Kamis, 08 November 2012

Sepuluh Kaidah Menuju Istiqamah

Istiqamah, sebuah perkara yang sangat didambakan setiap muslim. Karena hanya dengan istiqamah di atas iman dan islam hingga akhir hayat, seorang hamba akan menuai kebahagiaan hakiki di dunia dan di akherat.
Berikut ini sepuluh kaidah menuju istiqomah, mudah-mudahan bermanfaat bagi kita semua…
Pertama
Saudaraku seiman, perlu diketahui bahwasanya istiqamah semata-mata merupakan karunia dari Allah. Dia memberi petunjuk kepada jalan yang lurus, bagi siapa saja yang dia kehendaki. Allah Ta’ala berfirman (yang artinya), “Dan Allah mengajak (manusia) ke Darussalam (surga) dan memberikan petunjuk kepada orang yang Dia kehendaki ke jalan yang lurus” (QS. Yunus: 25).
Bahkan tidak kurang dari 17 kali dalam sehari semalam, kita memohon istiqamah melalui ayat dalam Al Fatihah, “Ihdinash shirathal mustaqim”. Jika seorang hamba meyakini hal ini, maka ia akan mengikatkan hatinya kepada Allah Ta’ala, dengan senantiasa berdoa agar diberikan istiqamah dalam menaati perintah-Nya dan menjauhi larangan-Nya.
Kedua
Ketahuilah bahwasanya hakikat istiqamah yaitu berkomitmen di atas jalan Allah Ta’ala. Dia berfirman (yang artinya), “Dan bahwa (yang kami perintahkan) ini adalah jalan-Ku yang lurus, maka ikutilah dia, dan janganlah kamu mengikuti jalan-jalan yang lain, karena jalan-jalan itu mencerai-beraikan kamu dari jalan-Nya.” (QS. Al-An’am: 153)
Ketiga
Ketahuilah bahwasanya istiqamah yang paling pokok ialah istiqamahnya hati. Jika hati seorang hamba istiqamah maka anggota badan yang lain pun akan istiqamah. Diriwayatkan dari shahabat Anas radhiyallaahu ‘anhu secara marfu’, “Tidak akan istiqamah (dengan sempurna, pent) keimanan seorang hamba sampai hatinya istiqamah, dan hati seorang hamba tidak akan istiqamah sampai lisannya bisa istiqamah.” (HR. Ahmad). Terdapat ungkapan pula dalam bahasa Arab, Al mar’u bi asghoroihi, seseorang itu tergantung dengan dua anggota tubuh kecilnya, yaitu hati dan lisan.
Keempat
Ketahuilah bahwasanya istiqamah yang dituntut yaitu as saddad, yaitu berusaha semaksimal mungkin untuk menjalankan sunnah Nabi shallallaahu ‘alahi wa sallam dengan sebaik-baiknya. Apabila kita tidak mampu, maka berusahalah untuk mendekati sunnah tersebut. Sebagaimana Nabi shallallaahu ‘alaihi wa sallam bersabda, “Wa qaaribu wa saddidu” (HR. Muslim). Yaitu maknanya berusahalah semaksimal mungkin dalam menetapi suatu amalan, namun jika tidak mampu maka minimal berusahalah untuk mendekati hal tersebut (yaitu mengerjakannya dengan sedikit namun kontinyu –pen).
Kelima
Istiqamah itu berkaitan dengan perkataan, perbuatan, dan juga niat. Artinya seluruh anggota tubuh kita dituntut agar selalu istiqamah. Lantas bagaimana upaya kita untuk mencapainya? Jawabannya terdapat dalam sabda Nabi shallallaahu ‘alaihi wa sallam, “Ketahuilah, sesungguhnya di dalam tubuh manusia itu, terdapat sekerat daging yang apabila baik, maka baik pula seluruh tubuhnya, dan jika rusak, maka rusak pula seluruh tubuhnya. Ketahuilah, sekerat daging itu ialah hati.” (HR. Bukhari dan Muslim).
Diriwayatkan dari shahabat Abu Sa’id Al Khudry, Rasulullah shalallaahu ‘alaihi wa sallam bersabda, “Jika anak Adam memasuki waktu pagi, maka seluruh anggota tubuhnya berpesan kepada lisan seraya berkata, ‘Bertaqwalah kepada Allah karena kami bergantung padamu. Jika engkau lurus, kamipun ikut lurus dan jika engkau bengkok, maka kamipun ikut bengkok” (HR. Tirmidzi). Sesungguhnya seluruh amal perbuatan kita hanyalah mengikuti hati dan lisan kita, jika hati dan lisan baik, maka seluruh anggota tubuh akan baik pula. Maka perhatikanlah hal ini, saudaraku.
Keenam
Istiqamah harus dilakukan lillah, billah, wa ‘ala amrillah. Lillah yaitu dilakukan ikhlas karena Allah, semata-mata mengharap wajah Allah Ta’ala (yang artinya). “Maka istiqamahlah kalian kepada-Nya” (QS. Fushilat : 6). Allah memerintahkan kita untuk istiqamah, yang artinya bahwa istiqamah termasuk bagian dari ibadah. Ibadah tidak akan diterima melainkan dengan ikhlas. Billah, bahwasanya istiqamah hanya dapat dilakukan dengan mengharap pertolongan dari Allah Ta’ala.
