Senin, 01 April 2013
Empat Kecukupan Yang Harus Dihindari
كَفَى بِفُقْدَانِ الرَّغْبَةِ فِى الخَيْرِ مُصِيْبَةً وَكَفَى بِالذُّلِّ فِى طَلَبِ الدُّنْياَ عُقُوْبَةً
وَكَفَى بَالظُّلْمِ حَتْفاً لِصَاحِبِهِ وَكَفَى باِلذَّنْبِ عَارًا لِلْمُلِمِّ بِهِ
“Cukuplah sudah hilangnya sebuah semangat dan keinginan untuk berbuat kebaikan itu menjadi suatu musibah! Cukuplah sudah sikap merendahkan diri mencari dunia sebagai hukuman”
Al-Habib Abdullah Al-Haddad dalam pesan di atas mengatakan ada empat macam ‘kecukupan’ yang harus kita hindari. Pertama, kecukupan berupa hilangnya suatu kegemaran, selera, semangat dan keinginan untuk berbuat kebaikan sebagai sebuah musibah. Di dalam Syarah Al Hikam beliau berkata, “Tidak ada musibah yang lebih besar selain kemalasan dan hilangnya semangat dari hati seseorang untuk berbuat baik. Maka ketahuilah bahwa dia sedang tertimpa musibah yang paling besar yang tiada lagi musibah lebih besar dari itu.”
Persoalannya, apakah kita bisa mengerti bahwa apa yang diungkapkan beliau ini memang sebuah musibah, mengingat kelemahan kita dalam bernalar. Sering kali kita tidak mampu membedakan batu permata dan batu sungai. Para salafus salih beranggapan kehilangan satu kebaikan, sekalipun nampaknya remeh, adalah sebuah musibah.
Dalam manaqib Habib Abdulkadir bin Husein Assegaf disebutkan bahwa beliau memiliki semangat besar dalam berbuat kebaikan. Imam Hatim Al-Ashom pernah berkata , “Aku pernah ketinggalan shalat berjamaah sekali. Kemudian aku dita’ziahi oleh Abu Ishaq al-Bukhori.” Kunjungan ini merupakan pernyataan berduka- cita atas tertinggalnya Hatim dalam shalat berjamaah di masjid. Imam Hatim Al-Ashom melanjutkan, “Aku yakin kalau anakku meninggal dunia mungkin yang ta’ziah lebih dari sepuluh ribu orang. Tapi ketika aku ketinggalan shalat berjama’ah hanya satu orang yang berta’ziah kepadaku. Ini dikarenakan musibah agama bagi mereka lebih ringan jika dibandingkan dengan musibah dunia.” Beginilah sikap para salaf kita terdahulu.
Generasi masa sekarang sangat jauh dari tatanan ideal generasi Hatim. Kita yang bermodalkan pengajian seminggu sekali ini sering menganggap enteng dan mudah hilangnya waktu-waktu kebaikan, memandang enteng ketinggalan shalat berjamaah di masjid, membaca Al-Quran, mempelajari ilmu-ilmu Islam. Bahkan seringkali kita melindungi diri dengan mengutip Hadits “Yassiruu wa laa Tu’assiruu” (Mudahkanlah jangan mempersulit). Dalilnya sudah betul, aplikasinya yang tidak tepat.
Inilah pentingnya menumbuhkan semangat kebaikan. Bahkan orang-orang dulu bukan hanya sekedar “Roghbah” (semangat berbuat baik), tetapi menjadi pencetus kebaikan untuk umat. Mereka menciptakan beragam karya kebaikan untuk umat . Setidaknya, kalau kita tidak bisa menjadi seperti mereka, kita berusaha mendekati. Disebutkan dalam sebuah ungkapan bijak:
النَّاسُ فِى الخَيْرِ عَلَى أَرْبَعَةِ أَقْسَامٍ مَنْ فَعَلَهُ اِبْتِدَاءً فهو كَرِيْمٌ وَمَنْ فَعَلَهُ اِقْتِدَاءً فَهُوَ حَكِيْمٌ وَمَنْ تَرَكَهُ حِرْمَاناً فَهُوَ شَقِيٌّ وَمَنْ تَرَكَهُ اِسْتِحْسَاناً فَهُوَ غَبِيٌّ
“Manusia dalam kaitannya dengan kebaikan ada empat macam”
Pertama, Orang yang berbuat baik pertama kali. Orang semacam ini disebut orang yang mulia. Orang yang memulai, pencetus sebuah kebaikan. Kalau untuk menjadi yang pertama bagi kita terasa berat, mengapa tidak menjadi yang nomor dua?
Kedua, Orang yang melakukan kebaikan atas dasar iqtidaa`an (meniru). Meneladani pendahulunya, mencontoh kebaikan yang diwariskan oleh generasi sebelumnya. Kategorinya sebagai orang yang bijaksana.
Ketiga, Orang yang meninggalkan kebaikan karena memang dia tercegah dari kebaikan itu. Ini adalah kategori orang yang celaka. Bagi orang seperti ini melakukan suatu kebaikan akan terasa sangat sulit.
Keempat, Orang yang meninggalkan kebaikan karena justru menganggap hal tersebut sebagai sesuatu yang baik (istihsaan). Orang semacam ini termasuk manusia terkebelakang yang seolah tidak bisa lagi membedakan mana siang dan malam, keburukan dan kebaikan.
Berbuat baik itu tidak mudah. Soalnya, elemen yang mendasarinya harus iman. Kita berangkat dari rumah misalnya, menghadiri majlis dengan membawa iman. Oleh karena itu, boleh jadi akan terasa berat meski jaraknya dekat. Berbeda mungkin kalau sedang menuju tempat hiburan meski letaknya cukup jauh.
Mari berusaha sedapat mungkin untuk menjalani hari-hari kita dengan mengisinya dengan kebaikan dan hal-hal yang bermanfaat. Meskipun arah menuju kebaikan adakalanya terasa berat, usaha kesana tidak pernah boleh berhenti. Setan dan nafsu memang akan senantiasa menjadi musuh manusia. Namun, itu tidak berarti bahwa kita tidak mampu menaklukkan keduanya! Mari kita jadikan usaha melakukan yang terbaik dalam hidup ini sebagai yang terdepan. Dalam banyak peristiwa, manusia bahkan tampil lebih perkasa dari nafsu dan setan
Langganan:
Posting Komentar (Atom)
0 komentar:
Posting Komentar