warisan terbesar dan paling berharga didalam sejarah kehidupan manusia adalah ilmu pengetahuan. Rasulullah SAW mengatakan bahwa para nabi tidak mewariskan dinar dan tidak pula dirham tetapi mewariskan ilmu pengetahuan. Maksud dari ilmu disini adalah ilmu syar’i yang dapat mendekatkan seorang hamba kepada Allah SWT. Imam Bukhori ketika menyebutkan kitab ilmi didalam kitab shahihnya, ia memulai dengan menyebut keutamaan ilmu. Ia berkata :” باب العلم قبل القول و العمل   kemudian beliau mengutip firman Allah SWT فاعلم أنه لا إله إلا الله [1] Ibnu Al Munir berkata:” Maksudnya adalah bahwasanya Ilmu adalah syarat sahnya setiap perkataan dan perbuatan. Keduanya tidak berarti apa-apa tanpa ilmu karena ilmu adalah faktor pentashih niat dan niat merupakan faktor pentashih amal. Dengan demikian penulis (Imam Bukhori) mengingatkan sejak dini pentingnya ilmu, sehingga tidak terdetik didalam hati seseorang bahwa Ilmu tidak bermanfaat tanpa amal yang pada akibatnya timbul sikap remeh terhadap ilmu pengetahuan dan thalabul ilmi.[2]. Seorang hamba tidak akan bisa mengetahui apa yang di sukai oleh Allah SWT kecuali melalui para rasul, oleh karena itulah Rasulullah menganjurkan seluruh umatnya untuk menuntut ilmu. Rasulullah bersabada :
من سلك طريقا يلتمس فيه علما سهل الله له طريقا إلي الجنة[3]
Thariq atau jalan disini memiliki dua pengertian. Pertama; jalan dalam menuntut ilmu diartikan sebagai jalan yang dilewati oleh seorang thalibul ilmi dari rumahnya menuju tempai dimana ia belajar. Kedua; juga biasa diartikan dengan arti lain seperti berfikir, membaca buku, mengadakan riset, diskusi bersama para ulama dan thalalibul ilmi dan sebagainya, semua itu merupakan jalan menuju ilmu.[4]
Didalam hadits lain Rasulullah bersabda :
إِن الملائكة لتضع أجنحتها لطالب العلم رضا بما يصنع [5]
Juga di dalam hadits lain Rasulullah bersabda :
وإن العالم ليستغفر له من فى السموات ومن فى الأرض والحيتان فى جوف الماء وإن فضل العالم على العابد كفضل القمر ليلة البدر على سائر الكواكب[6]
Enam syarat sukses dalam menuntut ilmu
Seorang penuntut ilmu, apalagi ilmu yang dapat mendekatkannya kepada Allah haruslah  memuliki kemauan yang tinggi. Karena menuntut ilmu tidak akan berhasil kecuali ada beberapa sifat yang harus dimiliki oleh seorang thalibul ilmi. Adapun sifat2x itu sebagaimana disebutkan oleh ulama kita adalah:
أخي لن تنال العلم إلا بستةٍ ……….. سأنييك عن تفاصيلها ببيان
ذكاء وحرص وافتقار وغربة ………….. وتلقين أستاذٍ وطول زمان
Enam hal ini jika benar-benar di perhatikan oleh thalabul ilmi insya Allah berhasil. Setiap orang ingin menuntut ilmu, tetapi banyak diantara mereka yang tidak sampai pada ilmu tersebut karena tidak tahu jalan yang harus ia tempuh. Sebagaimana dalam kisah ibnu Mas’ud bersama orang-orang yang bertasbih dengan krikil. Mereka berkata :” wahai abu Abdirrohman, kami tidak menginginkan kecuali kebaikan”. Ibnu Mas’ud berakata:” dan berapa banyak orang-orang yang menginginkan kebaikan tetapi tidak tercapai”. Karena ia belum berjalan dijalan yang telah ditentukan dan pada manhaj yang telah di tetapkan.
Pada makalah yang singkat ini kita mencoba untuk mengambil pelajaran dari enam sifat yang telah kita sebutkan tadi, yang harus dimiliki oleh seorang thalib al ilmi.
