Hamza is 5 years old and has just started kindergarten. He is a very curious and energetic boy. Having a lot of energy, Hamza is constantly getting into trouble. He loves to ask questions and learn more about Islam. He loves to be the center of attention and has a wild imagination. He looks up to his big brother Ali and is very close to his older sister, Aisha. Each day is an adventurous day for Hamza and he is always learning something new. |
Papa is an engineer and works for the city at the water treatment facility. Papa is a very devoted husband and father and is also very active at the local mosque. He loves to spend time with the family and play with the children. Papa is an easy going dad and leaves all the disciplining of the kids to Mama. |
Mama is constantly making sure that Hamza stays out of trouble each day. She loves to cook and spend time teaching her children more about Islam. She is a very patient person and is known for her generosity. Mama is constantly making sure the kids are doing their homework. She also volunteers part-time at the local library. |
Ali is Hamza’s older brother and is 13 years old. Ali is in grade eight and likes to play video games and sports. He is very independent and doesn’t like when Hamza is always following him around, especially while his friends are visiting. Ali is always trying to keep Hamza out of his room and from getting into his things. However, he loves his little brother very much and protects him. |
Aisha is Hamza’s older sister and is 11 years old. Aisha is in grade six, and loves to go to school. She is a very bright student and is always getting good marks. She likes to collect stamps and is an avid book reader. She is also very close to Mama and helps her a lot around the house with the daily chores. |
Kamis, 18 April 2013
Hamza And Family
Cerita Bahasa Inggris "Nabi Nuh"
.
This made Allah very unhappy. Allah chose Nuh, a good man, to tell the people that what they were doing was wrong. But they wouldn't listen to him and carried on doing bad things. Allah decided that all the naughty people should be punished. He told Nuh to build a big ark near his house.
Only the good people in the ark were safe and dry.
After
many years Adam had grandchildren and even great grandchildren. There
were now lots of people on earth. Many of them obeyed Allah but some
were not so good and did just what they wanted to do all the time.
This made Allah very unhappy. Allah chose Nuh, a good man, to tell the people that what they were doing was wrong. But they wouldn't listen to him and carried on doing bad things. Allah decided that all the naughty people should be punished. He told Nuh to build a big ark near his house.
Nuh
quickly got busy choosing good wood and building it up into a fine
ark. A lot of people laughed at him but he did not take any notice of
them, because Allah had told him what to do.
When he had finished, he put lots of food into the ark and collected the good people together.
They also took lots of animals with them into the ark, two of every kind.
They also took lots of animals with them into the ark, two of every kind.
One
day, all of a sudden, the sky went very dark and it started to rain.
Lightly at first, then more and more heavily. Soon there was water
everywhere. The bad people were not laughing any more. They were
frightened because they had no shelter from the water.
Cerita Bahasa Inggris "Qabil & Habil"
.
Qabil
was very upset and angry. He was so angry that he killed his own
brother. Afterwards, when he realised what he had done, he cried and
cried but it was too late to be sorry.
Adam
had two sons called Habil and Qabil. Adam thought that Habil, the
younger son, should take over after him. But Qabil didn't like this
idea and was very jealous. To settle the argument Adam thought of an idea. He told his sons to think of a present to give to Allah and to leave it on top of a certain hill.
The
one whose present Allah accepted, would win the argument. Allah chose
Habil's present because Habil had taken a lot of time and trouble to
choose his present.
Cerita Bahasa Inggris "Nabi Adam"
.
Allah made the mountains and the seas. He made all the animals. He made the heavens and the stars.
He made the sun and the moon and he made the angels. The angels were like Allah's servants and did everything He ordered.
Then
Allah decided to make a man. He called this first man Adam. He taught
him many things so that Adam had more knowledge than the angels.
There
was one Jinn, called Iblis and he thought he was better than Adam so
Allah would not let him stay with the other angels. He was to be called
'Shaytan', the Devil.
Shaytan blamed Adam for what had happened to him and was very angry.
Allah let Adam live in a beautiful place because he was good. The place
was called Paradise.
It
was a very nice place but Adam was a little lonely, on his own all of
the time. Allah decided to help Adam. He made Hawa to be Adam's wife.
They were happy and liked living in Paradise.
There
was, however, one thing they were not allowed to do. There was a
special tree and Allah had told them they must not eat any fruit from
that tree.
At
first Adam and Hawa were very good and kept away from the tree.
Shaytan decided to do something very naughty. He told them they were
silly to keep away from the tree. He said nothing would happen if they
ate its fruit. He said the fruit was delicious and they should try it.
After
a while they began to listen to Shaytan and thought they would have
just a little taste of the fruit, just to see what it was like. Shaytan
was very happy because he had made them disobey Allah. As soon as they
had eaten the fruit, Adam and Hawa realised that they had been very
naughty and they felt guilty for what they had done.
Allah forgave them But He wouldn't let them stay in Paradise any more So He sent them to live on earth.
TIPU MUSLIHAT DIBALAS TIPU MUSLIHAT
Ada seorang Yogis (Ahli Yoga) mengajak seorang Pendeta bersekongkol akan memperdaya Iman Abu Nawas. Setelah mereka mencapai kata sepakat, mereka berangkat menemui Abu Nawas di kediamannya. Ketika mereka datang Abu Nawas sedang melakukan sholat Dhuha.
Setelah dipersilahkan masuk oleh istri Abu Nawas mereka masuk dan menunggu sambil berbincang-bincang santai. Seusai sholat Abu Nawas menyambut mereka. Abu Nawas dan para tamunya bercakap-cakap sejenak.
"Kami sebenarnya ingin mengajak engkau melakukan pengembaraan suci. Kalau engkau tidak keberatan bergabunglah bersama kami." kata Ahli Yoga.
"Dengan senang hati lalu kapan rencananya?" tanya Abu Nawas polos.
"Besok pagi." kata Pendeta.
"Baiklah kalau begitu kita bertemu di warung teh besok." kata Abu Nawas menyanggupi. Hari berikutnya mereka berangkat bersama. Abu Nawas mengenakan jubah seorang Sufi. Ahli Yoga dan Pendeta memakai seragam keagamaan mereka masing-masing.
Di tengah jalan mereka mulai diserang rasa lapar karena mereka memang sengaja tidak membawa bekal,
"Hai Abu Nawas, bagaimana kalau engkau saja yang mengumpulkan derma guna membeli makanan untuk kita bertiga. Karena kami akan mengadakan kebaktian." kata Pendeta.
Tanpa banyak bicara Abu Nawas berangkat mencari dan mengurnpulkan derma dari dusun satu ke dusun lain. Setelah derma terkumpul, Abu Nawas membeli makanan yang cukup untuk tiga orang. Abu Nawas kembali ke Pendeta dan Ahli Yoga dengan membawa makanan.
Karena sudah tak sanggup menahan rasa lapar Abu Nawas berkata, "Mari segera kita bagi makanan ini sekarang juga."
"Jangan sekarang. Kami sedang berpuasa." kata Ahli Yoga.
"Tetapi aku hanya menginginkan bagianku saja sedangkan bagian kalian terserah pada kalian." kata Abu Nawas menawarkan jalan keluar.
"Akan tidak setuju. Kita harus seiring seirama dalam berbuat apa pun." kata Pendeta.
"Betul aku pun tidak setuju karena waktu makanku besok pagi. Besok pagi aku baru akan berbuka." kata Ahli Yoga. Bukankah aku yang engkau jadikan niat pencari derma Dan derma itu telah ku tukar dengan makanan ini. Sekarang kalian tidak mengizinkan aku mengambil bagian sendiri. Itu tidak masuk akal." kata Abu Nawas mulai merasa jengkel.
Namun begitu Pendeta dan Ahli Yoga tetap bersikeras tidak mengizinkan Abu Nawas mengambil bagian yang menjadi haknya. Abu Nawas penasaran. Ia mencoba sekali lagi meyakinkan kawan-kawannya agar mengijinkan ia memakan bagianya. Tetapi mereka tetap saja menolak. Abu Nawas benar- benar merasa jengkel dan marah. Namun Abu Nawas tidak memperlihatkan sedikit pun kejengkelan dan kemarahannya.
"Bagaimana kalau kita mengadakan perjanjian." kata Pendeta kepada Abu Nawas.
"Perjanjian apa?" tanya Abu Nawas.
"Kita adakan lomba. Barangsiapa di antara kita bermimpi paling indah maka ia akan mendapat bagian yang terbanyak yang kedua lebih sedikit dan yang terburuk akan mendapat paling sedikit." Pendeta itu menjelaskan.
Abu Nawas setuju. Ia tidak memberi komentar apa-apa. Malam semakin larut. Embun mulai turun ke bumi. Pendeta dan Ahli Yoga mengantuk dan tidur. Abu Nawas tidak bisa tidur. Ia hanya berpura-pura tidur. Setelah merasa yakin kawan-kawannya sudah terlelap Abu Nawas menghampiri makanan itu. Tanpa berpikir dua kali Abu Nawas memakan habis makanan itu hingga tidak tersisa sedikit pun. Setelah merasa kekenyangan Abu Nawas baru bisa tidur.
Keesokan hari mereka bangun hampir bersamaan. Ahli Yoga dengan wajah berseri-seri bercerita, "Tadi malam aku bermimpi memasuki sebuah taman yang mirip sekali dengan Nirwana. Aku merasakan kenikmatan yang belum pernah kurasakan sebelumnya dalam hidup ini."
Pendeta mengatakan bahwa mimpi Ahli Yoga benar-benar menakjubkan. Betul-betul luar biasa. Kemudian giliran Pendeta menceritakan mimpinya. "Aku seolah-olah menembus ruang dan waktu. Dan ternyata memang benar. Aku secara tidak sengaja berhasil menyusup ke masa silam dimana pendiri agamaku hidup. Aku bertemu dengan beliau dan yang lebih membahagiakan adalah aku diberkatinya."
Ahli Yoga juga memuji-muji kehebatan mimpi Pendeta Abu Nawas hanya diam. Ia bahkan tidak merasa tertarik sedikitpun. Karena Abu Nawas belum juga buka mulut, Pendeta dan Ahli Yoga mulai tidak sabar untuk tidak menanyakan mimpi Abu Nawas.
"Kalian tentu tahu Nabi Khidir. Beliau adalah seorang mahaguru para sufi. Tadi malam aku bermimpi berbincang-bincang dengan beliau. Beliau menanyakan apakah aku berpuasa atau tidak. Aku katakan aku berpuasa karena aku memang tidak makan sejak dini hari Kemudian beliau menyuruhku segera berbuka karena hari sudah malam. Tentu saja aku tidak berani mengabaikan perintah beliau. Aku segera bangun dari tidur dan langsung menghabiskan makanan itu." kata Abu Nawas tanpa perasaan bersalah secuil pun.
Sambil menahan rasa lapar yang menyayat-nyayat Pendeta dan Ahli Yoga saling berpandangan satu sama lain. Kejengkelan Abu Nawas terobati. Kini mereka sadar bahwa tidak ada gunanya coba-coba mempermainkan Abu Nawas, pasti hanya akan mendapatkan celaka sendiri.
♥ TITIP SATU CINTAKU ,YA ALLAH ♥
Semoga cinta ini adalah cinta misi,bukan cinta nafsu.. Sehingga bisa membuatku lebih ikhlas dan bersabar dlm setiap prosesnya,dlm setiap penantiannya..
Ya Allah, Maha Pemilik Cinta..
Aku titipkan satu cinta itu padamu,jangan kau hadirkan dulu saat ini,jadikanlah itu sangat indah suatu saat nanti.. ketika waktunya telah tiba.. Waktu yang paling tepat dengan seseorang yang tepat,yang telah Kau persiapkan sejak dulu..
Titip satu cinta itu ya Allah..
Cinta yang akan membuatku semakin dekat dengan_Mu, cinta yang membuat Ia pun semakin dekat dengan_Mu.. Cinta yang membuat kami semakin mensyukuri betapa Luas nikmat dan karunia_Mu, dan membuat kami saling membimbing untuk mencapai ke-Ridho’an_Mu..
Titip satu cintaku Ya Mushawwir,,
Cinta yang bisa menghasilkan sebuah keluarga yang sakinah, cinta yang bisa menciptakan sebuah rumah yang hangat yang akan menjadi tempat bangkitnya peradaban agama_Mu..
Titip satu cinta itu Ya Malik..
Cinta yang darinya aku lahirkan para mujahid dan mujahidah yang tangguh.. yang senantiasa siap membela agama_Mu di garda terdepan.. Ksatria yang tidak pernah takut malawan musuh2Mu dan musuh2 Rasul_Mu..
Titip satu cinta itu ya Rabb..
Jagalah kami, bimbing langkah kami,, sehingga kami bisa sama2 terjaga dan akhirnya sama2 mendapatkan yg terjaga pula..
Titip satu cinta itu Ya Rahman..
Cinta yang dengannya aku bisa banyak belajar dan ia pun bisa banyak belajar, sehingga kami bisa saling mengisi dan semakin berkembang karena cinta itu..
Titip satu cinta itu Ya Waliyy,,
Bimbing langkahnya, mudahkan urusannya, luaskan rizkinya dan jaga dia untuk tetap berada di jalan_Mu, mudahkanlah jalannya dalam menemukan aku disini..
Titip cinta itu Ya Karim,,
Jadikan hidupnya senantiasa bermanfaat, dan jangan lengahkan ia dgn fananya kehidupan dunia.. Semoga saat ini pun ia sedang berjuang di sana,senantiasaberjuang untuk menggapai Syurga_Mu.. Jadikan ia orang yang bersungguh-sungguh untuk kehidupan dunia dan lebih bersungguh-sungguh untuk kehidupan akhiratnya..
Titip satu cinta itu Ya Ghaffaar,,
Jadikan ia orang yang selalu mempelajari agama_Mu, orang yang selalu menyeru kepada agama_Mu.. jadikan ia Murrobi yang terbaik untukku dan anak2ku kelak, jadikan ia murobbi terbaik untuk keluarga dan masyarakat..
