Jumat, 22 Februari 2013

6 Rahasia Agar Menjadi Manusia Akherat




Ilustrasi dari Inet
Menjadi manusia akherat bukan berarti kita harus menjadi penghuni langit seperti malaikat. Kaki kita tetap menginjak bumi, tapi perilaku kita sesuai dengan petunjuk Dzat yang ada di langit.
Menjadi manusia akherat tentunya tak semudah membalikan telapak tangan. Tapi bukan berarti mustahil kita wujudkan dalam kehidupan. Ada peluh yang terkucur. Ada nafas yang tersengal-sengal. Dan mungkin ada darah yang tertumpah. Memerlukan nafas panjang untuk meraihnya.
Untuk menjadi manusia akherat, mari kita simak nasihat Abdullah bin Mas’ud r.a.
“Jadilah anda:
1• Sumber mata air ilmu pengetahuan.
2• Lampu hidayah.
3• Penunggu rumah.
4• Pelita di malam hari.
5• Memiliki hati yang baru.
6• Dan mengenakan baju yang lama.
Saudaraku…
Dari dasar hati salafus shalih, kita dapatkan mutiara hikmah berharga selama kita mau meraihnya.
Abdullah bin Mas’ud, secara fisik boleh memiliki perawakan yang kurus, kerempeng dan miskin. Tapi ia adalah gudang ilmu dan guru al Qur’an bagi sahabat lainnya. Ia merupakan sahabat istimewa di tengah-tengah sahabat yang luar biasa. Wajar jika Nabi saw memberikan kesaksian, “Jika kedua betis Abdullah ditimbang di yaumil mizan, niscaya ia akan lebih berat timbangannya daripada gunung Uhud.”
Jika kita ingin menjadi orang istimewa, menjadi manusia akherat seperti beliau, maka salah satu cara yang mesti kita lakukan adalah mendengar dan melaksanakan pesan-pesan serta meneladani kehidupan beliau.
1• Sumber mata air ilmu pengetahuan
Itu artinya kita harus selalu memperdalam keilmuan kita dan mempertajam intelektual kita dengan kafa’ah syar’i. Jika ilmu kita terbatas, bagaimana mungkin kita akan menjadi mata air bagi orang lain. Bisa jadi untuk keperluan hidup kita sendiri belum cukup memadai. Ada satu pepatah, “Faqidusyai’ laa yu’thi” orang yang tak memiliki sesuatu bagaimana ia dapat memberi?.” Bagaimana kita menjadi mata air ilmu, sementara kita kering ilmu.
2• Lampu hidayah
Keshalihan pribadi idealnya bukan untuk dinikmati diri sendiri, tapi harus ditularkan kepada orang-orang di sekitar kita. Agar orang lain juga dapat merasakan indahnya hidup dalam naungan hidayah. Bahkan berbagi hidayah kepada sesama merupakan parameter keimanan seseorang. Artinya semakin redup semangat berbagi hidayah kepada orang lain, pertanda keimanan kita sedang surut. Rasul membahasakan orang yang tak mampu berbagi hidayah dengan tangan dan lisan tapi hanya mampu berbuat dalam hatinya, itulah selemah-lemahnya iman.
3• Penunggu rumah
Rumah, adalah tempat tinggal kita. Tempat berteduh dari sengatan matahari. Tempat berlindung dari guyuran hujan. Tempat berbagi bagi anggota keluarga. Lelah dan penat semasa bekerja dan beraktifitas, sirna seketika saat melihat senyuman istri tercinta, dan sikap manja anak-anak sang buah hati. Rumah tempat tinggal kita tentu berbeda dengan hotel dan penginapan serta tempat kos. Di mana penghuninya bisa datang dan pergi kapan ia mau. Tapi rumah adalah tempat di mana kita menghabiskan sebagian besar waktu kita di sana. Maka jika ada orang yang tak betah berlama-lama tinggal di rumahnya, pasti ada problem keluarga yang tidak sederhana. Terlebih selaksa pahala bisa kita raih dalam keluarga kita.
4• Pelita di malam hari
Menjadi pelita di malam hari. Menjadi suluh dan obor bagi kegelapan umat. Al Qur’an adalah pelita hidup kita. Jika kita ingin kalbu kita selalu diterangi sinar cahaya Allah SWT, maka kita harus berdekatan dengan kalamullah. Dengannya hati kita akan bersinar dan menerangi hati orang-orang di sekitar kita. Pahami al Qur’an dan kita tularkan pemahaman itu kepada sesama kita. Rasulullah saw mengumpamakan orang yang jauh dari sinar al Qur’an seperti rumah yang roboh atau kuburan.
5• Memiliki hati yang baru
Berhati baru, maksudnya kita selalu memiliki semangat baru untuk mendaki puncak penghambaan diri kepada-Nya melalui jalan ibadah. Semangat ubudiyah tak pernah pudar seiring bergantinya musim. Tidak akan terpengaruh oleh hujan, angin, ataupun terik matahari. Tidak lekang terkena panas, dan tidak lapuk terkena hujan.
6• Dan mengenakan baju yang lama
Mengenakan baju lama, adalah ungkapan dari sikap zuhud, tawadhu’, bersahaja dan berpenampilan sederhana. Fakta, bahwa penampilan zahir sering menipu kita. Berpenampilan tajir; baju berkelas, kendaraan mewah, tinggal di rumah elit dan yang senada dengan itu. Ternyata hutangnya di mana-mana.
Zuhud, tawadhu’ dan sederhana bukan berarti kita berpakaian lusuh, berwajah kusut, dan berambut kucel. Kebersihan dan kerapihan adalah karakteristik yang melekat pada seorang mukmin. Bersih pakaian, baik zahir maupun bathin.
Kesederhanan dan tawadhu, disukai oleh penduduk bumi dan dicintai penghuni langit.
Saudaraku…
Sanggupkah kita menjadi manusia akherat? Tanyakanlah pada rumput yang bergoyang. Wallahu a’lam.
Sumber:Status Ustadz Abu Ja’far
(http://www.facebook.com/profile.php?id=100000992948094)

0 komentar:

Posting Komentar