Senin, 01 April 2013

Restu Ibu Imam Syafi'i

Sejak kecil, Imam Syafi'i telah hafal al-Quran dan banyak hadis. Jika mendengar ada guru datang mengajar, dia segera pergi untuk menimba ilmu. Ketika berusia 14 tahun, Imam Syafi'i menginginkan kepada ibunya tentang keinginannya untuk merantau untuk menambah ilmu. Awalnya, ibunya merasa berat untuk melepaskan karena Syafi'i adalah satu-satunya harapan ibunya untuk menjaganya di hari tua. Demi ketaatan dan kasih sayang Syafi'i kepada ibunya, dia membatalkan keinginannya itu. Akhirnya ibunya mengizinkan Syafi'i merantau untuk menambah ilmu pengetahuan. Sebelumnya melepaskan anaknya, maka ibunya berdoa, "Ya Allah Tuhan yang menguasai seluruh Alam! Anakku ini akan meninggalkan aku untuk berjalan jauh, menuju keredhaanMu. Aku rela melepaskannya untuk menuntut pengetahuan peninggalan PesuruhMu. Oleh karena itu aku bermohon kepadaMu, ya Allah agar dipermudah urusannya. Peliharakanlah keselamatannya,­ panjangkanlah umurnya agar aku dapat melihat kepulangannya nanti dengan dada yang penuh dengan ilmu yang bermanfaat. Amin! " Selesainya berdoa ibunya memeluk Syafi'i kecil dengan penuh kasih sayang dan dengan linangan air mata karena sedih untuk berpisah. "Pergilah anakku. Allah bersamamu! Insya-Allah engkau akan menjadi bintang ilmu yang paling gemerlapan dikemudian hari. Pergilah sekarang karena ibu telah redha melepaskanmu. Ingatlah bahwa Allah itulah sebaik-baik tempat untuk memohon perlindungan. " Setelah ibunya berdoakan, Syafi'i mencium tangan ibunya dan mengucapkan selamat tinggal. Dia meninggalkan ibu yang sangat dikasihinya dengan hati yang pilu dan mengharapkan ibu selalu mendoakan kesejahteraannya dalam menuntut ilmu. Karena kehidupannya yang sangat miskin, maka Syafi'i berangkat dengan tidak membawa pasokan uang, kecuali dengan berbekalkan doa ibunya dan cita-cita yang teguh untuk menambah ilmu sambil bertawakkal kepada Allah. Ketika mahal kisah ini, Imam Syafi'i berkata, "Sesekali aku menoleh kebelakang untuk melambaikan tangan kepada ibuku. Dia masih berada pekarangan rumah sambil memperhatikan aku. Lama-kelamaan wajah ibu menjadi samar ditelan kabut pagi. Aku meninggalkan kota Makkah yang penuh barakah tanpa membawa sedikitpun bekalan uang. Apa yang menjadi pasokan untuk diriku hanyalah Iman yang teguh dan hati yang penuh tawakkal kepada Allah serta doa restu ibuku saja. Aku serahkan diriku kepada Allah seru sekalian Alam. "

0 komentar:

Posting Komentar