Titip cinta itu Ya Hafizh,,
Jaga aku dan jaga ia sampai waktu yang Kau tetapkan tiba, dan jadikanlah kami hamba2Mu yang senantiasa bersabar dan bersyukur..
Titip cinta itu Ya Rabb..
Ingin Bertemu Nyi Roro Kidul
Gus Dur selain dikenal sebagai tokoh Islam juga memiliki komitmen kuat terhadap demokrasi . Ia juga punya perhatian khusus terhadap kelompok-kelompok tertindas dan minoritas. Jadi dia tokoh multidimensi. Sebagian warga NU bahkan ada yang menganggap bahwadia wali .
Tak aneh, ketika menyelenggarakan open house di kediamannya, Ciganjur, Jakarta Selatan, ia banyak dikunjungi tamu dari berbagai kelas dan kalangan. Mulai dari pejabat, politikus, mahasiswa, kiai, sampai masyarakat awam. Tentu saja kepentingannya berbeda-beda. Ada yang hanya bertukar pikiran, mengeluh, mengadu, dan ada pula yang menyampaikan permintaan aneh-aneh.
Suatu hari dalam acara open house tersebut, Gus Dur kedatangan seorang tamu. Rupanya dia berasal dari masyarakat awam yang menyenangi hal-hal klenik (mistis). Setelah basa-basi si tamu menyampaikan keinginnya yang sebenarnya. Agaknya keinginan itu bukan keinginan biasa. Si tamu ingin dipertemukan dengan Nyi Roro Kidul,penguasa pantai selatan Pulau Jawa. Mendengar hal itu, Gus Dur pun mengangguk-anggukkan kepala.
“Apa sampeyan benar-benar ingin ketemu dengan Nyi Roro Kidul?”
“ Iya , Gus.”
“Coba sampeyan mendekat.” Langsung saja orang itu berdiri dari tempat duduknya dan mendekati Gus Dur. Raut wajahnya tampak sumringah (berbinar) gembira. Mungkin hatinya sudah membayangkan sebentar lagi akan bertemu Nyi Roro Kidul. Begitu orang itu mendekat, Gus Dur berbisik ringan.
“Apakah sampeyan belum pernah melihat Nyi Roro Kidul?”
“Belum Gus.”
“ Sampeyan betul-betul ingin ketemu?”
“Benar, Gus.”
“ Sampeyan tahu …”
“Ada apa, Gus?” Si tamu makin penasaran.
“ Begini-begini , saya juga pingin ketemu,” kata Gus Dur ringan.
Seketika seisi ruangan tergelak. Sementara si tamu tadi tersipu-sipu.
DAKWAH
Suatu waktu Habib Umar bin Hafidz berdakwah di luar negara. Baru saja beliau tiba di negara tersebut, beliau disambut dengan begitu meriah. Majelis ilmu pun telah dipersiapkan lengkap dengan makanan-makanan yang enak dan lezat.
Usai majelis, Habib Umar bin Hafidz masuk ke dalam mobil dan menangis. Ketika ditanya kenapa beliau menangis? Maka Habib Umar bin Hafidz hanya menjawab:
“Kita berdakwah disambut dengan makanan dan majelis-majelis. (Sedangkan) Rasulullah Saw. berdakwah disambut dengan batu.”
Mencintai Itu Membutuhkan Kesiapan
Kalau sayang hargai dia..
Kalau benci maafkan dia..
Kalau lamaran diterima jaga hati dia..
Kalau dikhianati do’akan kebaikan untuk dia..
Andai jodoh tak kan kemana...
Sebanyak apapun godaan dan halangan akhirnya akan bersatu jua..
Sesungguhnya mencintai itu mudah, hanya membutuhkan hati yang SIAP..
Siap TERLUKA jika tak bersatu dalam dermaga bahagia..
Siap BAHAGIA apabila dua hati bertaut dalam ikatan suci..
Sungguh..
Rasa sakit membuatmu lebih kuat.
Rasa takut membuatmu lebih berani dan akhirnya siap.
Patah hati membuatmu lebih bijaksana.
Ambil hikmahnya..
Mengendalikan Emosi
Ketika Rasul SAW berjalan bersama Anas ra, tiba-tiba ada seorang Badui mengejar dan serta merta menarik serbannya dengan keras. Anas berkata, "Aku melihat bekas tarikan serban kasar itu pada leher Rasul." Lalu Badui berkata, "Wahai Muhammad, berilah aku dari harta Allah yang ada padamu."
Rasul menoleh sambil tersenyum lalu memerintahkan sahabat agar memberikan harta cukup banyak kepadanya. Sikap Nabi ini menggambarkan betapa hebatnya kemampuan beliau dalam mengendalikan emosi. Beliau disakiti, dihinakan di depan orang, dan dimintai sedekah secara paksa, tetapi beliau tidak marah.
Kemarahan adalah ketegangan jiwa yang muncul akibat penolakan terhadap apa yang tidak diinginkan, atau bersikukuh dengan pendapat tertentu tanpa melihat kesalahan atau kebenarannya.
Secara psikologis dan medis, kemarahan merupakan suatu sikap emosional yang berdampak negatif pada jantung. Saat marah, terjadi perubahan fisiologis seperti meningkatnya hormon adrenalin yang akan memengaruhi kecepatan detak jantung dan menambah penggunaan oksigen. Kemarahan akan memaksa jantung memompakan darah lebih banyak sehinga bisa mengakibatkan tingginya tekanan darah. Akibatnya bisa fatal bila pemarah tersebut memiliki penyakit darah tinggi atau jantung.
Hasil penelitian modern menyimpulkan bahwa kemarahan berulang-ulang bisa memperpendek umur karena diserang berbagai penyakit kejiwaan dan penyakit jasmani. Di sini letak urgensinya larangan marah. Ketika seorang laki-laki datang kepada Rasul SAW lalu berkata, "Berilah aku nasihat." Rasul bersabda, "Jangan marah." Lelaki itu mengulangi permintaannya beberapa kali, tetapi beliau tetap menjawab, "Jangan marah." (HR al-Bukhari).
Dampak kemarahan akan semakin parah saat dalam keadaan berdiri, karena semua urat dan otot mengencang sehingga meningkatkan jumlah hormon adrenalin. Keadaan seperti ini bisa mengakibatkan penyakit kanker. Berbeda kalau dia duduk, maka adrenalin akan menurun.
Dan, apabila mengingat Allah lalu berlindung kepada-Nya dari kejahatan setan maka akan menghasilkan ketenteraman hati secara signifikan. "Bila salah seorang dari kamu marah dalam keadan berdiri hendalah duduk, bila kemarahan masih belum hilang hendaklah ia berbaring." (HR Ahmad).
Dalam ilmu jiwa, akar dari emosi adalah ketidakpuasan terhadap sesuatu. Saat berlindung kepada Allah dari setan berarti dia mengakui bahwa emosi adalah perbuatan setan, dan emosi bisa dihalau dengan cara meyakini bahwa kebaikan dan keburukan semua datang dari Allah dan dia harus selalu rida dengan ketentuan-Nya.
Saat Rasul SAW melihat seorang sedang marah besar beliau bersabda, "Aku akan ajarkan kalimat-kalimat kalau dia membacanya akan hilang kemarahannya. Kalau dia mengucapkan A'udzubillahi min as syaithoni ar rajiim pasti akan hilang amarahnya." (HR Bukhari dan Muslim).
Belakangan ini sering terjadi kerusuhan, tawuran, dan tindakan anarkis. Sudah pasti hal itu diawali emosi yang tidak terkendali. Orang kuat dalam Islam adalah orang yang mampu mengendalikan amarahnya. Agar tidak marah kita harus mengingat Allah yang selalu mengawasi kita dan bersikap toleran. Obat manjur ketegangan jiwa adalah sikap toleran.
Optimal dalam Kebaikan
Dalam Alquran surah al-Mulk [67] ayat 1-2, Allah SWT berfirman, "Mahasuci Allah yang di tangan-Nyalah segala kerajaan, dan Dia Mahakuasa atas segala sesuatu. Yang menjadikan mati dan hidup, supaya Dia menguji kamu, siapa di antara kamu yang lebih baik amalnya (ihsan). Dan Dia Mahaperkasa lagi Maha Pengampun."
Ayat tersebut memberikan penjelasan secara gamblang bahwa Allah SWT adalah Zat yang Mahakuasa atas segala sesuatu yang kekuasaan-Nya bersifat absolut. Allah pula yang mengangkat dan menurunkan derajat seseorang, sesuai dengan kehendak-Nya. Allah yang menciptakan kehidupan dan kematian. Dan semuanya itu bertujuan untuk menguji manusia manakah yang paling optimal atau ihsan di dalam melakukan perbuatan baik.
Optimalisasi dalam berbuat baik (ihsan) merupakan salah satu watak dan karakter utama orang-orang yang beriman. Artinya, ketika berbuat kebaikan, dilakukannya penuh dengan kesungguhan, perencanaan yang matang, pelaksanaan yang terukur, serta evaluasi yang terarah. Tidak asal mengerjakan atau asal terpenuhi tugas dan kewajibannya.
Rasulullah SAW memberikan contoh bahwa shalat yang akan diterima itu adalah shalat yang diawali dengan wudhu yang baik, terpenuhi syarat dan rukunnya, berdiri, ruku, dan sujud yang dilakukannya secara sempurna dan tuma'ninah. Bahkan, ketika hal ini dilakukan, shalat pun berdoa kepada Allah SWT: "Ya Allah peliharalah orang ini dengan sebaik-baiknya karena ia telah memelihara aku dengan penuh kesungguhan." (HR Imam Bukhari).
Sejalan dengan hal tersebut, para ulama telah menetapkan tiga syarat utama di dalam beribadah. Pertama, dilakukan dengan penuh keikhlasan hanya semata mengharapkan rida Allah SWT. Hal ini sejalan dengan firman-Nya QS al-Bayyinah (98): 5. "Padahal, mereka tidak disuruh kecuali supaya menyembah Allah dengan memurnikan ketaatan kepada-Nya dalam (menjalankan) agama yang lurus, dan supaya mereka mendirikan shalat dan menunaikan zakat. Dan yang demikian itulah agama yang lurus."
Kedua, dalam pelaksanaannya harus sesuai dengan ketentuan syariah. Tidak semata-mata berdasarkan pada perasaan atau mungkin tradisi dan kebiasaan saja. Dan yang ketiga adalah pelaksanaannya senantiasa dilakukan dengan penuh kesungguhan (mujahadah).
Tentu saja, kesungguhan ini bukan hanya pada ibadah mahdah (wajib), tetapi pada semua pekerjaan, apalagi yang berkaitan dengan kepentingan publik. Seorang pejabat dinilai bukan ditentukan oleh banyaknya pekerjaan yang dilakukan ataupun lamanya ia menduduki jabatan tersebut, tetapi oleh upaya dan kerja yang dilakukannya dengan penuh kesungguhan mengabdi pada kepentingan bersama.
Misalnya, ia tidak memanfaatkan jabatannya untuk memperkaya diri sendiri maupun kelompoknya. Sebab, jabatan itu adalah amanah yang akan dipertanggungjawabkan pada masyarakat dan juga kepada Allah SWT di hari kiamat nanti. Karena itu, dalam menghadapi situasi politik dan ekonomi sekarang ini yang sering menghadapi gejolak, maka konsistensi dan optimalisasi para pejabat di dalam melaksanakan tugas dan kewajibannya merupakan sebuah keniscayaan sekaligus kebutuhan. Wallahu a'lam.
Etika Berbicara
Allah berfirman: "Tiada suatu ucapanpun yang diucapkannya melainkan ada di dekatnya Malaikat Pengawas yang selalu hadir." (QS Qâf [50]:18)
Kebanyakan dari kita tidak menyadari bahwa apa yang kita ucapkan akan ada catatannya. Kita seenaknya saja berkata-kata. Bahkan terkadang kita mengeluarkan kata-kata yang tidak disukai oleh Allah dan Rasul-Nya. Alih-alih bisa menyejukkan hati orang yang mendengarnya, kata-kata yang keluar dari mulut kita kebanyakan kata-kata yang bisa menjadikan hati membatu, lebih jauhnya lagi memicu permusuhan dan pertengkaran. Baik kita melakukannya secara langsung maupun melalui alat-alat komunikasi.
Sekarang ini, tidak sedikit orang yang dijebloskan ke penjara hanya gara-gara menuliskan sebuah kalimat di jejaring sosial yang mengandung pelecehan. Di dunia saja kata-kata yang kita ucapkan sudah diperhitungkan orang lain, apalagi di akhirat kelak. Ingat pepatah mengatakan “mulutmu adalah harimaumu.” Oleh karena itu, kita harus pandai-pandai menjaga lisan kita. Jika lisan kita terjaga maka kita akan selamat.
Islam telah memberikan peraturan kepada kita dalam segala aspek kehidupan. Termasuk dalam cara berbicara atau berkomunikasi. Rasulullah Saw. Mengaitkan kesempurnaan iman seseorang dengan perkataan yang keluar dari lisannya. Beliau bersabda: "Siapa saja yang beriman kepada Allah dan hari akhir maka berkatalah yang baik atau diamlah.” (HR Bukhari dan Muslim).
Perkataan yang baik adalah perkataan yang mengandung hikmah dan bisa mendekatkan diri kepada Allah. Dan contoh terbaik yang bisa kita ikuti dalam bertutur adalah Rasulullah Saw, para sahabat dan salafushalih. Ada beberapa etika yang harus kita perhatikan dalam berbicara atau bercakap-cakap dengan orang lain. Dalam al-Wafi disebutkan beberapa etika berbicara, diantaranya:
#1 Hendaklah kita membicarakan sesuatu yang bermanfaat, dan menahan diri dari pembicaraan yang mengandung sesuatu yang diharamkan. Allah Swt berfirman: "Dan orang-orang yang menjauhkan diri dari (perbuatan dan perkataan) yang tiada berguna," (Qs al-Muminûn [23]:3). Lagha dalam ayat ini maksudnya adalah perkatataan/pembicaraan yang bathil, seperti ghibah, namimah, dan sebagainya.
