Kamis, 04 April 2013

AJAKAN PARA AIMMATUTTASHAWWUF UNTUK MENJALANKAN SYARIAH.

Kaum sufi atau tashawuf sering dijadikan sasaran olok-olokan kelompok tertentu. Bahkan mereka
berada dalam kondisi yang teraniaya. Selalu dicurigainya. Dan terdapat sebagian kalangan dengan
keterlaluan dan tanpa rasa malu memasukkan dalam kategori sesat. Yang berakibat gugur kesaksian
dan lenyapnya sikap adil. Kita sering mendengar perkataan seperti ini, “Fulan bukan orang yang bisa
dipercaya dan informasinya ditolak.” Mengapa ? Karena ia seorang sufi.
Namun di sisi lain kita menemukan, kelompok yang menghina dan merendahkan kaum sufi ini sering
mengutip ungkapan, mengambil pandangan dari para imam tashawwuf dalam khutbah dan
ceramahnya di atas mimbar-mimbar Jum’at dan kursi-kursi pengajaran. Dengan gagah dan percaya
diri ia mengatakan, “Berkata Fudlail ibn ‘Iyaadl, Al-Junaid, Al-Hasan al-Bashri, Sahl Al-Tusturi, Al-
Muhasibi, dan Bisyr al-Haafi.”
Nah, seburuk itukah para kaum sufi? Untuk menelusuri kaum sufi, maka kita dapat masuk pada
kehidupan dan karakter para ulama’ sufi seperti:
1. Fudlail ibn ‘Iyaadl
2. Al-Junaid
3. Al-Hasan al-Bashri
4. Sahl Al-Tusturi
5. Al-Muhasibi
6. Bisyr al-Haafi, dan lainnya
Mereka merupakan tokoh-tokoh tashawwuf yang kitab-kitab tashawwuf penuh dengan ucapan,
informasi, kisah-kisah teladan, dan karakter mereka. Kita akan dibawa ke pengertian yang benar
tentang sufi. Kita akan menemukan hakekat dari kesufian mereka.

Kutipan pandangan para tokoh tashawwuf di bawah ini hanya sebagain dari karakter mereka yang
menyangkut syari’ah Islam. Bagaimanapun saat kita memberi komentar pada kaum sufi maka wajib
untuk mengetahui mereka melalui kehidupan pribadi mereka. Kita dapat menyepakati, bahwa karakter
kepribadian seseorang tertampakkan dari apa yang dibicarakan. Prilaku keseharian yang
ditampakkan. Dan pandangan hidup yang ditulis dan atau diabadikan para murid atau pengamat.

Berikut ini pandangan para kaum sufi. Mari kita menjelah pandangan mereka:
Al-Imam Junaid berkata, “ Semua jalan telah tertutup bagi makhluk kecuali orang yang mengikuti
jejak Rasulullah sholollah alaihi was salam, sunnahnya dan setia pada jalan ditempuh beliau
sholollah alaihi was salam. Karena semua jalan kebaikan terbuka untuk Nabi sholollah alaihi was
salam dan mereka yang mengikuti jejak beliau sholollah alaihi was salam.” Ini merupakan ajakan
kaum sufi untuk mengikuti sunnah Nabi sholollah alaihi was salam.

Terdapat riwayat yang menyebutkan bahwa Abu Yazid Al-Bastomi suatu hari berbicara pada para
muridnya, “Bangunlah bersamaku untuk melihat orang mempopulerkan dirinya sebagai wali. ” Lalu
Abu Yazid dan murid-muridnya berangkat untuk mendatangi wali tersebut. Kebetulan wali tersebut
hendak menuju masjid dan meludah ke arah kiblat. Abu Yazid pun berbalik pulang dan tidak memberi
salam. “Orang ini tidak dapat dipercaya atas satu etika dari beberapa etika Rasulullah, maka
bagaimana mungkin ia dapat dipercaya atas klaimnya tentang kedudukan para wali dan shiddiiqin, “
kata Abu Yazid. Kisah ini membawa kepada kita terhadap pandangan bahwa kaum sufi sangat
agung. Pribadinya penuh dengan kehati-hatian. Mengikuti syariah dengan baik, bener dan konsisten.

Tidak sembrono. Tidak mudah tertipu oleh kabar kewalian seseorang tanpa mengerti dan mengecek
kondisi kepribadian orang tersebut. Sufi membawa pada pribadi yang agung.

