Rasa malu atau al-hayaa’ dalam bahasa Arab didefinisikan sebagai: suatu sifat yang ada dalam hati atau jiwa manusia, yang mendorongnya untuk melakukan kebaikan, kebajikan dan ketaatan, serta mencegahnya dari prilaku buruk, tercela dan yang memalukan.
Ada pula ulama yang memberikan definisi yang lebih dalam dengan mengatakan: Jika seorang hamba mengingat dan menyadari akan betapa luar biasa dan tak terhingganya nikmat serta rahmat Allah yang dilimpahkan kepadanya. Lalu ia bandingkan dengan betapa kecil, kerdil dan tak berartinya kadar amal yang ia upayakan dan lakukan dalam mensyukuri nikmat dan rahmat itu. Nah perasaan yang muncul dari hasil perbandingan antara nikmat dan taat itulah yang disebut rasa malu yang sebenarnya!
Apapun definisinya, yang jelas sifat rasa malu merupakan salah satu akhlak dasar Islam yang paling utama, bahkan ia termasuk yang menjadi pondasi dan landasan bagi akhlak-akhlak lainnya.
Bgitu vital dan menentukan peran akhlak rasa malu ini sehingga bisa diibaratkan bak sebuah bendungan penahan air atau kran air, dimana jika bendungan atau kran itu baik dan kokoh, maka air akan tertahan dan bisa dialirkan sesuai kebutuhan secara terkontrol. Tapi jika bendungan atau kran tersebut rusak dan dol, maka air akan meluber kemana-mana secara tidak terkontrol. Demikian pula rasa malu, selama masih ada dan kuat, maka prilaku seseorang, kondisi masyarakat dan situasi suatu bangsa, akan tetap terkontrol dengan baik. Namun jika rasa malu telah lemah atau bahkan hilang, maka seseorang, suatu masyarakat atau sebuah bangsa, akan menjadi seperti kuda liar yang lepas dari tali pengikat dan kendali pengontrolnya. Dan hal itu telah ditegaskan dalam hadits Abu Mas’ud Al-Badri radhiyallahu ‘anhu, dimana Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam bersabda (yang artinya): “Sesungguhnya diantara kata-kata kenabian terdahulu yang masih diingat oleh banyak orang adalah: “Jika kamu sudah tidak lagi mempunyai rasa malu, maka berbuatlah sekehendakmu/semaumu” (HR. Al-Bukhari). Tentu maksudnya adalah bahwa, jika sifat rasa malu telah hilang, maka kontrol diripun melayang dan hengkang.
Bgitu vital dan menentukan peran akhlak rasa malu ini sehingga bisa diibaratkan bak sebuah bendungan penahan air atau kran air, dimana jika bendungan atau kran itu baik dan kokoh, maka air akan tertahan dan bisa dialirkan sesuai kebutuhan secara terkontrol. Tapi jika bendungan atau kran tersebut rusak dan dol, maka air akan meluber kemana-mana secara tidak terkontrol. Demikian pula rasa malu, selama masih ada dan kuat, maka prilaku seseorang, kondisi masyarakat dan situasi suatu bangsa, akan tetap terkontrol dengan baik. Namun jika rasa malu telah lemah atau bahkan hilang, maka seseorang, suatu masyarakat atau sebuah bangsa, akan menjadi seperti kuda liar yang lepas dari tali pengikat dan kendali pengontrolnya. Dan hal itu telah ditegaskan dalam hadits Abu Mas’ud Al-Badri radhiyallahu ‘anhu, dimana Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam bersabda (yang artinya): “Sesungguhnya diantara kata-kata kenabian terdahulu yang masih diingat oleh banyak orang adalah: “Jika kamu sudah tidak lagi mempunyai rasa malu, maka berbuatlah sekehendakmu/semaumu” (HR. Al-Bukhari). Tentu maksudnya adalah bahwa, jika sifat rasa malu telah hilang, maka kontrol diripun melayang dan hengkang.