1. Dzakaun (kecerdasan)
Kecerdasan merupakan syarat pertama yang harus dipenuhi oleh thalibul ilmi. Imam Ghazali pernah mengatakan bahwa orang yang pintar adalah orang yang mengetahui bahwa ia tidak tahu akan sesuatu dan karenanya dia mau belajar.
Ilmu itu sangat luas sekali dan ia tidak memiliki akhir.  Imam Ibnu Jarir At Thobary ulama terkenal yang ahli dalam berbagai bidang ilmu pengetahuan, baik itu tafsir, hadits, tarikh, fiqh, Qiroat, ilmu lughah, ilmu filsafat, mantiq, dll, ketika ingin menulis tarikh (sejarah) ia berkata kepada sahabat-sahabatnya :” saya ingin menulis tarikh sejak Adam sampai sekarang”. Mereka bertanya :”berapa naskah (waroqoh)?”. Beliau menjawab:”30000”. Mereka berkata:” umur tidak akan cukup untuk itu”. Akhirnya beliau hanya menulis buku tarikh tersebut sebanyak 3000 naskah. Jadi tarikh thabary yang ada saat ini hanya 1/10 dari tarikh yang ingin di tulis oleh imam Thabary. Begitu juga dengan tafsir, ketika Imam Thabary mengungkapkan keinginannya untuk menulis tafsir, sahabat-sahabatnya bertanya:”besarnya seperti apa?” ia menjawab:” 30000 naskah (waroqoh). Mereka berkata:” umur akan habis sebelum ia selesai”. Akhirnya Imam Thabari menulis tafsir secara singkat sebanyak 3000 naskah (waroqot)[7]. Imam besar ini, dengan segudang ilmu yang ia miliki, tatkala sahabat-sahabatnya datang menjenguk disaat ia menghadapi syakarat al maut , mereka berdiskusi tentang sebuah masalah dalam ilmu faroid (mawaris), Imam Thabari meminta pena, tinta dan kertas untuk menulis permasalah tersebut. Salah satu temannya bertanya :” Saat ini?”. Ia menjawab :”Saya meninggal dan mengetahui permasalahan ini lebih baik daripada saya meninggal tanpa mengetahuinya“. Imam besar ini meskipun ilmu yang ia miliki sangat banyak, tetapi tatkala meninggal dunia, banyak permasalahan ilmu pengetahuan yang belum ia ketahui. Begitu juga imam Malik dan ulama-ulama lainnya. Dengan demikian ilmu tidak memiliki akhir, semakin banyak yang kita ketahui maka semakin banyak pula ilmu yang belum kita ketahui. ) “Dan tidaklah diberikan ilmu kepada kamu kecuali sedikit (QS. Al isra : 85)). Maka tidak mungkin permasalahan besar ini diserahkan kepada orang bodoh.
Dan merupakan salah satu tanda kecerdasan seseorang adalah memulai ilmu-ilmu yang kecil (dasar) sebelum ilmu yang besar (tinggi), karena makanan orang dewasa bisa menjadi racun bagi bayi. Sebagai contoh: daging sangat baik untuk orang dewasa tetapi ia sangat berbahaya jika diberikan kepada seorang bayi, begitu juga dengan orang yang baru belajar ilmu, jika diberikan kepadanya ilmu yang tinggi, ilmu itu bisa  membahayakannya. Oleh karena itu, merupakan tanda kecerdasan seorang thalib ilmi adalah memulai dari ilmu yang kecil dan tentunya memulai dari hal-hal yang wajib ia ketahui terlebih dahulu, seperti masalah aqidah agar terlepas dari syirik dan dan masalah ibadah dan lainnya.
