Sabtu, 12 Januari 2013

PERPADUAN RASA TAKUT (KHAUF) DAN BERHARAP (RAJA’)


Saudaraku…
Orang-orang shalih di zaman dulu (salafus shalih), merasa terusik kedamaiannya jika amal-amal shalihnya yang rahasia diketahui oleh orang lain. Tidak sedikit dari mereka yang tak sadarkan diri atau pingsan saat ibadahnya diketahui oleh orang lain.
Berbeda dengan orang-orang shalih di zaman kini. Apalagi kita yang mungkin keshalihan ki
ta masih seujung kuku. Terkadang kita malah bangga jika ukiran kebaikan dan amal-amal keta’atan kita dilihat dan diperbincangkan di hadapan orang lain.
Lebih gembira lagi jika kegiatan ruhani kita diliput oleh media atau terpampang di jejaring sosial; FB, Twitter dan yang senada dengan itu. Artinya semakin banyak orang yang mengenal keshalihan kita, maka perasaan berbunga-bunga semakin mekar berkembang.
Saudaraku..
Pada saat Abdullah bin Idris Al Udi menerima sepucuk surat dari khalifah Harun Ar Rasyid, yang berisi ketakjuban sang khalifah akan ibadah rahasia-nya, ia jatuh pingsan tak sadarkan diri. Saat sadar ia berkata, “Inna lillahi wa inna ilaihi raji’un, ia (khalifah) telah mengetahui siapa diri ini sehingga ia menulis sepucuk surat untukku. Dosa apa yang aku lakukan sehingga hal ini bisa terjadi?.”
Ketika ia berada di ambang sakaratul maut, putrinya menangis tersedu-sedu karena akan ditinggal oleh seorang ayah yang shalih, ahli ibadah. Ibnu Idris berkata kepada putrinya, “Jangan menangis duhai putriku. Sungguh aku telah mengkhatamkan al Qur’an di rumah ini sebanyak empat ribu khataman.”
(100 kisah min qashash as shalihin, Muhammad bin Hamd).
Saudaraku..
Itulah perpaduan yang sempurna antara rasa khauf dan raja’ (takut dan berharap) kepada Allah swt yang tampak dari kepribadian Abdullah bin Idris al Udi.
Dalam kehidupan yang datar dan normal, ia ingin amal-amal rahasianya hanya diketahui oleh Allah swt dan malaikat pencatat amal baik. Ia takut diketahui oleh manusia di sekelilingnya, yang bisa menodai nilai keikhlasannya. Bahkan putri kandungnya yang hidup bersamanya dalam satu atap tidak mengetahui kadar kedekatan ayahnya dengan kitabullah.
Raja’ (berharap dan berhusnuzhan dengan kucuran rahmat Allah swt), menjelang wafat itulah yang menyebabkan ia mengabarkan kepada putrinya perihal kedekatannya dengan kalamullah. Agar putri dan keluarganya dapat melepas kepergiannya dengan penuh keridha-an.
Saudaraku..
Mari kita bersikap jujur terhadap diri kita sendiri. Di usia kita yang di atas tiga puluh tahun saat ini, sudah berapa kalikah kita mengkhatamkan al Qur’an dalam hidup kita? Apakah sudah mencapai seribu kali?
Mari kita pupuk rasa khauf dan raja’ kita kepada Allah swt. Dan sering-seringlah kita bersilaturahim dan berkunjung ke tempat orang-orang shalih di zaman dulu (salafus shalih). Yaitu dengan cara membaca jejak-jejak kebaikan yang mereka tinggalkan. Karena dengan membaca lembaran-lembaran hidup mereka seolah-olah kita telah bertatap muka dan mengunjungi serta meminta nasihat kepada mereka. Wallahu a’lam bishawab.

0 komentar:

Posting Komentar