Saudaraku…
Apa bedanya kita dengan hewan? Seorang guru dari Sudan pernah mengatakan bahwa manusia adalah “hayawan ‘akil wa yantiq” hewan yang berakal dan berbicara. Itu artinya perbedaan kita dengan hewan memang sangat tipis. Walaupun secara fisik dan sisi rupa kita masih di atas angin. Artinya seburuk-buruknya wajah kita jelas masih lebih kinclong dibandingkan penghuni kebun binatang di Malaz (sebuah nama Kebun Binatang) sana.
Namun ketika kita berbicara tak terarah, ngelantur tak terukur dan kita tak lagi mengfungsikan akal kita dengan baik, maka tentunya kita layak disandingkan dengan orang utan. Wajar jika ada orang menyamakan seseorang yang tak mengenal aturan sebagai “binatang.”
Tapi sebenarnya dalam kaca mata agama, masa depan hewan dan binatang ternak di akherat jauh lebih cerah daripada manusia yang berakal ini. Bagi mereka yang memiliki pendengaran, penglihatan dan hati. Tetapi hakekatnya mereka tuli, buta dan gelap hatinya. Untuk itulah orang kafir berandai-andai di neraka, “Alangkah baiknya sekiranya aku dahulu adalah tanah.” (An Naba’: 40).
Maksudnya adalah ia ingin diciptakan Allah menjadi binatang atau hewan saja di dunia. Karena setelah dilaksanakan qishash di akherat (misalnya yang pernah nyeruduk hewan lain akan diseruduk) dan setelah itu hewan-hewan itu akan dimusnahkan menjadi tanah atau debu. Demikian disebutkan oleh sebagian ahli tafsir.
Pertanyaannya adalah kapan kita serupa dengan binatang atau hewan?
Syekh Mustafa Siba’i rahimahullah pernah menjawab pertanyaan kita ini dengan sebuah jawaban:
Siapa yang mendengar al Qur’an dibaca tapi tak mendatangkan kekhusyu’an.
Siapa yang teringat dosa di masa lalunya, tapi tak membuatnya bersedih hati.
Siapa yang melewati beragam peristiwa tapi tak mau mengambil pelajaran darinya.
Siapa yang mendengar bencana alam di sekitarnya, tapi hatinya tak meradang dan menjerit pilu.
Duduk dan bertetangga dengan ulama tetapi ia tak mau belajar dan mengambil ilmu darinya.
Tinggal di lingkungan ahli hikmah tetapi tak menjadikannya bijak dalam mensikapi hidup.
Siapa yang membaca sejarah hidup orang-orang besar yang telah mengukir sejarah, tapi tak tergerak semangatnya menjadi orang besar.
Pada saat itulah ia sama dengan hewan yang makan dan minum. Meskipun ia seorang manusia yang berbicara dan bercakap-cakap.
Saudaraku subhanallah…
Nasehat yang menusuk dada kita dan bahkan sampai ke ulu hati kita. Kita sadar mengaku dengan jujur..
Al Qur’an belum membekas di kalbu kita. Jauh dari kata khusyu’. Mungkin karena hati kita terlampau gelap karena dosa dan maksiat yang terus menerus terulang.
Raja’ (rasa harap) kita kepada Allah lebih besar dari rasa khauf (takut) akan azab-Nya. Sehingga dosa dan maksiat teramat mudah untuk kita lupakan. Berbeda dengan salafus shalih, amal shalih mereka lupakan dan rasa khauf selalu mereka hadirkan.
Sakit, bangkrut, jatuh miskin, persoalan hidup tak pernah sepi menyapa kita, tapi tak membuat kita sadar bahwa kita adalah makhluk dhaif yang selalu menanti uluran tangan-Nya.
Bencana alam yang menyapa negeri kita, hanya kita kelompokan menjadi berita dalam negeri tanpa makna. Karena daerah bencana tersebut berjauhan dengan kampong halaman kita.
Bertetangga dengan seorang yang alim dan berdekatan dengan orang bijak, justru membuat kita tak nyaman dan gelisah. Khawatir kita menjadi bahan nasehatnya.
Dan bagaimana mungkin kita akan menjadi orang yang besar, kalaupun besar mungkin hanya besar kepala. Jika kita tak mengikuti jalan yang pernah dilalui oleh orang-orang besar.
Mudah-mudahan kita bisa membenahi diri. Sehingga kita tidak dipandang oleh manusia sebagai ular berbisa, harimau lapar dan buaya darat.
Wallahu a’lam bishawab.
0 komentar:
Posting Komentar