#2 Hendaklah kita tidak banyak membicarakan hal-hal yang mubah, karena akan menjurus kepada sesuatu yang haram dan makruh. Dalam hal ini Rasulullah SAW bersabda: "Janganlah kalian banyak berkata-kata kecuali perkataan yang mengandung dzikrullah, karena banyak berkata-kata yang tidak mengandung dzikrullah akan membuat hati membatu, sedangkan sejauh-jauhnya manusia adalah orang yang keras hatinya.” (HR Tirmidzi dari Ibnu ‘Umar).
Dalam sebuah riwayat ‘Umar ra.berkata,”Siapa saja yang banyak berbicara/berkata-kata maka akan sering pula ia tergelincir, siapa saja yang banyak tergelincir maka akan banyak pula dosanya, dan siapa saja yang dosanya maka nerakalah tempat yang lebih utama baginya.”
#3 Hendaklah kita berbicara sesuai dengan kebutuhan, atau dalam rangka menerangkan kebenaran, dan amar makruf nahyi mungkar, sehingga diharapkan dari hal tersebut kita dapat mengambil pelajaran berupa sifat-sifat yang mulia dan meninggalkan perbuatan maksiat, karena jika diam/ tidak banyak mengomentari kebenaran dengan komentar yang bukan-bukan maka setan pun akan termangu dan tidak akan bisa berbuat banyak.
Itulah beberapa di antara etika berbicara yang harus kita perhatikan. Apalagi di zaman sekarang ini, kebanyakan orang lebih senang membicarakan sesuatu yang sia-sia dan lebih nyaman mendengarkan syair-syair yang tidak bermutu daripada mendengarkan ayat-ayat suci dan menyebut-nyebut asma Allah. Sehingga peluang untuk mendapatkan rahmat Allah terasa sangat jauh. Dengan menjaga lisan kita dan membiasakannya untuk mengeluarkan kata-kata yang bermakna dan bermanfaat maka kita memiliki peluang yang sangat besar meraih keridoan dan rahmat-Nya
Memilih Pergaulan
Imam Bukhari dan Muslim dalam kitab shahihnya, meriwayatkan sebuah kisah yang bersumber dari sahabat Abu Sa'id Sa'ad bin Malik bin Sinan al-Khudri. Ia berkata bahwa Rasulullah SAW pernah menceritakan bahwa pada zaman dahulu ada seorang laki-laki yang sangat kejam. Ia telah membunuh 99 orang.
Suatu hari, si pelaku merasa menyesal atas berbagai perbuatan yang telah dilakukannya. Ia pun lantas berusaha mencari manusia yang paling berilmu di atas dunia ini. Ia lalu mendatangi seorang alim yang ahli beribadah dan bercerita tentang masa lalunya. Saat bertemu, dia lalu mengutarakan maksudnya untuk bertaubat dan menjadi orang yang saleh.
Sayangnya, tanpa landasan keilmuan yang kuat, orang alim ini menjawab, bahwa dosa pembunuh tak akan diampuni Allah. Mendengar jawaban itu, lalu timbul amarahnya. Tanpa berpikir panjang, penjahat ini langsung membunuh orang alim tersebut. Maka, genaplah 100 orang yang telah dibunuhnya.
Setelah itu, ia melanjutkan perjalanan dan mencari orang yang lebih alim. Ketika bertemu dengan orang yang dicarinya, dia pun menyampaikan keinginannya untuk bertaubat.
Dengan keilmuannya, orang alim ini menjawab bahwa Allah akan mengampuni taubat orang jika dilakukan secara benar-benar. Orang alim itu memberikan nasihat, agar si penjahat segera menjauhi teman-temannya yang jahat, serta memintanya untuk bergaul dengan orang-orang yang saleh. Sebab, pergaulan yang salah akan menjerumuskan seseorang dalam perbuatan mungkar.
Pembunuh kejam ini mematuhi nasihat orang alim itu. Ia bertaubat dan menyesali dosa-dosanya. Ia juga menjauhi teman-temannya yang jahat dan pergi mencari perkampungan tempat orang-orang saleh. Namun, ketika ia masih berada dalam perjalanan, ajal tiba.
Ia menghadap Allah dengan hanya membawa niat tulus, menjadi orang yang baik. Malaikat pun sempat berebut untuk membawanya. Ada yang ingin membawanya ke neraka, dan yang lain ingin membawa ke surga. Setelah diukur, jarak yang ditempuhnya untuk bertaubat, lebih panjang dibandingkan dengan tempat kawan-kawannya yang berbuat maksiat. Singkat cerita, pembunuh yang telah bertaubat itu kemudian dibawa ke surga.
Hikmah dari kisah ini, di antaranya, adalah perintah agar kita bergaul dengan orang-orang yang saleh, dan menjauhi orang yang berbuat maksiat.
Dalam konteks keindonesian yang sedang marak dengan kasus hukum, jika kita ingin menjadi orang yang bebas dari korupsi, maka kita jangan bergaul dengan koruptor atau masuk ke dalam institusi yang sarat dengan potensi terjadinya korupsi . Hal ini dapat dirunut dari banyaknya kasus korupsi di Indonesia yang dilakukan secara berjamaah.
Dalam kasus lain, Indonesia belakangan diguncang kasus terorisme. Peristiwa terorisme teranyar adalah aksi bom bunuh diri di Gereja Bethel Injil Sepenuh (GBIS) Solo. Dari kasus itu diketahui, banyak anak muda terjerumus masuk dalam jaringan teroris.
Saatnya kita memagari anak-anak kita, jangan sampai salah pergaulan dan masuk jaringan komunitas teroris. Semoga Allah senantiasa memberi hidayah kepada kita sehingga selalu berbuat baik, hingga kita menghadap kepada-Nya dengan husnul khatimah. Amin. Allahu a'lam.
Peliharalah Rasa Malumu!
Dalam kitab “Madarijus Saalikin”, terdapat 10 kriteria malu.
Pertama, malu karena berbuat salah, sebagaimana malunya Nabi Adam As yang melarikan diri dari surga, seraya ditegur oleh Allah SWT: "Mengapa engkau lari dari-Ku wahai Adam?" Adam kemudian menjawab: "Tidak wahai Rabbi, hanya aku malu terhadap Engkau."
Kedua, malu karena keterbatasan diri, seperti malunya para malaikat yang senantiasa bertasbih siang dan malam. Pada hari kiamat mereka berkata: "Maha suci Engkau, kami tidak menyembah kepeda-Mu sebenar-benarnya."
Ketiga, malu karena ma'rifah yang mendalam kepada Allah SWT, karena keagungan Allah SWT atas seorang hamba seperti malunya Nabi Nuh As ditegor Allah karena meminta keselamatan anaknya yang kafir.
Keempat, malu karena kehalusan budi, seperti malu Rasulullah Saw kepada para Sahabat dalam walimahnya dengan Zainab.
Kelima, malu karena kesopanan, seperti Ali bin Thalib malu bertanya kepada Rasulullah tentang hukum madzi.
Keenam, malu karena merasa hina kepada Allah SWT, seperti malunya para Rasul ulul azhmi untuk meminta syafaat kubra di padang mahsyar karena kebijakan / kesalahan yang pernah diperbuatnya.
Ketujuh, malu karena cinta kepada Allah SWT, bahkan ketika sendirian tidak ada seorangpun, sehingga ia selalu melakukan muraqabah, seperti kisah Nabi Musa As untuk tidak mandi dalam keadaan telanjang.
Kedelapan, malu karena 'ubudiyah yang bercampur antara cinta, harap, dan takut. Seorang hamba akan malu karena yang disembahnya terlalu Agung padahal dirinya terlalu hina, sehingga mendorongnya untuk selalu ibadah.
Kesembilan, malu karena kemulian seorang hamba yang wara' dan muru'ah sehingga biarpun ia telah memberi dan berkorban dengan mengeluarkan sesuatu yang baik, toh ia masih marasa malu kerena kemuliaan dirinya. Seperti malunya Umar bin Khattab melihat kedermawanan Abu Bakar.
Kesepuluh, malu terhadap diri sendiri karena keagungan jiwa seorang hamba atas keridhaan perbuatan baik dirinya dan merasa puas terhadap kekurangan orang lain. Seolah-olah mereka mempunyai dua jiwa, yang satu malu dengan yang lainnya.
Inilah Sikap Rasulullah SAW pada Kaum Kristiani
Bangsa Indonesia kembali dikejutkan aksi bom bunuh diri. Terbaru adalah pada Ahad, 25 September lalu, di Gereja Bethel Injil Sepenuh Kapunton, Solo, Jawa Tengah. Sebagai umat Islam, kita miris melihat kondisi ini. Perdamaian yang tumbuh subur di negeri Muslim ini kembali tercabik oleh aksi bom bunuh diri. Terlebih aksi bom bunuh diri selalu dikaitkan dengan agama.
Sungguh aneh. Padahal, perdamaian merupakan salah satu ajaran pokok dalam Islam. Perintah untuk selalu berdamai tidak hanya terdapat pada ayat-ayat Alquran tetapi juga dicontohkan langsung dalam kehidupan Rasulullah SAW.
Nabi Muhammad SAW adalah sosok yang sangat dikenal dengan kepribadian dan budi pekertinya yang baik. Banyak perjanjian yang dibuat Rasul SAW bertujuan untuk menghindari konflik dan berupaya membangun perdamaian. Mulai dari perjanjian Hudaibiyah, piagam Madinah, perjanjian dengan delegasi Najran, dan masih banyak lagi.
Dalam hubungan dengan kalangan non-Muslim, Rasulullah menuliskannya dalam 'Piagam Anugerah' yang kini tersimpan di Gereja St Catherine's Monastery, Bukit Sinai, Mesir. Surat itu diberikan kepada seorang delegasi Kristen yang mengunjungi Nabi SAW pada 628 Masehi di Madinah.
"Ini adalah pesan dari Muhammad bin Abdullah, sebagai perjanjian bagi siapa pun yang menganut kekristenan, jauh dan dekat, bahwa kami mendukung mereka. Sesungguhnya saya, para pelayan, para penolong, dan para pengikut saya membela mereka, karena orang-orang Kristen adalah penduduk saya; dan karena Allah! Saya bertahan melawan apa pun yang tidak menyenangkan mereka.
Tidak ada paksaan yang dapat dikenakan pada mereka. Sekalipun oleh para hakim mereka, maka akan dikeluarkan dari pekerjaan mereka maupun dari para biarawan-biarawan mereka, dari biara mereka. Tidak ada yang boleh menghancurkan rumah ibadah mereka, atau merusaknya, atau membawa apa pun daripadanya ke rumah-rumah umat Islam.
Jika ada yang memgambil hal-hal tersebut maka ia akan merusak perjanjian Allah dan tidak menaati Rasul-Nya. Sesungguhnya, mereka adalah sekutu saya dan mendapatkan piagam keamanan melawan apa pun yang mereka benci.
Tidak ada yang memaksa mereka untuk bepergian atau mengharuskan mereka untuk berperang. Umat Islam wajib bertempur untuk mereka. Jika ada perempuan Kristen menikahi pria Muslim, hal ini tidak dapat dilakukan tanpa persetujuan perempuan itu. Dia tidak dapat dilarang untuk mengunjungi gerejanya untuk berdoa.
Gereja-gereja mereka harus dihormati. Mereka tidak boleh dilarang memperbaiki dan menjaga perjanjian-perjanjian sakral mereka. Tidak ada dari antara bangsa (Muslim) yang boleh tidak mematuhi perjanjian ini hingga Hari Akhir."
Karena itu, sudah sepantasnya kita hidup berdampingan dan saling menghormati antarsesama anggota masyarakat guna memperkuat tali persaudaraan sesama anak bangsa, agar terwujud masyarakat yang ideal, yakni aman, makmur, dan sentosa. Inilah masyarakat yang didambakan, baldatun thayyibatun wa rabbun ghafur (negara yang baik dan senantiasa mendapat ampunan dari Allah SWT)
Rasulullah Menyuruh Kita Bersikap Ramah
Rasulullah SAW bersabda, "Orang beriman itu bersikap ramah dan tidak ada kebaikan bagi seorang yang tidak bersikap ramah. Dan sebaik-baik manusia adalah orang yang paling bermanfaat bagi manusia." (HR Thabrani dan Daruquthni, dari Jabir RA).
Hadis di atas kembali mengingatkan jati diri kemanusiaan kita agar selalu bersikap ramah dalam berinteraksi sosial di antara sesama. Suatu sikap yang dalam satu bulan terakhir ini menjadi pertanyaan kita semua, khususnya menyangkut sikap kita sebagai manusia untuk menghargai hak-hak kemanusiaan sesama.
Aksi bom bunuh diri di Gereja Bethel Injil Sepenuh (GBIS), Kepunton, Solo, (25/9) lalu merajalelanya korupsi di berbagai bidang dan pelbagai kerusuhan yang menjurus konflik SARA seperti kasus di Ambon beberapa waktu lalu, makin menguatkan bahwa kita mulai tidak ramah dengan nilai-nilai kemanusian dan kemajemukan. Kita mulai tidak acuh dan tak ramah dalam mengawal bumi pertiwi yang kita cinta ini.
Bila melihat hadis di atas, sangat jelas dan tegas bahwa objek yang dituju dari hadis tersebut adalah "orang beriman". Jadi, sikap keramahan itu menjadi satu hal yang mutlak harus diintegrasikan dalam diri orang yang beriman. Artinya, kualitas keimanan seseorang itu salah satunya bisa diukur dari seberapa jauh ia sebagai seorang mukmin dalam kehidupan sosialnya itu melaksanakan "keramahan" kemanusiaannya (baca menghargai dan menghormati).
Praksisnya, bila orang beriman itu hidup dalam kemajemukan, maka ia bisa menghargai dan menerima segala perbedaan. Bila ia seorang pejabat, maka ia bisa menyuarakan dan amanah pada aspirasi rakyatnya. Dan bila ia seorang pemimpin, maka ia bisa menyalurkan segala energi kepemimpinannya untuk mewujudkan kemakmuran rakyatnya.