2. Hirsun (ketamakan)
Seseorang yang tamak terhadap apa saja, tidak akan pernah membiarkan satu detikpun waktunya lewat dengan sia-sia. Detik demi detik akan terprogram rapi sehingga cita-cita berhasil ia raih dengan sempurna. Maka sebagai seorang thalibul ilmi harus benar-benar menjaga efisiensi waktu, karena waktu adalah umur. Seorang thalib ilmi tidak menyukai sebuah majelis yang tidak seorang pun di antara mereka benar-benar menguasai permasalahan yang sedang dibahas. Sebagai contoh mungkin diadakan sebuah majelis, dan terjadi perdebatan sampai tengah malam tetapi tidak seorangpun yang memahami permasalahan dengan sempurna. Setiap orang hanya berpegang teguh pada qila wa qola , karena ini hanya akan menghilangkan waktu.
Ulama-ulama kita dahulu termasuk orang-orang yang paling sungguh-sungguh dalam menjaga efisiensi waktu. Kita ambil sebagai contoh, Ibnu Aqil al Hanbaly[8]. Beliau mengarang sebuah buku dengan judul “al Funun” sebanyak 800 jilid dan yang sudah dicetak sebanyak 2 jilid.  Al Hafidz Ad Dzahaby didalam tarikhnya berkata:” belum ada seorangpun didunia ini yang mengarang buku melebihi kitab ini (al funun). Saya telah diberitahukan oleh seseorang (yaitu Ibnu Rajab) bahwa ia pernah melihat buku tersebut diatas jilid yang ke 400”. Abu Hafs Umar bin Ali Al Qozwini  berkata:”  saya mendengar dari syekh-syekh kami, mereka mengatakan:” buku itu 800 jilid”.
Ibnu Aqil al hanbaly sama dengan orang-orang biasa, ia memiliki isteri, anak, alim di kampungnya, sibuk mengajar para santri-santrinya dan ia juga memiliki kesibukan tersendiri, tetapi meskipun demikian ia berhasil mengarang sebuah buku sebanyak 800 jilid, dan buku ini satu dari sekian banyak bukunya yang beliau karang. Bagaimana ia bisa menulis buku tersebut sebanyak 800 jilid?? Ia berkata:
إني لا يحل لي أن أضيّع ساعة من عمري ، حتى إذا تعطل لساني عن مذاكرة ومناظرة ، وبصري عن مطالعة ، أعملت فكري في حال راحتي وأنا على الفراش ، فلا أنهض إلا وخطر لي ما أسطره . وإني لأجد من حرص على العلم وأنا في الثمانين من عمري أشد مما كنت أجده وأنا ابن عشرين سنة ، وأنا أقصّر بغاية جهدي أوقات أكلي ، حتى أختار سفّ الكعك وتحسّيه بالماء على الخبز ، لأجل ما بينهما من تفاوت المضغ

“Tidak boleh bagi saya menyia-nyiakan sedikitpun dari umur saya, hingga tatkala lisanku capek karena belajar dan diskusi, dan mataku lelah karena membaca. Saya berfikir tatkala istirahat diatas tempat tidur. Maka takkala saya berdiri, telah terdetik didalam diri saya apa yang akan saya tulis. Saya merasa bahwa kesungguhan saya dalam menuntut ilmu pada umur 80 tahun melebihi  kesungguhan saya di umur 20 tahun. Dan saya mempersingkat semampu mungkin waktu-waktu makan. Hingga saya memilih ka’ak (kue)  dan saya merasakannya dengan air dari pada Hubz (roti). Hanya karena antara keduanya ada perbedaan waktu ketika mengunyah”.
Ibnu ‘Akil Al Hanbali sama sekali tidak melalaikan waktu, hingga ia terus mengulur-ulur badannya untuk istirahat hanya untuk mencapai sebuah tujuan mulia yaitu ilmu pengetahuan.
Ulama-ulama kita dahulu tidak pernah  menyia-nyiakan waktu mereka sedikitpun. Maka tidak heran akhirnya mereka menjadi ulama yang benar-benar ahli di bidangnya. Jika mereka berbicara tentang satu bidang ilmu, mereka benar-benar menguasainya. Sebagai contoh Ibnu Taimiyyah Rohimahullah, seseorang yang bisa membuat setiap orang tercengang, jika kita membaca riwayat hidupnya, tidak akan pernah bosan. Sangat menjaga efisinesi waktu, oleh karena itulah Allah memberikan berkah atas umurnya. Hingga Ibnu Al Qoyyim berkata :” Saya telah melihat darinya sesuatu yang luar biasa. Ia menulis sebuah buku hanya dalam satu malam padahal orang lain mengopinya dalam waktu satu jum’at”. Padahal dalam menulis dibutuhkan ketenangan, kemudian membaca sana-sini, menulis, mendahulukan ini dan mengakhirkan itu dan sebagainya. Tetapi beliau ketika menulis laksana air mengalir.