Maka sifat rasa malu, dengan demikian, merupakan salah satu penyebab dan pendorong utama bagi setiap bentuk kebaikan, kebajikan dan ketaatan dalam kehidupan. Sekaligus ia adalah salah satu faktor utama pencegah dan penghalang segala keburukan, kemungkaran, kenistaan dan kejahatan.
Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam bersabda: Dan rasa malu merupakan satu bagian (sangat vital dan mendasar) dari keimanan (HR. Muttafaq ‘alaih). Sehingga level keimanan seseorang sangat dipengaruhi dan ditentukan oleh kadar serta tingkat rasa malu yang ada di hatinya.
Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam bersabda: Dan rasa malu merupakan satu bagian (sangat vital dan mendasar) dari keimanan (HR. Muttafaq ‘alaih). Sehingga level keimanan seseorang sangat dipengaruhi dan ditentukan oleh kadar serta tingkat rasa malu yang ada di hatinya.
Dalam hadits lain Beliau shallallahu ‘alaihi wasallam juga bersabda (yang artinya): Rasa malu itu baik semuanya, atau dalam riwayat lain: Rasa malu itu semuanya baik (HR. Muslim). Oleh karena itu, janganlah pernah malu punya rasa malu!
Dan dalam riwayat hadits shahih lain lagi, Baginda Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam kembali menegaskan: Sifat malu itu tidak mendatangkan selain kebaikan (HR. Muttafaq ‘alih). Maka siapapun yang ingin agar kebaikan-kebaikan bagi diri dan kehidupannya tetap bertahan dan bahkan terus bertambah, maka hendaklah ia mempertahankan, meningkatkan dan mempertebal sifat rasa malu yang dimilikinya!
Jadi telah jelas sekali, sebagaimana ditegaskan dimuka bahwa, sifat rasa malu merupakan salah satu parameter utama kebaikan dan kesalehan bagi individu, keluarga, masyarakat, bangsa dan ummat.
Bukankah berbagai prilaku nista yang terdemonstrasikan dan terpampang secara vulgar di siang bolong dan tanpa tedeng aling-aling dimana-mana selama ini, adalah gara-gara telah pudar bahkan punahnya rasa malu yang hampir merata?
Karena umumnya orang hanya merasa malu dan sungkan terhadap orang-orang yang masih memiliki rasa malu dan sungkan dalam diri mereka.
Makanya terkait fenomena berbagai tindak dan aksi negatif, meskipun pelaku tak lagi bermalu misalnya, namun bila yang melihat dan menyaksikan masih punya malu, insyaallah hal-hal memalukan itu umumnya masih bisa tercegah dan tertahan.
Akan tetapi jika antara penonton dan yang ditonton, telah sama-sama tidak lagi merasa malu, maka pertunjukan memalukan seperti apa yang tak mungkin dipertontonkan?
Selanjutnya bagaimana seorang anak akan malu pada ibu bapaknya misalnya, jika banyak orang tua yang justru malu jika punya anak pemalu?
Bagaimana seorang anak akan malu pada bapak ibunya, jika prilaku orang tua sendiri justru tidak kalah memalukan?
Bagaimana seorang murid akan malu pada gurunya, jika sang gurulah justru yang mengajarkan padanya tindak dan prilaku tak patut?
Bagaimana pula seorang artis misalnya akan punya malu, jika yang paling seronok dan memalukanlah justru yang paling disuka oleh media dan menjadi idola bagi semua?
Bagaimana koruptor-koruptor kelas cicak akan malu, jika para koruptor buaya tetap saja menggila, leluasa dan merajalela?
Bagaimana rakyat akan malu pada pemimpinnya, jika para pemimpin sendiri tak lagi punya sisa malu pada rakyatnya?
Akhirnya, bila ada yang tanya, mengapa bangsa ini menjadi begitu memalukan sekarang ini? Maka jawabannya tak lain, adalah karena sifat malu telah lama tertutupi atau bahkan terhapus dari kamus moralnya!
Hasbunallahu wa ni’mal wakil! Wa la haula wa la quwwata illa billahil ‘Aliyyil ‘Adzim!
Oleh:Ustadz Ahmad Mudzoffar Jufri. MA
0 komentar:
Posting Komentar