Implementasi wujud keramahan tersebut menjadi hal paling esensial, mengingat hakikat orang beriman itu tidak hanya pandai melafalkan sumpah tertentu, akan tetapi yang lebih penting dari itu adalah wujud konkret tindakannya di masyarakat. "Al-imanu tashdiiqun bil qalbi, wa ikrarun bil lisan, wa a'malun bil arkan" (orang beriman itu tidak hanya membenarkan dalam hati, dan mengikrarkan di lisan, tapi lebih dari itu adalah melaksanakan dalam bentuk perbuatan).
Dengan memperhatikan esensi orang beriman ini, maka kalimat berikutnya dari hadis tersebut sangat kontekstual, bahwa sebaik-baik manusia adalah orang yang paling bermanfaat bagi manusia lainnya. Artinya, keberadaan kita sebagai manusia (dalam posisi apa pun) akan sangat ditentukan seberapa jauh kita bisa memberi manfaat bagi sekelilingnya. Kalau prinsip ini dijadikan pegangan utama, maka tentu tidak ada namanya anasir-anasir tindakan merendahkan kemanusiaan yang muncul di hati.
Tidak ada namanya "kezaliman struktural" manakala kita diberi amanah menjalankan kekuasaan. Tak ada namanya ketakutan akan turunnya pencitraan ketika kita senantiasa berpegang pada kebenaran. Semua tindakan akan tersubordinasikan untuk meraih tujuan hakiki orang beriman, yaitu rida Allah SWT. Semoga Allah senantiasa memberi hidayah kepada kita semua untuk selalu berada pada garis kebenaran-Nya, sampai kita semua menghadap-Nya dengan husnul khatimah. Amin ya Rabbal 'alamin
Antara Marah dan Murka
Salah satu ciri-ciri orang yang bertakwa adalah mereka yang mampu menahan ghaizh (marah). Ini disebutkan dalam surah Ali Imran ayat 134. Dalam tafsir Imam Qurthubi dijelaskan, ghoizh itu artinya hampir mirip dengan ghadhab (marah). Namun, secara rasa bahasa, ghadhab tidaklah sama persis dengan ghaizh. Ghadhab adalah marah yang diwujudkan dengan anggota tubuh seseorang. Orang yang marah dalam pengertian ghadhab, mulutnya akan mengeluarkan kata-kata keji, kadang-kadang tangannya ikut menampar, memukul, atau membanting barang-barang yang ada di sekitarnya, sementara kakinya juga ikut bertindak. Arti yang paling tepat untuk kata ghadhab dalam bahasa Indonesia adalah murka.
Adapun ghaizh adalah marah yang terjadi pada diri seseorang, namun kemarahan itu hanya bergolak di dalam hati dan tidak mewujud pada anggota tubuhnya. Paling-paling wajahnya sedikit memerah atau matanya berkilat. Sementara tangan, kaki, dan lidahnya tidak mengeluarkan tindakan keji dan merugikan orang lain. Arti yang paling tepat untuk kata ghaizh itu adalah marah.
Diceritakan dalam banyak hadis bahwa Rasulullah SAW kalau marah tidak pernah menampakkan wujud pada diri Beliau hal-hal yang menyakiti orang lain atau merendahkan harga diri sendiri. "Pernah suatu hari beberapa orang Yahudi lewat di depan rumah Nabi. Saat itu Nabi sedang bersama Aisyah ra. Orang Yahudi itu memberikan salam dengan ucapan: "Assaamualaik!"(mati kena racunlah kamu). Nabi menjawab: "Alaikum" (Atasmu juga). Serta-merta Aisyah menjawab: "Waalaikum saam wal la'nah" (kamu semua mati kena racun dan kena laknat). Saat itu Nabi menasihati Aisyah bahwa Allah menyukai kasih sayang pada tiap sesuatu." (HR Bukhari dan Muslim).
Pada suatu hari, Maimun bin Mahran ra sedang duduk di rumahnya dan bersiap-siap untuk makan dengan para tamu. Tiba-tiba, budak wanitanya terpeleset dan wajah beliau tersiram kuah sup panas. Serta-merta beliau bangkit dan hendak memukul budaknya itu. Sang budak membaca ayat Alquran: "Orang bertakwa mampu menahan marah". Maimun menjawab, "Ya, aku menahan marahku." Kemudian, sang budak melanjutkan ayat tersebut: "Dan memaafkan kesalahan orang". Maimun menjawab, "Aku memaafkanmu karena Allah." Kemudian, budak itu menutup ayat tersebut: "Sesungguhnya Allah mencintai orang-orang yang berbuat baik". Maka, Maimun berkata, "Aku membebaskanmu karena Allah."
Allah menegaskan, orang bertakwa itu adalah mereka yang mampu menahan marah. Sementara sekarang ini, banyak di antara manusia yang justru tidak mampu menahan kemurkaan. Dalam perjalanan ke kantor saja, di tengah kemacetan lalu lintas, mulut keluar kata-kata layaknya kebun binatang. Belum lagi tawuran yang merajalela dan sudah hampir menghinggapi seluruh lapisan masyarakat. Semua itu adalah wujud ketidakmampuan menahan murka.
Jika menahan murka yang merusak dan menyakiti orang lain saja belum mampu, bagaimana dapat menahan marah? Padahal, orang bertakwa tidak diminta menahan murka, tetapi justru diminta untuk menahan marah yang jauh lebih sulit melakukannya. Dengan demikian, tampaknya kedudukan kita masih jauh dari level orang bertakwa. Wallahu a'lam
Hikmah: Iblis dan Ibnu Ummi Maktum
Abdullah bin Ummi Maktum adalah salah seorang sahabat yang mulia. Dia
menjadi salah satu sebab turunnya surah 'Abasa. Suatu hari, Abdullah bin
Ummi Maktum mengikuti pengajian Rasulullah SAW. Dalam kesempatan itu,
Rasul menyampaikan akan kewajiban setiap Muslim yang mendengar azan
untuk segera menunaikan shalat. Karena kondisi fisiknya, yakni matanya
yang buta, ia memberanikan diri bertanya kepada Rasulullah SAW.
"Wahai Rasulullah SAW, apakah saya juga diwajibkan kendati saya tidak bisa melihat?" tanya Ibnu Ummi Maktum. Rasul menjawab, "Apakah kamu mendengar seruan azan?" Ibnu Ummi Maktum menjawab, "Ya, saya mendengarnya." Rasul pun memerintahkannya agar ia tetap pergi ke masjid meskipun sambil merangkak.
Maka, dengan penuh keimanan, setiap azan berkumandang dan waktu shalat tiba, ia pun segera pergi ke masjid dan berjamaah dengan Rasulullah SAW. Suatu ketika di waktu Subuh, saat azan dikumandangkan, Ibnu Ummi Maktum pun bergegas ke masjid. Di tengah jalan, kakinya tersandung batu hingga akhirnya mengeluarkan darah. Namun, tekadnya sudah bulat untuk tetap berjamaah ke masjid.
Waktu Subuh berikutnya, ia bertemu dengan seorang pemuda. Pemuda tersebut bermaksud menolongnya dan menuntunnya ke masjid. Selama berhari-hari, sang pemuda ini selalu mengantarnya ke masjid. Ibnu Ummi Maktum pun kemudian ingin membalas kebaikannya. "Wahai saudaraku, siapakah gerangan namamu. Izinkan aku mengetahuimu agar aku bisa mendoakanmu kepada Allah," ujarnya.
"Apa untungnya bagi Anda mengetahui namaku dan aku tak mau engkau doakan," jawab sang pemuda. "Jika demikian, cukuplah sampai di sini saja engkau membantuku. Aku tak mau engkau menolongku lagi sebab engkau tak mau didoakan," tutur Ibnu Ummi Maktum kepada pemuda itu.
Maka, sang pemuda ini pun akhirnya mengenalkan diri. "Wahai Ibnu Ummi Maktum, ketahuilah sesungguhnya aku adalah iblis," ujarnya. "Lalu mengapa engkau menolongku dan selalu mengantarkanku ke masjid. Bukankah engkau semestinya mencegahku untuk ke masjid?" tanya Ibnu Ummi Maktum lagi.
Sang pemuda yang bernama iblis itu kemudian membuka rahasia atas pertolongannya selama ini. "Wahai Ibnu Ummi Maktum, masih ingatkah engkau beberapa hari yang lalu tatkala engkau hendak ke masjid dan engkau terjatuh? Aku tidak ingin hal itu terulang lagi. Sebab, karena engkau terjatuh, Allah telah mengampuni dosamu yang separuh. Aku takut kalau engkau jatuh lagi Allah akan menghapuskan dosamu yang separuhnya lagi sehingga terhapuslah dosamu seluruhnya. Maka, sia-sialah kami menggodamu selama ini," jawab iblis tersebut.
Kisah di atas menggambarkan kepada kita bahwa sesungguhnya iblis tak akan pernah berhenti untuk menggoda dan menyesatkan manusia. Dalam hal yang baik pun, iblis selalu berusaha untuk membelokkan orang yang beriman ke arah yang dimurkai Allah. Ketahuilah, sesungguhnya iblis itu adalah musuh yang nyata bagi kita. (QS Fatir [35]: 6). Semoga Allah senantiasa membimbing dan meridai setiap ibadah kita. Amin. Wallahu a'lam.
"Wahai Rasulullah SAW, apakah saya juga diwajibkan kendati saya tidak bisa melihat?" tanya Ibnu Ummi Maktum. Rasul menjawab, "Apakah kamu mendengar seruan azan?" Ibnu Ummi Maktum menjawab, "Ya, saya mendengarnya." Rasul pun memerintahkannya agar ia tetap pergi ke masjid meskipun sambil merangkak.
Maka, dengan penuh keimanan, setiap azan berkumandang dan waktu shalat tiba, ia pun segera pergi ke masjid dan berjamaah dengan Rasulullah SAW. Suatu ketika di waktu Subuh, saat azan dikumandangkan, Ibnu Ummi Maktum pun bergegas ke masjid. Di tengah jalan, kakinya tersandung batu hingga akhirnya mengeluarkan darah. Namun, tekadnya sudah bulat untuk tetap berjamaah ke masjid.
Waktu Subuh berikutnya, ia bertemu dengan seorang pemuda. Pemuda tersebut bermaksud menolongnya dan menuntunnya ke masjid. Selama berhari-hari, sang pemuda ini selalu mengantarnya ke masjid. Ibnu Ummi Maktum pun kemudian ingin membalas kebaikannya. "Wahai saudaraku, siapakah gerangan namamu. Izinkan aku mengetahuimu agar aku bisa mendoakanmu kepada Allah," ujarnya.
"Apa untungnya bagi Anda mengetahui namaku dan aku tak mau engkau doakan," jawab sang pemuda. "Jika demikian, cukuplah sampai di sini saja engkau membantuku. Aku tak mau engkau menolongku lagi sebab engkau tak mau didoakan," tutur Ibnu Ummi Maktum kepada pemuda itu.
Maka, sang pemuda ini pun akhirnya mengenalkan diri. "Wahai Ibnu Ummi Maktum, ketahuilah sesungguhnya aku adalah iblis," ujarnya. "Lalu mengapa engkau menolongku dan selalu mengantarkanku ke masjid. Bukankah engkau semestinya mencegahku untuk ke masjid?" tanya Ibnu Ummi Maktum lagi.
Sang pemuda yang bernama iblis itu kemudian membuka rahasia atas pertolongannya selama ini. "Wahai Ibnu Ummi Maktum, masih ingatkah engkau beberapa hari yang lalu tatkala engkau hendak ke masjid dan engkau terjatuh? Aku tidak ingin hal itu terulang lagi. Sebab, karena engkau terjatuh, Allah telah mengampuni dosamu yang separuh. Aku takut kalau engkau jatuh lagi Allah akan menghapuskan dosamu yang separuhnya lagi sehingga terhapuslah dosamu seluruhnya. Maka, sia-sialah kami menggodamu selama ini," jawab iblis tersebut.
Kisah di atas menggambarkan kepada kita bahwa sesungguhnya iblis tak akan pernah berhenti untuk menggoda dan menyesatkan manusia. Dalam hal yang baik pun, iblis selalu berusaha untuk membelokkan orang yang beriman ke arah yang dimurkai Allah. Ketahuilah, sesungguhnya iblis itu adalah musuh yang nyata bagi kita. (QS Fatir [35]: 6). Semoga Allah senantiasa membimbing dan meridai setiap ibadah kita. Amin. Wallahu a'lam.
Hikmah: Menangislah
Dikisahkan tentang seorang yang menangis terisak kemudian tersungkur tak sadarkan diri. Setelah siuman, dia ditanya: “Ada apa dengan dirimu? Dia menjawab: “Selepas shalat aku berzikir, kemudian aku menghitung-hitung keadaan diriku. Aku mengadili diriku sendiri sebelum datang pengadilan Allah. Bila setiap harinya aku berbuat dosa, apakah karena lalai ibadah atau karena amal-amalku, berarti aku telah menabung 365 dosa setiap tahunnya. Umurku enam puluh tahun dan itu berarti 21.900 dosa yang harus aku pertanggungja wabkan. Padahal, tidak ada satu perbuatan walau sebesar biji zarah sekali pun kecuali akan diperhitungkan Allah SWT di hari kiamat nanti. Lantas betapa aku akan menghadap Tuhanku? Oh, alangkah sedikitnya bekalku untuk menempuh perjalanan yang panjang nanti,” ujarnya.
Orang tersebut menangisi dirinya sendiri, menghitung diri sebelum datang hari perhitungan yang sesungguhnya. Tangisannya adalah penyesalan. Dan setiap orang yang menangis dan menyesali dosanya adalah pintu menuju ke surga. Begitu tingginya nilai tangisan bagi hamba yang merindu sehingga Allah akan membebaskannya dari api neraka. Abu Hurairah ra berkata bahwa Rasulullah SAW bersabda: “Tidak akan pernah masuk ke dalam neraka seorang yang pernah menangis karena takut kepada Allah.” (HR at-Tirmidzi).