3. Iftiqor… (butuh)
Seorang thalibul ilmi harus terus merasa butuh terhadap ilmu, jika ia merasa telah cukup maka itulah awal kegagalan. Oleh karena itu, ketika thalibul ilmi menguasai sebuah ilmu, maka  tidak boleh merasa bahwa ia telah menguasai sesuatu. Tetapi harus merasa selalu kurang dan terus butuh terhadap ilmu orang lain. Ketika ia merasa sudah tidak butuh orang lain, saat itulah, ia akan mengalami kerugian yang sangat banyak. Shofyan Sauri berkata:
لا ينبل أحد حتي يكتب عمن فوقه وعمن مثله وعمن دونه
“seseorang tidaklah dianggap jenius hingga ia belajar dari orang yang diatasnya, sepertinya dan orang yang lebih rendah darinya”.
Iftiqor ini sangat penting sekali bagi thalibul ilmi, pondasinya adalah tawadu’ dan tidak merasa diri lebih dari orang lain alias sombong atau gengsi.
4. Gurbatun (asing)
Gurbah disini memiki dua makna. Pertama; Rihlah fi Tholab al Ilmi. Meninggalkan keluarga, rumah, kampung halaman untuk satu tujuan yaitu menuntut ilmu. Kalau kita membuka lebaran-lembaran sejarah tentang hal ini, kita akan menumukan sesuatu yang sangat mencengangkan dari ulama-ulama hadits. Sebagai contoh. Imam bukhori menulis bukunya As Shahih didalamnya terdapat sekitar 4000 hadits tanpa pengulangan. Berapa lama Imam Bukhori dalam mengumpulkan hadits-hadits ini? Berapa berapa negeri yang harus ia kelilingi? Seberapa besar rasa capek yang beliau rasakan selama mengumpulkan hadits-hadits ini? Imam Bukhori yang hafal 300 ribu hadits mengarang bukunya As Shahih selama 17 tahun. Ketika Imam Bukhori sampai di Bagdad, ada seseorang yang mendengar seseorang mengatakan bahwa Imam Bukhori tidak bisa melaksanakan shalat dengan benar. Orang tersebut kemudian mendatangi imam Bukhori dan berkata :” ada seseorang yang mengatakan bahwa anda tidak bisa shalat dengan benar?”. Imam Bukhori menjawab :” Jika saya mau, saya bisa menyebutkan 10 ribu hadits tentang shalat sebelum kamu berdiri dari tempat dudukmu”. Ia menulis bukunya tersebut selama 17 tahun. Dan ia kumpulkan dari berbagai kota. Contoh lain bisa kita liha pada kisah perjalanan Syu’bah bin Hajjaj dari basrah ke mekah kemudian madinah dan kembali ke basrah hanya untuk mengecek sanad hadits wudhu[9], satu bulan perjalana Jabir bin Abdillah dari Madinah ke Syam hanya untuk mengetahui satu hadits yang pernah didengar oleh Abdullah bin Unais dari Rasulullah[10] dan perjalanan ulama-ulama lainnya.
Arti kedua adalah tidak bergaul dengan orang lain kecuali dengan orang-orang yang satu tujuan (tholabu al ilmi) dengannya. Dengan kata lain tidak mempergunakan waktu untuk ngobrol dan hal-hal yang tidak ada hubungannya dengan ilmu pengetahuan. Jadi seorang tholibul ilmi merasa asing di suatu daerah yang tidak berpendidikan.
