Kamis, 22 Agustus 2013

Antara Iman Teoritis Dan Praktis



  Allah Ta’ala berfirman (yang artinya): ”Telah berkata orang-orang A’raab (Arab gunung/Arab badui, saat baru masuk Islam): ”kami telah beriman”. Sampaikanlah (wahai Muhammad): kalian masih belum beriman, namun katakanlah bahwa, kami telah berislam. Karena sebenarnya iman masih belum masuk kedalam hati kalian…” (QS. Al-Hujuraat: 14).
Dari hasil tadabbur dan perenungan terhadap kandungan firman Allah diatas, bisa kita simpulkan bahwa, keimanan itu mempunyai dua sisi atau aspek, dimana satu sama lain saling melengkapi dan menyempurnakan:
Pertama: Aspek keimanan akal pikiran yang berupa pemahaman keilmuan dan pembenaran logika yang bersifat teoritis (iman ‘aqli ’ilmi nadzari). Yakni berupa penguasaan pemahaman teoritis terhadap prinsip-prinsip keimanan dan aqidah Ahlus Sunnah wal Jama’ah berdasarkan Al-Qur’an dan As-Sunnah. Seperti pemahaman, penerimaan dan pembenaran secara logika terhadap enam rukun iman dengan segala rincian kandungannya. Nah, keimanan tahap atau jenis inilah yang baru dimiliki oleh orang-orang A’raab itu saat baru pertama kali masuk Islam. Yakni keimanan yang baru sebatas pengakuan dan penerimaan secara logika dan akal pikiran terhadap kebenaran Islam yang dibawa oleh Rasulullah shallallahu ’alaihi wasallam.
Dan aspek teoritis inilah yang akan menghasilkan keimanan atau aqidah yang benar (iman shahih atau aqidah shahihah). Dimana dengan bekal dan perisai aspek keimanan dan aqidah teoritis ini, seorang mukmin atau mukminah akan mampu bertahan dan membentengi diri sehingga tidak mudah terpengaruh dan terkontaminasi oleh beragam bentuk penyimpangan pemikiran dan ideologi yang ada. Bahkan dengannya pula ia akan mampu melawan arus berbagai syubhat ideologi dan serangan pemikiran yang selalu datang silih berganti. Disamping penyimpangan aqidah dalam aspek teoritisnya ini pulalah yang umumnya memunculkan kelompok-kelompok Islam sempalan dan firqah-firqah menyimpang sejak awal sejarah Islam sampai sekarang dan sampai seterusnya.
Kedua: Aspek keimanan yang berupa keyakinan dan rasa hati yang bersifat praktis serta menghasilkan amal nyata (iman qalbi dzauqi ’amali). Dan aspek keimanan praktis inilah yang akan membuahkan iman atau aqidah yang kokoh dan kuat (iman qawiy atau ’aqidah qawiyyah). Jika aspek pertama berbicara tentang ilmu dan teori keimanan, maka aspek kedua ini tentang rasa (dzauq), buah, pengaruh dan bukti keimanan. Sehingga disamping wajib diketahui bingkai ilmu dan teorinya, tidak kalah pentingnya keimanan juga harus bisa dirasakan buah lezat dan manisnya serta dibuktikan hasil dan pengaruh positifnya, baik dalam sifat, karakter, pola pikir, prilaku, sikap dan lain-lain pada diri pribadi setiap individu muslim dan muslimah, maupun dalam pergaulan kehidupan umum dengan berbagai aspeknya di tengah-tengah masyarakat.
Nah keimanan tahap atau jenis inilah, yang masih dinafikan oleh Allah Ta’ala dari orang-orang Arab gunung/badui yang disebutkan dalam ayat diatas, saat mereka baru masuk Islam. Karena umumnya memang dibutuhkan proses dan waktu, agar keimanan yang umumnya bermula dari akal pikiran dan berupa ilmu serta pemahaman akhirnya bisa turun dan masuk ke dalam hati menjadi sebuah keyakinan yang bisa dirasakan secara riil buah manisnya dan diperoleh pengaruh positifnya.
Rasulullah shallallahu ’alaihi wasallam bersabda (yang artinya): ”Telah bisa menikmati rasa lezatnya iman orang yang telah ridha menjadikan Allah sebagai Rabb-nya (Tuhan-nya), Islam sebagai agamanya dan Nabi Muhammad (shallallahu ’alaihi wasallam) sebagai rasulnya” (HR. Muslim dari Al-’Abbas bin ’Abdil Muththalib radhiyallahu ’anhu). Dan dalam hadits lain beliau bersabda (yang artinya): ”Ada tiga hal yang jika ketiganya terdapat dalam diri seseorang, maka ia telah bisa mendapatkan (merasakan) manisnya iman: …” (HR. Muttafaq ’alaih dari Anas bin Malik radhiyallahu ’anhu).
Imam Hasan Al-Bashri rahimahullah berkata,“Iman bukanlah hanya angan–angan belaka, juga bukan sekadar hiasan semata! Namun ia adalah keyakinan kuat yang terhunjam dalam hati, dan dibuktikan dengan amal”.