Dzunnuun Al Mishri berkata, pusat pandangan dan pembicaraan (madaarul Kalam) seseorang terbagi
menjadi empat. Pertama cinta kepada Allah Yang Maha Agung. Kedua, benci kepada yang sedikit.
Ketiga, mengikuti Al-Quran, dan keempat khawatir berubah menjadi orang celaka.

Penjelasan dari pandangan kaum sufi tersebut, bahwa salah satu indikasi orang yang cinta kepada
Allah adalah mengikuti kekasih Allah Saw dalam budi pekerti, tindakan, perintah dan sunnahnya.

As-Sirri As-Siqthi memilik pandangan bahwa sufi merupakan identitas untuk tiga hal. Pertama sufi
merupakan orang yang cahaya ma’rifatnya tidak memadamkan cahaya wara’nya. Kedua, tidak
berbicara menggunakan bathin menyangkut ilmu yang bertentangan dengan pengertian lahirial Al-
Kitab dan As-Sunnah. Ketiga, karomahnya tidak mendorong untuk menyingkap tabir-tabir keharaman
Allah.

Abu Nashr Bisyr ibn Al Harits Al Hafi berkata, saya bermimpi bertemu Nabi sholollah alaihi was
salam. “ Wahai Bisyr, tahukah kamu kenapa Allah meninggikan derajatmu mengalahkan teman-
temanmu? Tanya Beliau. “ Tidak tahu, Wahai Rasulullah,” Jawabku. “Sebab Engkau mengikuti
sunnahku, mengabdi kepada orang salih, memberi nasihat pada teman-temanmu dan kecintaanmu
kepada para sahabat dan keluargaku. Inilah faktor yang membuatmu meraih derajat orang-orang
yang baik ( Abror ).” Pandangan kaum sufi yang semacam ini sangat agung dan jelas. Dapat diikuti
prilakunya.

Abu Yazid ibn ‘Isa ibn Thoifur Al-Bashthomi berkata, “sungguh terlintas di hatiku untuk memohon
kepada Allah agar mencukupi biaya makan dan biaya perempuan, kemudian saya berkata.
“Bagaimana boleh saya memohon ini kepada Allah padahal Rasulullah tidak pernah memohon
demikian.” Akhirnya saya tidak memohon ini kepada Allah. Kemudian Allah mencukupi biaya para
perempuan hingga saya tidak peduli, apakah perempuan menghadapku atau tembok.

Pandangan Abu Yazid sangat jelas dan dimengerti sebagai berikut: jika engkau memandang seorang
laki-laki diberi beberapa karomah hingga ia mampu terbang di udara, maka janganlah engkau tertipu
sampai engkau melihat bagaimana sikapnya menghadapi perintah dan larangan Allah, menjaga
batas-batas yang digariskan Allah dan pelaksanaannnya terhadap syari’ah.

Sulaiman Abdurrahaman ibn ‘Athiah Al-Daaraani menyatakan, “Terkadang, selama beberapa hari
terasa di hatiku satu noktah dari beberapa noktah masyarakat. Saya tidak menerima isi dari hati saya
kecuali dengan dua saksi adil ; Al-Qur’an dan Al-Sunnah.

Abul Hasan Ahmad ibn Abil Hawaari secara tegas, menegaskan pandangannya, “Siapapun yang
mengerjakan perbuatan tanpa mengikuti sunnah Rasulullah maka perbuatan itu sia-sia.”
Abu Hafsh ‘Umar ibn Salamah Al-Haddaad memberi jalan hidup seperti ini: “Barangsiapa yang tidak
mengukur semua tindakannya setiap saat dengan Al-Kitab dan Al-Sunnah, dan tidak berburuk sangka
dengan apa yang terlintas dalam hatinya, maka janganlah ia dimasukkan dalam daftar para tokoh
besar (diwaanirrijaal).

Abul Qasim Al-Junaid ibn Muhammad mengajak untuk kembali kepada tuntunan yang bener.
“Siapapun yang tidak memperhatikan Al-Qur’an dan tidak mencatat Al-Hadits, ia tidak bisa dijadikan
panutan dalam bidang ini (tashawwuf), karena ilmu kita dibatasi dengan Al-Kitab dan Al-Sunnah.”
Ia juga berkata, “ Madzhabku ini dibatasi dengan prinsip-prinsip Al-Kitab dan Al-Sunnah dan ilmuku
ini dibangun di atas fondasi hadits Rasulullah.”