5. Talqin Ustadz

Menghadiri muhadarah sang ustadz atau dosen merupakan syarat ke 5 dari enam syarat sukses menuntu ilmu. Yang menghadiri kulliah akan mendapatkan minimal tiga manfaat. Pertama; Mempersingkat waktu, kedua; mengislah pemahaman yang salah, ketiga; Memberika adab. Yang pertama, satu buku yang jika dibaca sendiri membutuhkan waktu satu hari tetapi guru dapat menjelaskan dalam waktu satu pertemuan. kedua, mengislah pemahaman yang salah, sekarang ini kita sering menemukan kesalahan didalam cetakan, mungkin yang paling banyak kelihatannya di dalam buku-buku muqorror. Siapa yang akan membenarkannya?? Tentu Ustadz atau dosen, maka karena itulah ulama kita dulu mengatakan :”
لا تأخذ العلم من صحفي ولا القرآن من مصحفي[11]
6. Tuul Az Zaman (waktu yang lama)
Karena ilmu sangat luas dan tidak memiliki akhir maka sudah barang tentu membutuhkan waktu yang sangat lama. Pepatah Arab mengatakan :”Tuntutlah ilmu dari buaian sampai ke liang lahat”.[12] Tidak ada kata berhenti dalam belajar, semakin tua umur maka semangat untuk belajar juga harus lebih tinggi sebagaimana perkataan Ibnu ‘Aqil Al Hanbali :” Saya merasa bahwa kesungguhan saya dalam menuntut ilmu pada umur 80 tahun melebihi  kesungguhan saya di umur 20 tahun”.
Buku dan Thalibul Ilmi
Buku adalah nyawa bagi seorang alim atapun thalibul ilmi. Tanpa buku laksana badan tanpa nyawa. Qadhi Zurjan (Abu Al Hasan Ali Abdul Aziz), menceritaka bagaimana pentingnya buku baginya dan nikmatnya hidup didampingi buku. Ia berkata dalam syairnya:
ما تطعمت لذة العيش حتي                      صرت للبيت والكتاب جليسا
ليس شيئ عندي أعز من العلـ                 ـــم فما أبتغي سواه أنيسا
إنما الذل في مخالطة النا                           س فدعهم وعش عزيزا رئيسا
Atau dalam bait lain di katakan :
وخير جليس في الزمان كتاب  *** تسلو به إن خانك الأصحاب
Banyak diantara ulama-ulama kita yang rela menjual harta yang mereka miliki untuk mendapatkan sebuah buku. Bahkan ada yang bernazar shalat atau puasa jika ia bisa membeli buku yang ia inginkan. Didalam makalah singkat ini penulis akan memberikan salah satu contoh dari mereka. Abdul Fattah Abu Guddah (pengarang buku Shofahat min sobri Al Ulama ‘ala syadaid al ilmi wa at tahsil) yang lahir tahun 1336 H dan wafat tahun 1418 H. bercerita:
“Ketika saya belajar di kulliyah syari’at Universitas Al Azhar, Syekh saya Al ‘Allamah Al Imam Muhammad Zahid Al Kautsari menasehati saya agar memiliki buku Fathu ALbab Al ‘inayah bi syarhi kitab an Nuqoyah karangan Allamah syakh Ali Al Qori. Saya mengira buku itu di cetak di India. Saya tinggal di Kairo selama 6 tahun (hingga saya berhasil menyelesaikan pendidikan disana). Selama itu saya terus mencari buku tersebut di seluruh maktabah  dan toko buku tetapi selama itu juga saya tidak pernah menemukan buku tersebut.
Ketika saya kembali ke Halab (di Syiria), saya terus berusaha mencari buku tersebut di setiap kota yang saya kunjungi dan setiap toko buku yang ada. Karena buku tersebut termasuk buku cetakan India, saya berusaha mencari buku-buku yang di cetak di India mudah-mudahan bisa menemukan buku yang selama ini saya cari, tapi tidak seorangpun dari mereka yang mengetahuinya.
Kemudian saya bertanya kepada Syekh Hamdi As Saparjalany tentang buku tersebut. Dari beliau saya mengetahui bahwa buku itu di cetak di Qazan Rusia. Dan selama hidupnya ia baru melihat satu eksempalar darinya dan telah dijual kepada Allamah Al Kautsari dengan harga yang tidak masuk akal.