Diriwayatkan pula bahwa, seseorang pernah bertanya kepada Imam Al-Hasan Al Bashri rahimahullah,”Wahai Abu Sa’id! Adakah Anda seorang mukmin ?” Beliau menjawab, ”Iman itu ada dua macam. Jika yang kamu tanyakan adalah iman (secara teoritis) kepada Allah, malaikat-malaikat-Nya, kitab-kitab-Nya, rasul-rasul-Nya, Surga, Neraka, Hari Berbangkit dan Hari Penghisaban, maka aku adalah orang yang beriman kepada itu semua. Namun jika yang kamu tanyakan adalah tentang firman Allah (dalam QS Al-Anfaal : 2-4), maka demi Allah aku tidak tahu apakah aku benar-benar sudah termasuk dalam kategori mereka ataukah belum”.
Itulah gambaran umum dan global tentang dua aspek keimanan di dalam Islam, yang wajib diwujudkan, direalisasikan dan dipenuhi secara proporsional oleh setiap orang beriman. Tidak boleh salah satunya saja tanpa yang lainnya. Karena pemaduan antara keduanyalah yang akan menghasilkan aqidah atau iman yang haq (QS. Al – Anfaal 8 : 4 & 74) atau iman yang shadiq itu (QS. Al – Hujurat 49 : 15).
Jadi kedua-duanya harus disikapi sama-sama urgen dan pentingnya. Namun demikian, dari aspek upaya, memang secara fakta riil diakui dan dibuktikan oleh kebanyakan orang bahwa, mewujudkan keimanan rasa hati yang bersifat praktis itu jauh lebih sulit dan lebih berat, serta membutuhkan mujahadah yang lebih besar, daripada yang diperlukan untuk merealisir aspek keimanan akal pikiran yang berciri teoritis.
Bahkan ulama besar sekelas Imam Hasan Al-Bashri saja sampai tidak berani mengklaim bahwa, beliau telah bisa memenuhi iman praktis tersebut, sebagaimana yang telah dikemukakan diatas. Meskipun kita tentu yakin bahwa, beliau pasti sudah mencapai derajat yang tinggi sekali dalam kedua aspek keimanan. Hanya ketawadhuan luar biasa sajalah yang mendorong beliau menyatakan yang beliau nyatakan itu. Namun setidaknya itu semakin menegaskan, betapa memang sangat tidak mudah untuk mewujudkan aspek keimanan pembuktian praktis yang bersumber dari rasa keimanan hati itu.
Disamping itu yang banyak dibicarakan dan dibahas oleh para ulama tentang masalah naik dan turun atau bertambah dan berkurangnya keimanan dalam diri seseorang, umumnya juga lebih tertuju kepada aspek keimanan rasa daripada keimanan ilmu.
Selanjutnya berikut ini sekadar gambaran contoh untuk membedakan antara keimanan ilmu dan keimanan rasa, antara keimanan teoritis dan keimanan praktis.
Tentang enam rukun iman misalnya. Seseorang telah memiliki tingkat keimanan yang baik secara teoritis dan normatif jika ia telah menguasai dan memahami dengan benar prinsip-prinsip dasar masing-masing rukun berikut penjabarannya minimal secara global, berdasarkan kaidah-kaidah keimanan yang disepakati oleh para imam dan ulama Ahlus Sunnah Waljamaah. Tentu saja syarat utamanya, bahwa pemahaman dan penguasaan teoritis tersebut harus didasarkan pada sikap pengakuan, penerimaan dan pembenaran dari yang bersangkutan.
Itulah aspek ilmu teoritis dari keimanan terhadap enam rukun iman di dalam Islam.
Adapun aspek rasa yang bersifat praktis dari keimanan terhadap keenam rukun, adalah ketika seseorang telah bisa mendapatkan, merasakan dan menikmati secara riil buah manis dan pengaruh positif dari keimanannya itu di dalam hati, jiwa dan perasaannya, yang kemudian terekspresikan dalam sifat, sikap, karakter dan prilaku dalam diri dan kehidupannya, yang serba positif dan konstruktif. Sehingga orang lainpun juga bisa ikut menangkap dan merasakan bukti adanya keimanan itu dalam diri yang bersangkutan.
Misalnya tentang rukun iman yang paling utama, yang merupakan rukun-nya semua rukun, yaitu iman kepada Allah ‘Azza wa Jalla. Semua orang beriman tentu mengakui dan meyakini bahwa, Allah itu selalu Maha Mengetahui dan Mengawasi segala gerak dan diam setiap manusia. Namun umumnya itu baru bersifat keyakinan teoritis saja. Karena tidak sedikit diantara mereka yang bersikap dan berprilaku dalam kesehariannya, seakan-akan bahkan Allah tidak ada! Dan seolah-olah bagi mereka Allah tidak mengawasi, tidak melihat, dan tidak mendengar! Itu berarti aspek keimanan rasa yang bersifat praktis sangatlah lemah!
