Kamis, 22 Agustus 2013

ZAKAT FITRAH DAN KONSISTENSI BERINFAK



Ilustrasi Dari Inet
Zakat fitri, atau yang lebih dikenal dengan zakat fitrah, ialah zakat yang wajib ditunaikan oleh setiap muslim atas nama dirinya dan yang dibawah tanggung jawabnya, pada penghujung bulan Ramadhan, sebelum sholat Idul Fitri, bila yang bersangkutan memiliki kelebihan harta untuk keperluan pada hari itu dan malam harinya. Adapun kadar yang dibayarkan adalah satu sha’ (kurang lebih 2,2 kg atau yang biasa digenapkan menjadi 2,5 kg) dari bahan makan pokok setiap daerah. Menurut sebagian ulama, zakat fitri juga bisa ditunaikan dalam bentuk nilai mata uang seharga kadar zakat tersebut, khususnya jika hal itu lebih bermanfaat bagi fakir miskin yang menerimanya. Dan karena keterkaitannya yang lebih kuat dengan diri si pembayar zakat daripada keterkaitannya dengan harta, zakat ini juga dikenal dengan sebutan zakatul abdan atau zakatul anfus (zakat diri).
Berbeda dengan zakat maal (zakat harta) yang mensyaratkan nishab (batas kemampuan finansial) tertentu pada harta wajib zakat sebagai standar kemampuan finansial kategori kaya, dalam hal zakat fitri, syarat nishab sangatlah sederhana. Artinya, jika zakat maal itu hanya wajib atas orang-orang Islam yang kaya saja (HR Muttafaq ‘Alaih dari Mu’adz bin Jabal), maka tidak demikian halnya dengan kewajiban zakat fitri yang bisa jadi juga berlaku bagi orang Islam yang miskin. Karena untuk sekadar memenuhi syarat kewajiban zakat fitri, yakni bahwa seseorang memiliki kelebihan kebutuhan makan-minumnya selama sehari semalam hari raya, rasanya banyak sekali orang miskin sekarang yang memenuhi syarat tersebut. Maka dengan demikian banyak orang miskin pun wajib membayar zakat fitri. Padahal sebagaimanan yang telah diketahui, orang fakir miskin merupakan salah satu sasaran utama pendistribusian zakat, baik maal maupun fitri (QS At-Taubah : 60). Artinya, seorang miskin disatu sisi wajib membayar zakat fitri, tapi disisi yang lain, karena status kemiskinannya, dia juga berhak menerima zakat, baik fitri maupun maal, dimana boleh jadi yang dia terima justru lebih besar daripada yang dia bayarkan. Nah disini mungkin akan muncul pertanyaan : Jika demikian, apa hikmah dan tujuan seseorang tetap diwajibkan berzakat fitri, padahal di saat yang sama dia juga termasuk yang berhak menerima pembagian zakat itu, sehingga seakan-akan apa yang dia bayarkan itu akhirnya akan dia terima kembali atau justru dia bisa mendapatkan lebih? Mengapa jika demikian orang yang seperti itu tidak dibebaskan saja dari kewajiban zakat fitri, sebagaimana yang berlaku dalam hal zakat maal? Nah disinilah justru terletak salah satu sisi rahasia keunikan khas zakat fitri. Kita yakin pasti ada hikmah khusus dibalik syariah ini.
Salah satu hikmah itu telah disebutkan dalam hadits. Yakni, disamping manfaat dan tujuan memenuhi kebutuhan fakir miskin, seperti tujuan zakat pada umumnya, ada hikmah, manfaat dan fungsi khusus zakat fitrah yang terkait dengan ibadah puasa yang dilakukan oleh sang muzakki (pembayar zakat). Yaitu fungsi sebagai faktor pensuci diri orang yang beribadah puasa dan sebagai penutup kekurangan-kekurangan yang terjadi pada puasanya (HR Abu Dawud, Ibnu Majah dan Al-Hakim). Dengan demikian berarti zakat fitri merupakan bagian pelengkap yang tidak bisa dipisahkan dari kesempurnaan pelaksanaan ibadah puasa itu sendiri. Dan fungsi ini tentu dibutuhkan oleh setiap orang yang berpuasa, baik yang kaya maupun yang miskin!
Disamping itu ada hikmah dan fungsi lain yang bisa kita tangkap dari pewajiban zakat fitri termasuk atas orang miskin. Yakni untuk menjaga komitmen dan konsistensi seseorang untuk selalu berinfak dalam kondisi apapun, kaya atau miskin, lapang atau sempit, punya banyak atau punya sedikit dan seterusnya, yang merupakan karakteristik utama orang-orang bertaqwa (QS Ali ‘Imran : 133 – 134). Juga agar si fakirpun tetap bisa mengalami rasanya memberi, tidak selamanya berada di posisi penerima saja. Hal ini sangat penting karena jika kebiasaan berinfak dan memberi ini tidak selalu dijaga konsistensinya khususnya saat dalam kondisi berkekurangan, miskin dan sempit, maka seseorang akan terjangkiti penyakit hati yang menjadikannya berat dan bahkan enggan berinfak termasuk ketika dia sudah kaya dan lapang sekalipun. Maka marilah terus selalu gemar berinfak dan suka memberi seberapapun, dalam kondisi apapun dan sampai kapanpun, sesuai kemampuan masing-masing, sebagai bukti bahwa kita adalah orang-orang beriman dan bertaqwa! Karena umat beriman adalah umat penginfak dan pemberi. Dan tiada taqwa yang sempurna tanpa semangat memberi dan berbagi! Semoga!
Oleh:Ustadz Ahmad Mudzoffar Jufri. MA
Untuk mendapat cerita dan tausiah-tausiah  lainya. silahkan gabung ke: Ustadz Ahmad Mudzoffar Jufri

0 komentar:

Posting Komentar