Oleh karena itu sebelum kita meminta istiqamah, terlebih dahulu kita meminta pertolongan Allah, “Iyyaka na’budu wa iyyaka nasta’in” Hanya kepadaMu-lah kami beribadah dan hanya kepadaMu-lah kami memohon pertolongan. Allah Ta’ala juga berfirman, “Maka sembahlah Dia, dan bertawakkallah kepada-Nya” (QS. Hud : 123). Perintah untuk bertawakkal menunjukkan perintah untuk senantiasa memohon pertolongan kepada Allah. Terakhir, ‘ala ‘amrillah, harus sesuai dengan syariat Allah. “Maka istiqamahlah kamu, sebagaimana apa yang telah diperintahkan kepadamu” (QS. Hud : 112).
Ketujuh
Seseorang yang telah mampu mencapai derajat istiqamah, tidak boleh merasa hebat dengan amalannya, tertipu dengan amalannya, dan ujub (bangga). Namun hendaknya ia senantiasa bersandar kepada Allah, bersungguh-sungguh, dan berharap kepada Allah agar amalan-amalannya diterima. “Dan orang-orang yang memberikan apa yang telah mereka berikan, dengan hati yang takut, (karena mereka tahu bahwa) sesungguhnya mereka akan kembali kepada Rabb mereka.” (QS. Al-Mu’minun : 60). Dalam ayat ini Allah katakan bahwa setelah orang-orang mukmin tersebut beramal shalih, justru hati mereka merasa takut, yaitu takut jika amalan mereka tidak diterima oleh Allah Ta’ala.
Kedelapan
Barangsiapa yang Allah beri petunjuk untuk istiqamah selama di dunia, maka Allah akan memberinya istiqamah pula ketika melewati ash shirath, yaitu jembatan yang dibentangkan di atas permukaan api neraka. Sesuai dengan kadar istiqamahnya selama di dunia, seperti itulah kadar istiqamahnya ketika melewati jembatan tersebut. Maka kemampuan setiap orang berbeda-beda tatkala melewati ash shirath, ada yang melesat seperti petir, ada yang seperti angin, kuda, unta, dalam keadaan berlari, berjalan, bahkan ada yang terlempar ke dalam api neraka.
Oleh karena itu saudaraku, ingatlah bahwa hasil jerih payah kita selama di dunia untuk istiqamah akan terganjar di akhirat kelak. Semakin kita mampu untuk istiqamah selama di dunia, semakin kita mampu untuk istiqamah dalam melewati ash shirath kelak.
Kesembilan
Bahwasanya hal-hal yang dapat menghalangi seseorang dari istiqamah ada dua, yaitu syubhat dan syahwat. Syubhat berkaitan dengan aqidah dan pemikiran yang menyimpang, dan syahwat berkaitan dengan hawa nafsu. Ibnu Mas’ud radhiyallahu ‘anhu meriwayatkan “Rasulullah membuat garis dengan tangannya lalu bersabda, ‘Ini adalah jalan Allah yang lurus.’ Lalu beliau membuat garis-garis di kanan kirinya, kemudian bersabda, ‘Ini adalah jalan-jalan yang sesat tak satu pun dari jalan-jalan ini kecuali di dalamnya terdapat syaithan yang menyeru kepadanya.” (HR. Ahmad dan Nasa’i, shahih). Garis-garis di kanan kiri itulah syubhat dan syahwat yang selalu menghalangi seseorang dari istiqamah. Oleh karena itulah kita harus waspada terhadap kedua hal ini. Semoga Allah senantiasa memberi kita kemampuan untuk menjauhi penyakit syubhat dan syahwat.
Kesepuluh
Diantara bentuk keluar dari istiqamah ialah tasyabbuh (meniru-niru) kaum Yahudi dan Nasrani. Dari Abdullah bin Umar radhiyallahu ‘anhuma dia berkata, ”Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam bersabda, ‘Barangsiapa yang menyerupai suatu kaum, maka dia termasuk darinya”. (HR. Abu Daud, shahih). Rasulullah shallallaahu ‘alaihi wa sallam juga bersabda, “Niscaya kamu akan mengikuti tradisi orang-orang sebelum kamu sejengkal demi sejengkal, sehasta demi sehasta, sampai sekiranya mereka masuk kedalam lubang Dhob (sejenis biawak) tentu kamu akan mengikuti mereka” (HR. Bukhari dan Muslim).
Hal ini menunjukkan betapa “bersemangatnya” kaum muslimin dalam mengikuti tradisi kaum Yahudi dan Nasrani. Oleh karena itu ketika kita membaca surat Al Fatihah, “Tunjukilah Kami jalan yang lurus, (yaitu) jalan orang-orang yang telah Engkau beri nikmat kepada mereka; bukan (jalan) mereka yang dimurkai dan bukan (pula jalan) mereka yang sesat.” (QS. Al Fatihah : 6-7), ketahuilah bahwasanya orang-orang yang dimurkai ialah kaum Yahudi, dan orang-orang yang sesat ialah kaum Nasrani.
Kaum Yahudi dimurkai karena mereka memiliki kitab, memiliki ilmu, namun tidak diamalkan. Sedangkan kaum Nasrani dimurkai karena mereka ahli ibadah, namun tanpa diiringi dengan ilmu hingga terjerumus dalam berbagai bentuk tata cara ibadah yang tidak disyariatkan oleh Allah Ta’ala (lihat Tafsir Ibnu Katsir). Oleh karena itu diantara bentuk menghindari tasyabbuh dengan kedua golongan tersebut, ialah berilmu dan mengamalkan ilmu tersebut.

0 komentar:

Posting Komentar