Contoh lain misalnya tentang keimanan kepada malaikat. Seluruh ummat Islam tentu saja tahu, mengakui, dan meyakini bahwa, selalu ada malaikat yang ditugasi Allah untuk mencatat amal-amal manusia kapanpun dan dimanapun. Akan tetapi inipun pada kebanyakan hanya sebatas keimanan ilmu yang teoritis semata. Karena pada kenyataan dan realitanya, mereka tidak cukup bisa selalu menyadari dan merasakan secara riil kehadiran malaikat itu dalam kehidupannya! Dan ini juga tentu menunjukkan lemahnya aspek keimanan rasa yang berciri praktis tersebut.
Contoh lain lagi misalnya dalam hal keimanan kepada Hari Akhir. Seluruh kaum mukminin jelas meyakini akan pasti hadirnya Hari Pembalasan itu. Namun lagi-lagi keimanan tersebut masih lebih dominan sebagai keimanan ilmu yang teoritis sebagaimana keimanan-keimanan yang lain pada umumnya. Karena di tataran praktis, tidak sedikit diantara mereka yang hampir tidak tampak sedikitpun bukti, buah dan pengaruh dari keimanannya kepada Hari Kembali tersebut, dalam dirinya, dalam sifat dan karakternya, dalam prilakunya, dan dalam hidupnya secara umum dengan beragam aspeknya. Karena diantara buah, pengaruh dan konsekuensi praktis dari keimanan kepada Hari Berbangkit, adalah terkontrolnya prilaku karena selalu ingat akan detailnya hisab dan adilnya pengadilan akherat, dominannya orientasi dan pertimbangan ukhrawi dalam diri di setiap langkah dan tindakan, kuatnya kerinduan kepada surga, besarnya rasa takut kepada neraka, dan seterusnya. Namun faktanya itu semua tidak begitu tampak dan terbukti secara nyata.
Terakhir dengan contoh ibadah praktis seperti shalat misalnya, mungkin gambaran tentang kedua aspek keimanan tersebut bisa lebih jelas lagi. Ya, gambaran aspek keimanan ilmu yang bersifat teoritis dalam hal ibadah shalat misalnya, adalah ketika seseorang dalam melaksanakannya, telah bisa dengan baik memenuhi seluruh syarat, rukun, wajib, dan sunnahnya, sehingga dengan itu semua shalat yang dilakukannya dalam timbangan ulama fiqih dinilai telah sah dan bahkan sempurna. Ini aspek ilmu dan teorinya. Adapun aspek keimanan rasa yang bersifat praktis dalam contoh ibadah asasi ini, adalah apa yang dirasakan dan didapatkan oleh yang bersangkutan saat menjalankannya, berupa kekhusyukan, ketenangan, kenikmatan dan kelezatan, yang membuat kewajiban shalat menurutnya tidak lagi merupakan sebuah beban yang berat, melainkan justru telah menjadi kebutuhan vital yang selalu dinanti dan dirindukannya setiap saat. Karena shalat baginya telah menjadi sarana utama penyejuk hati, penenang jiwa, dan pelapang dada. Sebagaimana Rasulullah shallallahu ’alaihi wasallam telah bersabda (yang artinya): ”…dan telah dijadikan penyejuk hatiku ada dalam shalat” (HR. An-Nasaa-i dan lainnya dari sahabat Anas bin Malik ra.). Begitu pula saat hadir waktu shalat, Beliau shallallahu ’alaihi wasallam-pun bersabda kepada Bilal sang muadzin: ”Buatlah kita rehat dengan shalat, wahai Bilal” (HR. Abu Dawud, Ahmad, Ath-Thabrani, dan lain-lain, dishahihkan oleh Al-Albani).
Akhirnya, semoga kita semua selalu beroleh taufiq Allah Ta’ala untuk bisa meningkatkan kualitas keimanan kita dengan kedua aspeknya, ilmu dan rasa, teori dan praktek sekaligus, sehingga bisa menggapai derajat iman yang haq dan shadiq. Dimana tidak hanya pandai berteori tentang keikhlasan saja misalnya, melainkan juga mampu benar-benar mewujudkannya dalam setiap amal dan ibadah. Tidak hanya piawai dalam memaparkan indahnya konsep tawakkal dalam ajaran Islam, melainkan juga betul-betul mampu menjadi orang yang senantiasa berserah diri secara total kepada Dzat Yang Maha segala-galanya. Tidak hanya mempesona saat mengupas prinsip keimanan kepada taqdir, melainkan juga mampu secara riil membuktikan indahnya kesabaran seorang mukmin setiap kali mendapat ujian kesulitan, disamping bisa menunjukkan istimewanya sikap syukur saat memperoleh ujian kemudahan. Dan begitu seterusnya.
SEMOGA !
- See more at: http://inspirasiislami.com/index.php/2011/12/antara-iman-teoritis-dan-praktis/#sthash.0CKmM2BJ.dpuf

0 komentar:

Posting Komentar