Bagi para perindu surga, lebih baik mereka merintihkan tangisan harapan walau sepi dari hiasan bunga pesta dunia, asalkan dia kelak tersenyum menatap Sang Kekasih di akhir perjalanannya. Kerinduan yang tidak terperi telah memenuhi butiran air mata kaum mukmin. Karena, dalam setiap butiran air matanya, dia menemukan wajah Tuhan yang tersenyum penuh welas asih.
Maka, deraikanlah air mata dalam tangismu yang merindu cinta. Cucurkan air matamu dalam denyut kecemasanmu akan nasib di hari akhir. Sesekali tariklah dirimu dari keramaian dunia untuk bertafakur dan menghitung diri. Engkau tak akan pernah menangkap bayangan wajahmu bila becermin di atas air yang deras dan keruh. Bayanganmu hanya tertangkap di permukaan air yang bening dan mengalir tenang.
Engkau tak akan menemukan wajah Tuhan dalam gelak tawa dan ingar-bingar pesta dunia. Gelak tawa demikian hanya akan menumpulkan ketajaman nuranimu. Ingar-bingar duniamu telah membuat kusam dan kotor kaca-kaca kalbumu. Sinarnya tertahan oleh daun-daun ambisi hawa nafsumu. Apalah artinya gelak tawa bila diakhiri dengan derai air mata dan tangisan penyesalan di hari kemudian?
Berbahagialah orang-orang yang pernah menangis dalam penyesalannya. Berbahagialah orang yang meneteskan air mata karena mewaspadai dirinya di hadapan Allah kelak. Berbahagialah orang yang menangis sebelum datang saatnya dia akan ditangisi. Berbahagialah para pemimpin yang terisak merintih getir memikirkan duka derita nasib rakyatnya. Menangislah sebelum datang suatu masa di mana malaikat pemutus segala kelezatan akan datang menghentikan segala desah napas dan membuyarkan segala impian. Wallahu a'lam.
Hikmah Pagi: Sahabat Kaum Dhuafa
Namanya Jundub bin Junadah, tetapi lebih dikenal dengan panggilan Abu Dzar al-Ghiffari. Sahabat Nabi ini terkenal dengan sikap zuhudnya serta pandangan khasnya tentang harta. Bagi Abu Dzar, menyimpan harta dalam jumlah yang berlebih dari kebutuhan keluarga adalah haram. Ayat yang sering dikutip Abu Dzar: "Dan orang-orang yang menyimpan emas dan perak dan tidak menafkahkannya pada jalan Allah, beritahukanlah kepada mereka, (mereka akan mendapat) siksa yang pedih." (QS at-Taubah [9]: 34).
Abu Dzar tidak pernah menyimpan harta lebih dari persiapan hidup tiga hari. Tidak jarang dia berhari-hari hanya makan beberapa biji kurma dan air. Sewaktu tinggal di Damaskus, pada zaman Khalifah Usman bin Affan, Gubernur Muawiyah bin Abi Sufyan pernah mengujinya dengan mengirimkan uang 100 dinar pada satu malam dan besok paginya memintanya kembali dengan alasan salah kirim. Ternyata uang tersebut sudah habis dibagikan malam itu juga kepada fakir miskin. Abu Dzar berjanji akan mengumpulkannya kembali dalam tiga hari jika Muawiyah menginginkannya.
Suatu hari, seseorang datang ke kediaman Abu Dzar. Tamu itu melayangkan pandangannya ke setiap pojok rumahnya. Dia tidak melihat apa-apa di rumah itu. "Hai Abu Dzar! Di mana barang-barang Anda?" Abu Dzar menjawab, "Kami mempunyai rumah yang lain. Barang-barang kami yang bagus telah kami kirim ke sana."
Tamu itu rupanya mengerti bahwa yang dimaksud Abu Dzar adalah akhirat. Lalu tamu tadi berkata, "Tetapi, Anda juga memerlukan barang-barang itu di rumah ini?" Maksudnya, di dunia. Abu Dzar dengan tangkas menjawab, "Tetapi yang punya rumah (Allah) tidak membolehkan kami tinggal di sini buat selama-lamanya."
Abu Dzar sering menyampaikan kepada kaum dhuafa bahwa pada harta orang-orang kaya itu ada hak mereka. Sebagai gubernur, Muawiyah khawatir kalau-kalau cara pandang Abu Dzar itu akan mendorong orang-orang miskin merampasi harta kekayaan orang kaya. Dia melaporkan Abu Dzar kepada Khalifah Usman di Madinah. Khalifah memanggil Abu Dzar dan dua sahabat ahli tafsir untuk menguji penafsiran Abu Dzar terhadap surah at-Taubah ayat 34 itu. Keduanya menyatakan bahwa yang diancam oleh ayat tersebut adalah orang-orang yang menimbun kekayaan dan tidak menunaikan kewajibannya membayar zakat.
Setelah peristiwa itu, Abu Dzar tidak mau kembali lagi ke Damaskus dan juga tidak mau menetap di Madinah. Dalam pandangan dia, umat Islam di kedua kota tersebut tidak lagi hidup secara sederhana seperti yang dicontohkan Rasulullah SAW. Dia minta izin tinggal di Rabdzah, sebuah kampung kecil di luar Kota Madinah.
Suatu hari, Abu Dzar berpesan kepada putrinya. Jika lewat kafilah di kampung kita ini, jamulah mereka makan. Setelah itu tanyakan kepada mereka, apakah Abu Dzar termasuk ahli surga atau bukan. Putrinya heran, karena biasanya pertanyaan itu diajukan setelah seseorang meninggal dunia. Mengetahui ada kafilah datang dan putrinya sudah menyiapkan jamuan, Abu Dzar mengambil air wudhu lalu shalat dua rakaat dengan khusyuk. Setelah shalat, dia berbaring dan melipat kedua tangannya, kemudian tenang. Pada saat itulah Allah SWT memanggilnya. Alangkah indahnya kematian sahabat kaum dhuafa ini
Begini Cara Mencintai Rasulullah
Seorang hamba sahaya bernama Tsauban sangat ingin berjumpa dengan Rasulullah. Sebab, ia sangat mencintai dan mengagumi akhlak dan kepribadian Nabi akhir zaman tersebut. Namun, tempat tinggalnya sangat jauh, sehingga ia sulit berjumpa dengan Rasul SAW.
Pada suatu hari, Tsauban dapat bertemu dengan Rasulullah. Kesempatan itu digunakannya untuk mendengarkan segala nasihat dan tausiah dari Rasul SAW. Mengetahui Tsauban, Rasulullah tampak heran, sebab warna kulitnya tidak seperti warna kulit orang yang sehat, tubuhnya kurus, dan wajahnya menandakan kesedihan yang teramat mendalam. Rasul pun bertanya, "Apa yang menyebabkan kamu seperti ini?"
"Wahai Rasulullah, yang menimpa diriku ini bukanlah penyakit, melainkan ini semua karena rasa rinduku padamu yang belum terobati, karena jarang bertemu denganmu. Dan, aku terus-menerus sangat gelisah sampai akhirnya aku dapat berjumpa denganmu hari ini," ujarnya.
"Ketika ingat akhirat, aku khawatir tidak dapat melihatmu lagi di sana. Karena, saya sadar bahwa engkau pasti akan dimasukkan ke dalam surga yang khusus diperuntukkan bagi para nabi. Kalaupun toh saya masuk surga, saya pasti tidak akan melihatmu lagi, karena saya berada dalam surga yang berbeda dengan surgamu. Apalagi jika saya nantinya masuk neraka, maka pastilah saya tidak akan dapat melihatmu lagi selama-lamanya," tukas Tsauban. Mendengar curahan hati si budak Tsauban tersebut, Rasulullah pun menjawab, "Insya Allah engkau (berkumpul) bersamaku di surga."
Kisah di atas menyiratkan akan ganjaran bagi orang yang memiliki kekaguman dan kecintaan akan sosok Nabi Muhammad SAW. Bahkan, kerinduannya untuk bertemu dengan sang pujaan, mengalahkan segalanya hingga kesehatannya menurun drastis.
Bentuk kecintaan pada Rasulullah, bukan diukur melalui berapa banyak pujaan atau pujian untuk Rasulullah SAW, melainkan bagaimana sikap dan perilakunya untuk melaksanakan segala apa yang biasa dilakukan oleh panutannya itu (menjalankan sunah). Artinya, kecintaan itu datangnya dari hati dan diamalkan dengan perbuatan, bukan dengan sekadar kata-kata.
Di saat banyak orang menyebarkan fitnah yang dialamatkan pada Rasul SAW, maka salah satu bentuk kecintaan seorang Muslim yang bisa diwujudkan adalah dengan kembali menelaah lebih dalam sirah kehidupan beliau melalui berbagai literatur tentang pribadi beliau. Sebab, pengetahuan yang minim tentang Rasulullah pada sebagian umat Islam, akan menjadi celah bagi sejumlah pihak yang tidak bertanggung jawab untuk melemahkan keyakinan umat Islam lewat propaganda dan pemutarbalikkan fakta. Karena itu, dalam membaca sirah nabawiyah pun, harus dipahami makna dan esensi dari akhlak Rasul SAW.
Dan satu hal yang paling esensial dalam menumbuhkan kecintaan pada Rasul SAW adalah meneladani segala perbuatan dan perkataannya. Juga menaati apa yang diperintah dan menjauhi semua yang dilarangnya. Wallahu a'lam.
Saat Setan Sekecil Lalat
Tak satupun manusia lepas dari gangguan setan. Sesuai dengan namanya,
shatana atau sesuatu yang jauh, setan senantiasa menggoda manusia dari
tempat yang jauh (tak terlihat) dan mengajak manusia menjauh dari
kebaikan. Sudah menjadi komitmen setan untuk terus menerus menggoda dan
menganggu anak cucu Adam AS hingga akhir jaman. Kadang-kadang kita
dibuat geram oleh ulahnya sehingga ingin mengekspresikannya dengan ucapan atau perbuatan.
Suatu ketika seorang sahabat mengekspresikan kejengkelannya dengan memaki setan saat hewan tunggangan Rasulullah SAW tersandung. "Terkutuk setan".
Rasulullah SAW yang kebetulan mendengarnya menasihati, "Jangan berkata "Terkutuk setan", karena jika kamu berkata seperti itu, setan menjadi arogan dan berkata: Dengan kekuatanku akan kubuat ia jatuh. Ketika kau berkata, "Bismillah", setan akan menjadi sekecil lalat". (HR Ahmad).
Demikianlah cara yang diajarkan Rasulullah SAW menghadapi mahluk yang sombong. Tidak dengan cacian dan makian, tetapi dengan menyebut nama Allah.
Di dalam ibadah haji pun kita diberi kesempatan untuk mengekspresikan kemarahan dan permusuhan kita terhadap iblis dalam ritual melempar jumrah.
Dengan kerikil sebesar biji jagung yang telah disiapkan sebelumnya, kita melemparinya sambil tetap mengingat dan menyebut nama Allah Zat Yang Maha Besar "Bismillahi Allahu Akbar".
Mencaci maki bukanlah cara yang diajarkan Islam untuk mengekspresikan kemarahan, membalas atau melawan kesombongan. Logika sederhana mengatakan, kalau kita balas dan lawan kesombongan dengan caci maki, lalu apa beda kita dengan mereka?.
Alasannya adalah hanya karena ajaran Islam terlalu mulia untuk itu. Mencaci maki pun kadang bagaikan menepuk air didulang terpercik muka sendiri. Rasulullah SAW punya logika sederhana untuk itu.
Telah bersabda Rasulullah SAW, "Termasuk dosa besar adalah seseorang mencaci-maki kedua orang tuanya," Para sahabat bertanya, "Bagaimana seseorang bisa mencaci-maki kedua orang tuanya?", Maka beliau SAW menjawab: "Dia mencaci-maki ayah orang lain, lalu orang lain itu mencaci maki kembali orang tuanya" (HR Bukhari)
Mencaci maki, apalagi membakar patung tokoh, bendera, atau simbol-simbol yang dihormati suatu kaum untuk mengekspresikan kemarahan bukanlah akhlak yang diajarkan Rasulullah SAW. Karena, mengambil pelajaran dari hadits tadi, hal itu tidak berbeda dengan melakukannya
terhadap apa yang kita hormati sendiri.
Alangkah indahnya jika hujatan atau caci maki digantikan dengan cara yang bermartabat seperti telah diajarkan Rasulullah SAW kepada para sahabatnya. "Allah Maha Besar Sungguh Maha Besar, Segala Puji hanya bagi Allah Pujian yang amat banyak, Tiada Tuhan Selain Allah Yang Maha Esa, Tiada Sekutu bagi-Nya.
Suatu ketika seorang sahabat mengekspresikan kejengkelannya dengan memaki setan saat hewan tunggangan Rasulullah SAW tersandung. "Terkutuk setan".
Rasulullah SAW yang kebetulan mendengarnya menasihati, "Jangan berkata "Terkutuk setan", karena jika kamu berkata seperti itu, setan menjadi arogan dan berkata: Dengan kekuatanku akan kubuat ia jatuh. Ketika kau berkata, "Bismillah", setan akan menjadi sekecil lalat". (HR Ahmad).
Demikianlah cara yang diajarkan Rasulullah SAW menghadapi mahluk yang sombong. Tidak dengan cacian dan makian, tetapi dengan menyebut nama Allah.
Di dalam ibadah haji pun kita diberi kesempatan untuk mengekspresikan kemarahan dan permusuhan kita terhadap iblis dalam ritual melempar jumrah.
Dengan kerikil sebesar biji jagung yang telah disiapkan sebelumnya, kita melemparinya sambil tetap mengingat dan menyebut nama Allah Zat Yang Maha Besar "Bismillahi Allahu Akbar".
Mencaci maki bukanlah cara yang diajarkan Islam untuk mengekspresikan kemarahan, membalas atau melawan kesombongan. Logika sederhana mengatakan, kalau kita balas dan lawan kesombongan dengan caci maki, lalu apa beda kita dengan mereka?.