Pada tahun 1376 H saya berkesempatan haji ke baitullah. Saya keliling di Mekah dan menanyai semua percetakan yang ada tetapi hasilnya nihil. Kemudian saya berkunjung ke salah satu toko buku langka yaitu milik Syekh Al Musthafa bin Muhammad Asy Syanqithi, saya membeli beberapa buku darinya. Dengan nada putus asa saya bertanya kepadanya tentang buku yang selama ini saya cari. Ia menjawab:” seminggu yang lalu buku itu saya beli dari salah seorang ulama Bukhara, dan telah saya jual kepada seseorang dari Bukhara yang merupakan salah seorang ulama di Thasyqand. Saya hampir tidak percaya dengan apa yang saya dengar. Saya bertanya:” Siapa nama Alim dari Thasyqand yang membeli buku itu darinya. Ia menjawab:” Syekh Inayatullah At Thasyqandy”. Saya bertanya lagi:” dimana ia tinggal? Bagaimana saya menemukannya?”. Ia menjawab :” saya tidak tahu”. Saya semakin putus asa.
Saya kemudian menemui setiap orang Bukhara yang saya temui baik itu di mesjid al haram atau di pasar, bahkan saya pergi ke luar Mekah untuk mencari syekh tersebut. Tetapi bagaimana mungkin saya menemukannya. Berapa banyak orang Bukhara yang memeiliki nama ‘Inayatullah yang haji di Mekah. Hingga saya bertemu dengan Syekh Abdul Qodir At Thasyqandy di perbatasan Mekah darinya saya mengetahi nama Syekh yang membeli buku tersebut yaitu Syekh Mir ‘Inayah At Thasyqandy. Tetapi ia tidak mengetahi tempatnya.
Sudah satu minggu saya mencari buku teresebut, hingga suatu hari saya bertemu dengan seorang saudagar dari Syam di salah satu pintu mesjid Al Haram. Ia memanggil saya ke tokonya setelah melihat bahwa saya orang Syam. Ia kemudian bertanya tentang keadaan Syam dan tentang penduduknya. Saya kemudian bertanya kepadanya tentang Syekh dari Bukhara itu. Ia menjawab:” Toko yang ada didepan saya itu adalah milik suami putrinya, dia lebih tahu”. Wallohi saya hampir tidak percaya dengan apa yang saya dengar.
Saya kemudian mendatangi toko milik suami putrinya dan menanyakannya. Ia balik bertanya :”kenapa kamu menanyakannya dan kenapa ingin bertemu dengannya”. Saya menjawab:” saya sudah berminggu-minggu mencarinya, tunjukkan saya tempatnya semonga Allah memberikan balasan buat anda”. Ia kemudian menunjukkan rumahnya kepada saya di Hay Al Misqolah. Saya mendatanginya berkali-kali siang dan malam hingga akhirnya bertemu dan ia menjual bukunya kepada saya dengan harga yang ia inginkan. Hari itu merupakan hari bahagia yang tidak akan saya lupakan seumur hidup”.[13]








Penutup
Abu Al Aswad mengatakan bahwa tidak ada sesuatu yang lebih mulia dari ilmu, para raja adalah pemimpin manusia dan ulama adalah pemimpin para raja. Ibnu Abbas juga pernah mengatakan bahwa Allah telah memberikan nabi Sulaiman pilihan antara ilmu, harta dan kekuasaan, dan ia memilih ilmu. Akhirnya Allah memberikan kepadanya ilmu, harta dan kekuasaan.[14]
Sebagai thalibul ilmu, pencari warisan nabi Muhammad SAW, hendaklah memulai perkerjaan yang mulia ini dengan mengikhlaskan niat karena Allah SWT. Kemudian berjalan sesuai dengan jalan yang telah ditentukan serta mengamalkan apa saja yang telah di pelajari. Karena Rasulullah telah bersabda :” Orang yang berat menanggung siksa di hari kiamat ialah orang yang berilmu namun tidak mendapat manfaat dari ilmunya itu.” Wallohu a’lam

0 komentar:

Posting Komentar