Abu ‘Utsman Sa’id ibn Ismail Al-Hairi menceritakan, “Saat sikap Abu Utsman berubah, maka
anaknya, Abu Bakar merobek-robek qamis yang melekat pada tubuhnya, lalu Abu ‘Utsman membuka
matanya dan berkata, “Wahai Anakku, mempraktekkan sunnah dalam penampilan lahiriah itu indikasi
kesempurnaan batin.”

Ia juga berkata, “Bersahabat dengan Allah itu dengan budi pekerti yang luhur dan senantiasa takut
kepada-Nya. Bersahabat dengan Rasulullah itu dengan mengikuti sunnahnya dan senantiasa
mempraktekkan ilmu lahiriah. Bersahabat dengan para wali dengan menghormati dan mengabdi.

Bersahabat dengan keluarga itu dengan budi pekerti yang baik. Bersahabat dengan kawan-kawan itu
dengan senantiasa bermuka manis sepanjang bukan perbuatan dosa. Dan bersahabat dengan orang
bodoh itu dengan mendoakan dan rasa belas kasih.

Ia juga berkata, “Barangsiapa yang memposisikan As-Sunnah sebagai pimpinannya dalam ucapan
dan tindakan maka ia akan berbicara dengan hikmah. Dan barangsiapa memposisikan hawa nafsu
sebagai pimpinannya dalam ucapan dan tindakan maka ia akan berbicara dengan bid’ah. Allah SWT
berfirman :
Jika kamu taat kepadanya, niscaya kamu mendapat petunjuk.

Abul Hasan Ahmad ibn Muhammad Al-Nawawi menegaskan, “Jika engkau melihat orang yang
mengklaim kondisi bersama Allah yang membuatnya terlepas dari batasan ilmu syari’at maka
janganlah engkau mendekatinya.”

Abul Fawaris Syah ibn Syuja’ Al-Karmani memberi panduan prilaku, “Barangsiapa memejamkan
matanya dari hal-hal yang diharamkan, mengendalikan nafsunya dari syahwat, menghidupkan
bathinnya dengan senantiasa merasakan kehadiran Allah (muraqabat) dan menghidupkan keadaan
lahiriahnya dengan mengikuti sunnah, dan membiasakan diri memakan barang halal, maka firasatnya
tidak akan meleset.”

Abul Abbas Ahmad ibn Muhammad ibn Sahl ibn ‘Atha’ memberi ketentuan, “Barangsiapa menekan
dirinya untuk mengamalkan etika-etika syari’at maka Allah akan menerangi hatinya dengan cahaya
ma’rifat dan dianugerahi kedudukan mengikuti Al-Habib Rasulullah sholollah alaihi was salam dalam
segala perintah, larangan dan budi pekerti beliau sholollah alaihi was salam.”

Ia juga mengatakan, “Semua yang ditanyakan kepadaku carilah pada belantara syari’at. Jika engkau
tidak menemukannya, carilah di medan hikmah. Jika tidak menemukannya, takarlah dengan tauhid.
Dan jika tidak menemukannya di tiga tempat pencarian ini, maka lemparkanlah ia ke wajah setan.”

Abu Hamzah Al-Baghdadi Al-Bazzar menyatakan, “Siapapun yang mengetahui jalan Allah maka Dia
akan memudahkan untuk menempuhnya. Dan tidak ada petunjuk jalan menuju Allah kecuali
mengikuti Rasulullah sholollah alaihi was salam dalam sikap, tindakan dan ucapan beliau.”

Abu Ishaq Ibrahim ibn Dawud Al-Ruqi menuntun dengan pandangan, “ Indikator cinta kepada Allah
adalah memprioritaskan ketaatan kepada Allah dan mengikuti Nabi-Nya sholollah alaihi was salam.”

Mamsyad Ad-Dinawari panduan kehidupan guru dan murid disampaikan secara tegas, “Etika murid
adalah selalu dalam menghormati masyayikh (guru), membantu kawan-kawan, terlepas dari faktor-
faktor penyebab, dan menjaga etika syari’at untuk dirinya.”

Abu Abdillah ibn Munazil berkomentar, “Tidak ada seseorangpun yang menelantarkan salah satu
kefardluan Allah kecuali Allah akan menimpakan musibah dengan menyia-nyiakan sunnah. Dan Allah
tidak menimpakan musibah seseorang dengan menelantarkan sunnah kecuali ia hendak diberi
musibah dengan bid’ah.”

0 komentar:

Posting Komentar