Alasannya adalah hanya karena ajaran Islam terlalu mulia untuk itu. Mencaci maki pun kadang bagaikan menepuk air didulang terpercik muka sendiri. Rasulullah SAW punya logika sederhana untuk itu.
Telah bersabda Rasulullah SAW, "Termasuk dosa besar adalah seseorang mencaci-maki kedua orang tuanya," Para sahabat bertanya, "Bagaimana seseorang bisa mencaci-maki kedua orang tuanya?", Maka beliau SAW menjawab: "Dia mencaci-maki ayah orang lain, lalu orang lain itu mencaci maki kembali orang tuanya" (HR Bukhari)
Mencaci maki, apalagi membakar patung tokoh, bendera, atau simbol-simbol yang dihormati suatu kaum untuk mengekspresikan kemarahan bukanlah akhlak yang diajarkan Rasulullah SAW. Karena, mengambil pelajaran dari hadits tadi, hal itu tidak berbeda dengan melakukannya
terhadap apa yang kita hormati sendiri.
Alangkah indahnya jika hujatan atau caci maki digantikan dengan cara yang bermartabat seperti telah diajarkan Rasulullah SAW kepada para sahabatnya. "Allah Maha Besar Sungguh Maha Besar, Segala Puji hanya bagi Allah Pujian yang amat banyak, Tiada Tuhan Selain Allah Yang Maha Esa, Tiada Sekutu bagi-Nya.
Mencintai yang Ada di Bumi
Ingin aku mengetuk pintu hatimu, betapa baginda Rasululullah SAW bersabda, "Allah memiliki 100 rahmat, 99 ditahan-Nya dan yang satu disebarkannya di muka bumi, sehingga seekor kijang mampu mengangkat kakinya untuk menyusui anak-anaknya." Karenanya, mereka yang dengan rasa haru penuh cinta, melindungi dan menyayangi ciptaan-Nya, niscaya akan disayangi Allah. Rasululah SAW bersabda, "Barang siapa yang menyayangi yang di bumi, ia akan disayangi oleh yang di langit."
Demi keagungan sifat-Nya yang Maharahman, siapa pun yang sangat peduli pada keselamatan ekologi, berbuat adil,menjauhi kezaliman, teguh dengan amanah, dan dengan sukacita menebar kasih sayang, serta melindungi makhluk ciptaan-Nya. Niscaya Allah akan menolongnya walaupun mereka itu kafir. Sebaliknya, Allah tidak akan menolong orang yang berbuat zalim, khianat, dan membuat kerusakan di muka bumi, walaupun mereka mengaku Islam. Bukankah petunjuk-Nya berlaku universal untuk semua manusia?
Maka, renungkanlah firman Allah, "... berbuatlah kebaikan (ihsan) dan janganlah membuat kerusakan (fasad), karena sesungguhnya Allah tidak mencintai orang yang membuat kerusakan." (QS 28: 77).
Masih adakah ruang batin walau sejenak untuk merenungkan misi suci Rasulullah yang selalu menampakkan wajah menyejukkan, menerangi jiwa resah nan gelisah, senantiasa menebarkan salam penuh marhamah? Dengan keteladanan akhlaknya, Rasulullah SAW senantiasa menjadi cahaya penerang kehidupan. Maaf yang diberikannya, lebih cepat daripada panah yang melesat dari busurnya.
Tetapi, ketika kuraba denyut kehidupan, jiwaku merintih menyayat hati semakin pedih. Lihatlah, betapa masih saja ada di antara kita yang batinnya tidak diterangi cahaya ilmu. Menjawab tantangan zaman dengan wajah penuh amarah. Memperalat agama untuk kepentingan egois dan hawa nafsu. Dan, kemudian menampakkan dirinya sebagai tuhan-tuhan kecil seraya menepuk dada, seakan dirinyalah yang paling berhak menghakimi. Padahal, Allah berfirman, "Karena rahmat dari Allah, hendaklah kamu berlaku lemah lembut. Janganlah berlaku kasar, karena bila engkau bersikap kasar niscaya mereka akan melarikan diri darimu, maka maafkan dan mohonkan ampun bagi mereka. ( QS Ali Imran [3]: 159 ).
Sikap kasih sayang penuh pemaafan adalah cahaya langit penghias iman yang mahamulia. Bahkan, Allah mengetuk dhamir kita yang paling dalam. Hai orang-orang yang beriman hendaklah kamu jadi orang-orang yang selalu menegakkan (kebenaran) karena Allah, menjadi saksi dengan adil. Dan janganlah sekali-kali kebencianmu terhadap sesuatu kaum, mendorong kamu untuk berlaku tidak adil. Berlaku adillah, karena adil itu lebih dekat pada takwa. Dan bertakwalah kepada Allah, sesungguhnya Allah Maha Mengetahui apa yang kamu kerjakan." (QS al-Maidah [5]: 8).
Lantas, bahasa apakah gerangan yang paling membekas untuk merayu manusia agar menampakkan wajah rembulan, seraya tangannya mengacungkan panji-panji kemanusiaan yang bersulamkan benang-benang cinta dan kasih sayang?
Amal Orang Kafir Laksana Fatamorgana
"Dan orang-orang kafir amal-amal mereka adalah laksana fatamorgana di tanah yang datar, yang disangka air oleh orang-orang yang dahaga, tetapi bila didatanginya air itu dia tidak mendapatinya sesuatu apapun. dan didapatinya (ketetapan) Allah disisinya, lalu Allah memberikan kepadanya perhitungan amal-amal dengan cukup dan Allah adalah sangat cepat perhitungan-Nya." (QS An-Nur: 39)
Dalam ayat ke-39 surat An-Nur ini, Allah menyatakan bahwa amal-amal baik orang kafir itu laksana fatamorgana di tanah datar yang disangka air oleh orang-orang yang dahaga, tetapi bila didatanginya air itu, dia tidak mendapatinya sesuatu apapun.
Sering dalam kehidupan sehari-hari kita mendapati orang-orang non muslim yang berlaku baik, seperti ia sangat menghargai waktu, memiliki etos kerja tinggi, memiliki sifat dermawan kepada sesama, dan kebaikan-kebaikan lainnya. Namun, sekali lagi melalui ayat ini seolah Allah ingin mempertegas bahwa apa yang mereka (orang kafir) lakukan itu tidak bernilai di sisi Allah. Mengapa? Karena orang kafir beramal tidak didasarkan atas iman.
Ada sebuah analogi sederhana untuk membuktikan betapa sia-sianya amal tanpa dilandasi keimanan. Jika ada seseorang bekerja untuk perusahaan A, lantas ia menginginkan gaji dari perusahaan B. Apakah perusahaan B akan memberikan gaji kepada seseorang yang tidak bekerja untuk perusahaannya? Seseorang tersebut ibarat orang kafir, ia beramal untuk Tuhan selain Allah, apakah mungkin Allah memberikan Surga-Nya untuk orang kafir?
Lantas kita pun berpikir tentang dosa orang kafir. Apakah orang kafir yang tidak sholat itu dosa? Jelas tidak, karena kekafirannya. Dosa bagi orang kafir adalah karena kesyirikannya, ia menyekutukan Allah dengan tuhan yang lain. Dan, dosa syirik adalah sebesar-besarnya dosa. Hanya dengan rahmat Allah-lah dosa syirik seorang kafir diampuni ketika ia bertaubat.
Namun kita yang seorang muslim pun harus berhati-hati dengan amal kita, karena tidak tertutup kemungkinan amal-amal kita pun laksana fatamorgana yang tak memiliki nilai di sisi Allah manakala kita beramal tetapi tidak didasari iman kepada Allah. Mari kita merefleksikan diri kita, apakah amal-amal kita telah didasarkan atas keimanan?
1. Beramal dengan ilmu
Amal baik adalah segala sikap, tindakan, ucapan yang memiliki dasar “ilmu”. Amal yang dilandasi dengan ilmu memiliki ciri, (a) al-ashwab yakni benar yang berarti tidak menyalahi segala yang sudah ditetapkan oleh Allah, (b) al-akhlash yakni memilih amal kebaikan yang paling tidak disukai nafsu.
2. Hati yang menerima
Seseorang yang beramal didasarkan atas iman maka hatinya pun menerima setiap amal-amal yang ia lakukan.
3. Dilakukan karena yakin
Yakin akan kebenarannya dan yakin akan ketulusannya.
4. Diserta hati khudu’ (merasa rendah dan hina)
Maka tak boleh bagi seorang beriman yang ketika berdoa berkata, “Ya Allah ampunilah hamba jika Engkau ingin”
5. Ditunaikan karena cinta dan rindu kepada Allah
Amal seorang muslim merupakan manifestasi kecintaan dan kerinduan seorang hamba kepada Sang Khaliq.
6. Dirancang sebagai investasi untuk mendapatkan husnul khotimah
Seorang mukmin yang beramal dengan didasari iman, ia berharap agar mati dalam keadaan husnul khotimah, yang sulit dicapai jika tidak dirancang dengan amal-amal shaleh yang dilakukan dengan istiqomah
Jangan Menyalahkan Tuhan
Sebagian kita mulai menyalahkan musim hujan yang kembali menyapa kita. Padahal, jika tidak ada hujan, kekeringan juga akan datang dengan dampak yang jauh lebih buruk. Artinya, hujan atau tidak, bergantung pada cara manusia memperlakukan alam ini.
Manusialah yang menjadikan hujan bak monster ganas. Hutan yang dulu rindang kini gundul dan tak terurus. Sungai yang dulu megalir dengan jernih, kini keruh dan tersumbat. Bahkan, beberapa sungai justru menjadi tempat sampah dan menimbulkan bau tak sedap.
Alam tak bersahabat lagi dengan kita. Maka, air hujan yang dulu memberikan banyak manfaat, kini justru menimbulkan banyak mudharat. Sejatinya air hujan adalah berkah yang dengan kehadirannya untuk keseimbangan alam. Bahkan, hujan juga merupakan stimulus dari Allah agar manusia berpikir dengan jernih dan beriman kepada Allah semata.
"Dialah yang menjadikan bumi sebagai hamparan bagimu dan langit sebagai atap, dan Dia menurunkan air (hujan) dari langit, lalu Dia menghasilkan dengan hujan itu segala buah-buahan sebagai rezeki untukmu; karena itu janganlah kamu mengadakan sekutu-sekutu bagi Allah, padahal kamu mengetahui." (QS al-Baqarah [2]: 22).
Dan hujan itu dibutuhkan bagi kelangsungan hidup manusia itu sendiri. (Lihat QS [32]: 27). Prinsipnya hujan itu adalah berkah dari Allah demi kesejahteraan manusia dan keseimbangan alam semesta. Tanpa hujan, bumi akan diliputi oleh kekeringan yang berujung pada kegersangan, kelaparan, dan berakhir pada kematian.
Faktanya hari ini hujan tidak demikian. Di beberapa tempat, musim hujan justru menjadi aba-aba kewaspadaan yang sangat dikhawatirkan. Sebab, tidak lama lagi banjir akan menemui mereka. Dalam situasi demikian, siapakah yang salah?
Tentu bukan Tuhan yang keliru, tapi manusialah yang bersalah. Allah telah menurunkan penjelasannya dalam Alquran. Pertanyaannya, sejauh mana kita mentadabburinya, sehingga mengerti dengan sebenarnya bahwa hujan itu adalah berkah. Dan, karena itu kita mampu membuat satu kebijakan yang bisa mengundang berkah.
Tatkala Allah menurunkan ayat tersebut di atas, target yang dikehendaki oleh-Nya ialah manusia bisa memelihara keseimbangan alam. Berpikir bagaimana kehadiran hujan mampu memberikan manfaat besar seperti yang difirmankan-Nya. Bermanfaat bagi pertanian, peternakan, kehidupan, dan keindahan alam. Jadi, bukan Tuhan yang salah ataupun alam yang tidak mau bersahabat. Tetapi, manusialah yang salah mengelola lingkungan.
Banjir itu terjadi karena manusia lalai dalam mengantisipasinya. Ketika sebuah kota dibangun dengan tanpa perencanaan yang baik, pasti banjir akan menjadi sahabat mereka. Ketika alam tidak dipelihara dengan serius maka bencanalah sahabat karib mereka. Sekali lagi jangan salahkan Tuhan tapi salah manusia sendiri. Wallahu a'lam.
Antara Setan Dan Malaikat
Segala sesuatu mempunyai dua kutub berbeda. Ada kanan ada kiri. Ada bawah ada atas, ada pintar ada pula bodoh, ada baik ada buruk, ada malaikat dan ada pula setan. Begitu juga manusia, dalam dirinya manusia punya dua sisi tersebut. Terkadang malaikat yang lebih dominan, namun di lain waktu setanlah yang menguasai.
Saat kita melihat seseorang dengan pakaian compang-camping mengais sampah untuk mencari nasi, hati ini tergugah untuk memberinya makan makanan yang layak seperti yang kita makan. Degan memberinya sepiring nasi sepertinya kita sudah menjadi malaikat yang telah menjadi penolong orang lain.
Di sisi lain saat ada seseorang berbuat kesalahan, kita sulit sekali memaafkannya, menampakkan muka angkuh di hadapannya, menyiratkan pandangan kebencian terhadapnya, bahkan menyapanyapun tidak mau. Tetapi saat itu kita tidak merasa diri ini setan bukan?
Rasulullah mengajarkan “saat tangan kanan memberi maka tangan kiri tidak boleh tahu”. Tetapi apa yang kita lakukan? Saat tangan kanan memberi, dengan sengaja ia mengundang tangan kiri untuk mendampinginya. Apakah manusia merasa dirinya setan dalam situasi seperti ini?
Ada orang merasa dirinya besar jika ia mampu pergi ke Tanah Suci. Berdoa dan didoakan menjadi haji yang mabrur. Menunaikan haji dan pulang membawa air zam-zam dan pernak-perniknya, mengajak kumpul para tetangga dan mengeluarkan banyak harta untuk disedekahkan. Namun, ia berbangga dengan gelar hajinya, tidak boleh orang memanggilnya “Bapak Fulan” tetapi harus “Bapak Haji Fulan”. Orang-orang dibuat bingung akan kehadiran Fulan ini. Haruskah ia dipuji seperti malaikat ataukan dicaci seperti setan?
Manusia selalu merasa dirinya malaikat tetapi tidak pernah merasa dirinya setan meskipun ia seorang pembunuh, koruptor, perampok, ataupun perampas hak-hak orang kecil. Topeng malaikat terlalu kuat melekat dalam hati manusia sehingga menyamarkan jatidirinya. Orang-orang tidak dapat lagi membedakan yang mana malaikat dan yang mana setan. Mereka memuji-muji sang setan dan mencaci sang malaikat. Mengikuti yang salah dan mengabaikan kebenaran sehingga membentuk topeng-topeng malaikat baru dalam jiwa-jiwanya.
Kita tidak pernah menyadari yang mana setan dan yang mana malaikat dalam diri ini. Namun yang harus kita sadari adalah mereka ada dalam jiwa kita. Manusia itu sendirilah yang menghidupkan salah satu dari mereka. Malaikat akan hidup dengan cinta, kasih sayang, memaafkan, rendah hati. Sedangkan setan akan hidup dengan benci, dendam, prasangka, dan kesombongan. Kembali kepada manusia itu sendiri sisi mana yang ingin ia hidupkan. Wallahua’lam.
"Kasih sayang Allah untuk umat Nabi Muhammad SAW"
Bukti kebesaran Allah SWT atas umat Nabi Muhammad SAW sangatlah jelas dan nyata, di zaman sebelum datangnya Nabi Muhammad SAW bila satu kaum pengikut para Nabi berbuat dosa kepada Allah SWT (maksiat) maka Allah akan menulis dikeningnya umat yang bertulis hamba ini berdosa dan tidak bisa ditutupi umat tersebut atas diri mereka masing-masing bahwa mereka berbuat dosa dan begitu banyak pula azab Allah yang diturunkan sebelum datangnya Nabi Muhammad SAW, sala satu kaum yang di tenggelamkan beserta bumi ini adalah kaum Nabi Nuh as dan kaum yang dihujankan batu serta dibalikannya bumi adalah kaum Nabi Luth as dan masih banyak kaum para Nabi lainnya yang Allah SWT turunkan azab. Betapa beruntunglah umat Nabi Muhamad SAW atas kasih sayang Allah SWT yang begitu sayang terhadap umat Nabi Muhammad SAW, walaupun begitu banyak dosa dan kesalahan-kesalahan yang pernah dibuat umatnya tetapi Allah SWT masih membuka pintu ampunan selagi ruh masih berada dijasadnya dan sebelum sampai di tenggorokkannya, Allah SWT masih mengampuni dosanya selagi ia tidak menyekutukan Allah SWT.
Niat
عَنْ اَمِيْرِالْمُؤْمِنِيْنَ اَبِى حَفْصٍ عُمَرُ ابْنِ الْخَطَّابِ رَضِيَ الله ُعَنْهُ قَالَ سَمِعْتُ رَسُوْلُ اللهِ صَلَّّّ الله ُعَلَيْهِ وَسَلَمْ يَقُوْلُ : اِنَّمَا الاَ عْمَالُ بِالنِّيَّاتِ وَاِنَّمَالِكُلِّ امْرِئٍ مَانَوَى فَمَنْ كَانَتْ هِجْرَتُهُ اِلىَ اللهِ وَرَسُوْلِهِ فَهِجْرَتُهُ اِلَى اللهِ وَرَسُوْلِهِ وَمَنْ كَانَتْ هِجْرَتُهُ لِدُنْيَا يُصِيْبُهَا, اَوِامْرَاَةٍيَنْكِعُهَا فَهِجْرَتُهُ اِلىَ مَاهَاجْرَ اِلَيْهِ (رَوَاهُ الْبُخَارِى وَمُسْلِم)
Niat itu adalah jalan pertama menuju Allah SWT, dikarenakan Allah SWT melihat kepada niatnya. Niat seorang mu`min lebih afdol daripada amalnya, bila seorang yang berniat dia tidak melakukan amal itu maka sudah dihitung satu kebaikan atau satu kejelekan.
Bila kebaikan yang dikerjakan dibarengi dengan niat maka ia akan mendapatkan 10 pahala. Tetapi bila kejelekan yang ia niatkan, maka mendapat satu dosa dari kejelekan yang ia perbuat.
Dan sesungguhnya Allah SWT berfirman “Kami telah mengutus Rosul pada tiap-tiap umat untuk menyeru dan menyembah kepada Allah SWT dan menjauhi larangan-Nya.
Maka niat yang baik, ia akan mendengar seruan Allah SWT dan Rosul-Nya dan membulatkan niatnya untuk menjalankan perintah Allah dan Rosul-Nya. Ini bagi orang yang berakal.
Di dalam syari`at, niat mempunyai dua pembahasan :
Niat ikhlas dalam beramal hanya untuk Allah semata dan tentang hal ini biasanya dibahas oleh ulama-ulama tauhid dan ahlak serta ulama-ulama tazkiah (tasawuf) atau penyucian diri
Niat membedakan ibadah-ibadah antara ibadah yang satu dengan ibadah yang lainnya dan biasanya ini dibahas oleh ulama-ulama ahli fiqih.
Imam Ibnu Daqiqul Ied ra berkata : اِنَّمَا itu berfungsi Pembatasan dan maksudnya adalah menerapkan hukum yang telah disebutkan dan menjadikan hukum selamanya (yang tidak niatkan)
Imam Nawawi ra berkata : Jumhur (kebanyakan) ulama dari ahli bahasa dan usul serta selain mereka berkata lafadz اِنَّمَا berfungsi sebagai pembatasan yaitu menetapkan yang disebutkan dan meniadakan yang tidak disebutkan.
Jadi maksud اِنَّمَا الاَ عْمَالُ بِالنِّيَّات yaitu sah atau tidaknya amal perbuatan suatu ibadah itu tergantung kepada niatnya.
Imam Nawawi ra berkata : Sesungguhnya amal perbuatan itu diberi pahala berdasarkan niat dan tidak akan diberi pahala jika amal perbuatan tersebut tanpa niat.
Imam Ibnu Daqiqul Ied ra berkata : Yang disebut dengan amal disini adalah semua amal yang dibenarkan menurut ilmu syari`at sehingga setiap amal yang dibenarkan syari`at tanpa niat maka tidak berarti apa-apa menurut agama islam.
Lalu diteruskan dengan وَاِنَّمَالِكُلِّ امْرِئٍ مَانَوَى Dan sesungguhnya setiap orang akan dibalaskan berdasarkan apa yang diniatkannya
Allah SWT tidak melihat kepada jasad dan perbuatan kita akan tetapi Allah melihat kepada niatnya seeorang karena niat itu tempatnya berada di dalam hati dan hati merupakan tempat pandangannya Allah SWT.
Oleh karena itu apabila kita mau beramal maka usahakan niat kita karena Allah bukan karena sebab yang lain, bila seseorang sudah menguatkan niatnya karena Allah semata niscaya amalnya jalan terus menerus dan apabila bukan karena Allah maka niscaya akan terputus sebagaimana ulama berkata :
ما كا ن لله استمروماكان لغيرالله انقطع
Selain itu apabila kita melakukan sesuatu maka perbanyaklah niat-niat yang baik karena berapa banyak amal yang banyak menjadi sedikit pahalanya dibarengkan niat dan berapa banyak pula amal yang sedikit menjadi banyak dibarengkan niat, maka hendaklah kita mengikuti orang-orang sholeh terdahulu yana mana mereka lebih mengetahui terhadap niat-niat yang baik, dengan cara kita berniat di dalam hati “aku berniat sebagaimana orang-orang sholeh terdahulu berniat”
نويت على مانوى سلف الصالح
Maka niscaya amal kita akan dihitung banyak oleh Allah SWT karena kita berniat dengan niatnya orang-orang sholeh terdahulu
Berniat Seperti Orang Orang Sholeh Terdahulu
Allah SWT tidak melihat kepada jasad dan perbuatan kita akan tetapi Allah melihat kepada niatnya seeorang karena niat itu tempatnya berada di dalam hati dan hati merupakan tempat pandangannya Allah SWT.
Oleh karena itu apabila kita mau beramal maka usahakan niat kita karena Allah bukan karena sebab yang lain, bila seseorang sudah menguatkan niatnya karena Allah semata niscaya amalnya jalan terus menerus dan apabila bukan karena Allah maka niscaya akan terputus sebagaimana ulama berkata :
ما كا ن لله استمروماكان لغيرالله انقطع
Selain itu apabila kita melakukan sesuatu maka perbanyaklah niat-niat yang baik karena berapa banyak amal yang banyak menjadi sedikit pahalanya dibarengkan niat dan berapa banyak pula amal yang sedikit menjadi banyak dibarengkan niat, maka hendaklah kita mengikuti orang-orang sholeh terdahulu yana mana mereka lebih mengetahui terhadap niat-niat yang baik, dengan cara kita berniat di dalam hati “aku berniat sebagaimana orang-orang sholeh terdahulu berniat”
نويت على مانوى سلف الصالح
Maka niscaya amal kita akan dihitung banyak oleh Allah SWT karena kita berniat dengan niatnya orang-orang sholeh terdahulu
Sayyidah Nafisah Guru Imam Syafi’i.
Sayyidah Nafisah Guru Imam Syafi’i Sayyidah Nafisah adalah putri Hasan al-Anwar bin Zaid bin Hasan bin Ali dan Sayyidah Fathimah az-Zahra', putri Rasululullah Saw. Sayyidah Nafisah dilahirkan di Mekah al-Mukarramah, 11 Rabiul awal 145 H. Pada tahun 150 H, Hasan menjabat sebagai Gubernur Madinah dan ia membawa Sayyidah Nafisah yang baru berusia lima tahun ke Madinah.
Di sana Sayyidah Nafisah menghafal Al-Qur'an, mempelajari tafsirnya dan senantiasa menziarahi makam datuknya, Rasulullah Saw. Sayyidah Nafisah terkenal zuhud, berpuasa di siang hari dan bangun di malam hari untuk bertahajud dan beribadah kepada Allah SWT.
Sayyidah Nafisah mulai umur enam tahun selalu menunaikan salat fardu dengan teratur bersama kedua orang tuanya di Masjid Nabawi. Sayyidah Nafisah menikah dengan putra pamannya, Ishaq al-Mu'tamin. Pernikahan itu berlangsung pada tanggal 5 Rajab 161 H. Umur Sayyidah Nafisah ketika itu 16 tahun. Ia dikaruniai seorang putra bernama al-Qasim dan seorang putri bernama Ummu Kultsum. Sayyidah Nafisah menunaikan ibadah haji sebanyak tiga puluh kali, sebagian besar ia lakukan dengan berjalan kaki.
Hal tersebut dilakukan karena meneladani datuknya, Imam Husain yang pernah mengatakan, "Sesungguhnya aku malu kepada Tuhanku jika aku menjumpai-Nya di rumah-Nya dengan tidak berjalan kaki.
" Riwayat-riwayat tentang Sayyidah Nafisah kebanyakan dinisbahkan kepada putri saudaranya, Zainab binti Yahya al-Mutawwaj, yang selalu menyertai dan menemaninya sepanjang hidupnya, serta tidak mau menikah karena ingin selalu melayani dan menyenangkannya. Zainab binti Yahya, saat berbicara tentang Sayyidah Nafisah, mengatakan, "Bibiku hafal Al Qur'an dan menafsirkannya, ia membaca Al Qur'an dengan menangis sambil berdo’a, 'Tuhanku, Mudahkanlah untukku berziarah ke tempat Nabi lbrahim as.
" Sayyidah Nafisah tahu bahwa Nabi Ibrahim adalah datuk para nabi, jadi datuk dari ayahnya juga, Muhammad Saw. Dan Rasulullah Saw mengatakan, "Akulah yang dimaksud dalam do’a Ibrahim as ketika berdo’a, “Ya Tuhan kami, utuslah kepada mereka seorang rasul di antara mereka yang akan membacakan ayat-ayat Mu kepada mereka dan akan mengajarkan kitab dan hikmah kepada mereka serta akan membersihkan mereka; sesungguhnya Engkau Maha Perkasa lagi Maha Bijaksana.”
(QS. al-Baqarah: 129) Hijrah ke Mesir Ketika Sayyidah Nafisah menziarahi makam Nabi Ibrahim as, ia ingin menangis.
Lalu ia duduk dengan khusyuk membaca Al-Qur'an surat Ibrahim: 35-37. Hari Penyambutan di Kota al-Arisy Ketika Sayyidah Nafisah datang ke Mesir, usianya 48 tahun.
Ia tiba pada hari Sabtu, 26 Ramadan 193 H. Sewaktu orang-orang Mesir mengetahui kabar kedatangannya, mereka pun berangkat untuk menyambutnya di kota al-Arisy, lalu bersama-sama dengannya memasuki Mesir. Sayyidah Nafisah ditampung oleh seorang pedagang besar Mesir yang bernama Jamaluddin 'Abdullah al Jashshash, di rumah ini Sayyidah Nafisah tinggal selama beberapa bulan. Penduduk Mesir dari berbagai pelosok negeri berdatangan ke tempatnya untuk mengunjungi dan mengambil berkah darinya. Nafisah khawatir, hal itu akan menyulitkan pemilik rumah.
la pun meminta izin untuk pindah ke rumah yang lain. la kemudian memilih sebuah rumah yang khusus untuknya di sebuah kampung di belakang Mesjid Syajarah ad-Durr di jalan al-Khalifah. Kampung itu sekarang dikenal dengan nama al-Hasaniyyah. Penduduk Mesir yang telah mengetahui rumah baru yang ditempati oleh Sayyidah Nafisah, segera mendatanginya. Nafisah merasa dengan banyaknya orang yang mengunjunginya, benar-benar menyulitkannya untuk beribadah. Ia berpikir untuk meninggalkan Mesir dan kembali ke Madinah. Orang-orang mengetahui rencana Nafisah untuk meninggalkan Mesir.
Mereka segera kepenguasa Mesir, as-Sirri bin al-Hakam, dan memintanya agar meminta Sayyidah Nafisah untuk tetap tinggal di Mesir.
As-Sirri bin al-Hakam kemudian mendatangi Sayyidah Nafisah. Kepada as-Sirri, Sayyidah Nafisah berkata, Dulu, saya memang ingin tinggal di tempat kalian, tetapi aku ini seorang wanita yang lemah.
Orang-orang yang mengunjungiku sangat banyak, sehingga menyulitkanku untuk melaksanakan wirid dan mengumpulkan bekal untuk akhiratku. Lagi pula, rumah ini sempit untuk orang sebanyak itu. Selain itu, aku sangat rindu untuk pergi ke raudhah datukku, Rasulullah Saw." Maka as-Sirri menanggapinya, "Wahai putri Rasulullah, aku jamin bahwa apa yang engkau keluhkan ini akan dihilangkan.
Sedangkan mengenai masalah sempitnya rumah ini, maka aku memiliki sebuah rumah yang luas di Darb as-Siba' Aku bersaksi kepada Allah bahwa aku memberikan itu kepadamu. Aku harap engkau mau menerimanya dan tidak membuatku malu dengan menolaknya." Setelah lama terdiam, Sayyidah Nafisah berkata, 'Ya, saya menerimanya." Kemudian ia Mengatakan, Wahai Sirri, apa yang dapat aku perbuat terhadap jumlah orang yang banyak dan rombongan yang terus berdatangan?
“Engkau dapat membuat kesepakatan dengan mereka bahwa waktu untuk pengunjung adalah dua hari dalam seminggu. Sedangkan hari-hari lain dapat engkau pergunakan untuk ibadahmu, jadikanlah hari Rabu dan Sabtu untuk mereka," kata as-Sirri lagi. Sayyidah Nafisah menerima tawaran itu. Ia pun pindah ke rumah yang telah diberikan untuknya dan mengkhususkan waktu untuk kunjungan pada hari Rabu dan Sabtu setiap minggu.
Usul usul dakwah (Tata tertib dakwah khuruj fii sabilillah)
Ada dua puluh lapan tertib yang harus dipatuhi oleh setiap da’ie ketika keluar di jalan Allah, iaitu;
(Keterangan : Di indonesia 28 usul dakwah, sedangkan di Negara lain hanya 12 atau 16 usul saja).
Ada dua puluh lapan tertib yang harus dipatuhi oleh setiap da’ie ketika keluar di jalan Allah, iaitu;
1. Empat perkara yang diperbanyakkan;
* Dakwah ilallah – Dakwah ijtima’i, dakwah infradi, dakwah umumi dan dakwah khususi.
* Ta’lim wal ta’lum – Ta’lim infradi, ta’lim ijtimai, halaqah tajwid, fadhilah amal dan muzakarah sifat-sifat sahabat.
* Zikir dan Ibadah – Zikir: membaca Subhanallah, wal hamdulillah, walaa ilaaha illallah, wallahu akbar; selawat, istighfar dan tilawah Al-Quran. Ibadah: Ibadah fardhu, wajib, sunat dan mustahab.
* Khidmat – Khidmat kepada diri sendiri, rombongan jemaah, (kariah)kampung dan amir jemaah.
2. Empat perkara yang dikurangkan;
* Kurangkan masa makan dan minum.
* Kurangkan masa tidur dan rehat.
* Kurangkan percakapan yang sia-sia.
* Kurangkan masa di luar masjid.
3. Empat perkara yang ditinggalkan;
* Ishraaf (perbuatan boros atau membazir).
* Berharap (dalam hati) kepada makhluk.
* Meminta kepada makhluk.
* Menggunakan barang orang lain tanpa izin.
4. Empat perkara yang tidak boleh disentuh;
* Perbedaan aqidah.
* Khilafiah/ mazhab.
* Politik, aib masyarakat, pangkat serta derma.
* Berdebat (mujadalah).
5. Empat perkara yang dijaga;
* Mengutamakan amal ijtima’i daripada amal infradi.
* Kehormatan masjid.
* Ketaatan kepada amir jemaah.
* Sabar dan tahamul (ketahanan dalam menghadapi ujian).
6. Empat perkara yang dijauhkan;
* Tankish (merendahkan).
* Tankind (mengkritik).
* Tardid (menafikan atau menolak sama sekali).
* Taqobul (membanding-bandingkan).
7. Empat pilar (tiang/ dasar) agama;
* Ahli dakwah (tabligh, da’ie, juru dakwah).
* Tadris (para ulama, pengasuh/mudir pondok pesantren/ madrasah, majlis ta’lim).
* Kanka (mursyid, ahli tareqat) dan
* Musanif (para pengarang kitab).
WASIAT NABI UNTUK MENYAYANGI WANITA.
Abu Hurairah r.a. meriwayatkan bahwa Nabi Saw bersabda:
"Orang yang beriman kepada Allah dan Hari Akhir, janganlah ia menyakiti tetangganya, dan hendaklah kalian melaksanakan wasiatku untuk berbuat baik kepada para wanita. Sebab, mereka itu diciptakan dari tulang rusuk yang bengkok. Dan, tulang rusuk yang paling bengkok ialah yang paling atas. Jika kamu mencoba meluruskannya berarti engkau mencoba mematahkannya, dan jika kamu membiarkannya maka ia tetap akan bengkok. Karena itu, hendaknya kalian melaksanakan wasiatku untuk berbuat baik kepada wanita." (H.R. Bukhari dan Musim, redaksi dari Bukhari)
Dalam riwayat Muslim disebutkan, "Jika engkau menikmatinya, engkau mendapatkan kenikmatan dengan yang bengkok itu, namun jika engkau mencoba meluruskannya berarti engkau mematahkannya, dan mematahkannya adalah bercerai darinya."
Selasa, 16 April 2013
Poligaminya Rasulullah SAW
Assalamualaikum wr.wb
Semoga tulisan ini bermanfaat.
1. Aisyah binti Abu Bakar. ra.
Rasulullah menikahi Sayyidah Aisyah.ra ketika masih di Mekkah. Pernikahan ini disebutkan berdasarkan mimpi beliau. Rasulullah bersabda kepada Aisyah.ra “bahwasannya aku melihatmu dalam mimpi selama 3 hari, dimana malaikat datang kepadaku bersamamu dalam kain sutera seraya berkata “inilah istrimu”, maka aku singkapkan kain itu dari wajahmu dan aku dapati bahwa ternyata engkau (Aisyah), lalu aku berkata pada diri sendiri, jika memang ini petunjuk dari ALLAH maka aku akan segera melaksanakannya”(shahih Muslim,kitab Fadlail Al-Shahabu. Bab Fadl Aisyah. 44:2438).
Dari Al-Tirmidzi meriwayatkan dari Aisyah ra, bahwa “Jibril membawa gambar dirinya yang terbungkus dengan kain sutera hijau dan berkata “inilah istrimu didunia dan akhirat”. Dari riwayat ini maka ALLAH sesungguhnya telah memilih Aisyah ra untuk menjadi istri Rasulullah dan mengutus Jibril untuk memberitahukannya.
2. Saudah ra.
Beliau adalah Saudah binti Zam’ah Ibn Qois Al-Qursyiyah, merupakan janda dari Sukran Ibn Amru, yaitu salah seorang muslim pertama. Dua kali ikut hijrah bersama suaminya ke Habasyah, dan ketika pulang dari hijrah yang kedua inilah suaminya meninggal dunia. Dalam kondisi seperti itu, Saudah memutuskan untuk tidak kembali ke kabilahnya, karena mereka selalu memaksanya keluar dari islam serta menyakitinya dengan berbagai siksaan. Rasulullah menikahinya di Mekkah, sepeninggal istri pertama beliau, Khadijah ra. Saudah ra tergolong wanita yang sangat membutuhkan pertolongan.
3. Hafsah binti Umar Ibn Khattab
Hafsah ra merupakan janda Kunais Ibn Hudzaifah al-Anshari. Rasulullah menikahi Hafsah pada tahun 3 H, karena pertimbangan kadudukan dan kehormatan ayah Hafsah disisi Rasulullah, juga agar sama kedudukannya dengan Abu Bakar al Shiddiq dalam hal pertalian darah. Sebelumnya Umar telah menawarkan Hafsah kepada Ustman ibn Affan, beberapa saat setelah istrinya Rugayyah binti Rasulullah wafat, namun Ustman mengatakan dirinya belum berkeinginan untuk menikah lagi.Lalu Umar mengadu kepada Rasulullah, dan Rasulullah berkata bahwa Hafsah akan mendapatkan yang lebih baik dari Ustman.
4. Zainab binti Khuzaimah ra.
Beliau adalah janda Abdullah ibn Jahsy. Rasulullah menikahi nya setelah suaminya gugur sebagai syahid pada tahun 4 H.Beliau terkenal dengan kebaikan dan kelembutan hatinya terhadap fakir miskin, sehingga dijuluki “Ummul Masakin” (ibunya fakir miskin). Beliau wafat 2 bulan setelah menikah dengan Rasulullah.
5. Ummu Salmah ra.
Beliau adalah janda Abdullah ibn Abdul Asad Abu Salmah. Abdullah syahid dalam perang Uhud dan ummu Salmah menjadi Janda dengan tanggungan 4 orang anak tanpa penopang. Rasulullah menikahinya pada tahun 4 H.
6. Zainab ra.
Beliau adalah Zainab binti Jahsy ibn R’ab al-Asadiyah, Janda dari Zaid ibn Tsabit, anak angkat Rasulullah. ALLAH SWT telah melukiskan hal ini dalam Al-Quran : “Maka tatkala Zaid telah menceraikan istrinya, kami kawinkan kamu dengan dia supaya tidak asa keberatan bagi orang mukmin untuk (mengawini) istri-istri anak angkat mereka, apabila anak-anak angkat itu telah menceraikan istrinya, dan ketetapan ALLAH itu pasti terjadi. (QS. Al=Ahzab/33:37). Dari ayat diatas jelaslah bahwa pernikahan ini merupakan suatu contoh nyata kepada orang mukmin bahwa boleh menikahi istri anak angkat yang telah diceraikan.
7. Ummu Habibah ra.
Beliau adalah Ramlah binti Abu Sufyan ibn Harb ra. dan dijuluki Ummu Habibah. Seorang janda dari Ubaidillah ibn Jahsy. Bersama suaminya hijrah ke Habasyah untuk menghindari siksaan kaum Quraisy.Tetapi suaminya meninggal dunia disana, sehingga Ummu Habibah kehilangan tempat bernaung serta tidak tahu kemana harus pergi. Rasulullah SAW menikahinya untuk memuliakan kondisi dan statusnya, serta untuk menghargai sikap dan perjuangannya. ALLAH SWT juga telah mensyaratkannya melalui mimpi kepada Ummu Habibah ra. dan iamengatakan ” Ketika Ubaidillah ibn Jahsy meningga di Habasyah, aku bermimpi ada seseorang yang memanggilku dengan sebutan Ummul Mukminin, pertama aku bingung namun setelah aku takwilkan bahwa Rasulullah saw kelak akan menikahiku”. (Shifat al-Shafwah (2/43);Taqrib al-Tahdzib :747).
8. Juwairiyah ra.
Adalah putri Harist ibn Abi Dharar al-Khaza’iyyah dari bani Mustaliq. Beliau seorang janda dari Musafi’ ibn Safwan. Ayahnya seorang panglima bani Mustaliq, yang tewas oleh kaum muslimin dalam perang Murisi’. Rasulullah menikahinya pada tahun 5 H untuk menyentuh hati orang-orang bani Mustaliq. Aisyah ra. berkata “saya tidak pernah tahu ada seorang wanita yang membawa berkah besar kepada kaumnya selain dia (Juwairiyah)”. Sikap inilah yang kelak berperan besar dalam melunakkan hari Bani Mustaliq untuk masuk Islam.
9. Sofiyah ra.
Adalah putri Huyai ibn Akhtab, seorang panglima Yahudi,. Merupakan janda dari Kinanah ibn Abi al-Haqiq, yang terbunuh dalam perang Khaibar tahun 7 H, dan menjadi tawanan perang Khaibar. Nabi SAW memperlakukannya dengan baik dan memberi 2 pilihan yaitu :dibebaskan sebagai tawanan dan kembali ke kabilahnya, atau jika mau masuk ISlam ia akan dijadikan istri Beliau.Sofiyah lalu berkata “aku lebih memilih ALLAH dan Rasul-Nya”. Dalam buku Shifat al-Shofwah dikisahkan bahwa pada suatu hari Sofiyah bermimpi bahwa ada bulan yang jatuh ke kamarnya. Ketika diceritakan kepada ayahnya,. maka ayahnya sangat marah dan menampar wajah Sofiyah ra. hingga membekas sampai ia menjadi istri Nabi SAW.
10. Maimunah ra.
Yaitu putri dari Harist al-Hilaliyah, dari kabilah Bani Hilah. Rasulullah menikahinya pada akhir tahun 7 H, dalam perjalanan Beliau untuk menunaikan umroh Qadha.Menurut Qatadah dalam tafsir Ibnu Katsir bahwa yang dimaksud dalam ayat 50 Surat Al-Ahzab adalah Maimunah binti Harist (Tafsir Ibnu Katsir, 5/483). “Dan perempuan mikmin yang menyerahkan dirinya kepada Nabi kalau Nabi mau mengawininya”. (QS.Al-Ahzab.33:50).
Demikianlah ke 10 istri Nabi Muhammad SAW + Siti Khadijah. Poligami diatas didasarkan untuk menolong atau sebagai tuntunan/contoh bagi umat Islam, dan BUKAN BERDASARKAN HAWA NAFSU SEMATA. Dari 11 istri Nabi SAW tersebut, hanya Aisyah ra. yang bukan janda (saat menikah).
Wassalam.
Langganan:
Postingan (Atom)