Jumat, 02 Maret 2012

Malam Ini, Aku tak Ingin Bermimpi

“Sekali ini saja, aku mohon. Setelah itu aku berjanji tidak akan mengganggumu lagi!” suaranya halus, lembut, dan bernada memohon. Khas orang yang sedang butuh pertolongan.
“Mengapa harus aku? Well, kulihat banyak artis artis muda berbakat yang cocok untuk itu.”
Di ujung telepon, kudengar Danny menghela nafas.
“Tidak pernah ada yang spektakuler sepertimu. Bahkan, belum ada yang menyaingi reputasimu, prestasimu. Mereka dibesarkan karena gossip, skandal…”
“Aku sudah bertekad mengundurkan diri dari panggung hiburan. Dan sekarang aku bahagia dengan keluargaku…” tandasku.
“Please, Ping, aku butuh tangan dinginmu untuk menyeleksi para peserta. Acara ini sangat penting, pemenangnya akan mengikuti acara yang sama di tingkat Asia.”
“Kau tahu, Dan, aku sama sekali tak tertarik lagi muncul di televisi,” kataku sambil menelan ludah. Jujurkah aku pada diriku sendiri?
“Bahkan kalau boleh kukatakan, aku menyesal pernah menjadi seorang artis. Mereka, wartawan wartawan itu tak punya perasaan. Menguliti kehidupan pribadiku, sampai ke tulang sumsum…”
Danny tertawa
“Aku jamin, tidak akan ada lagi wartawan yang membuntutimu. Aku akan memberikan penjagaan ekstra ketat untukmu. Kau hanya perlu tampil dua jam setiap minggunya. Dari audisi sampai kita mendapat seorang jawara. Enam bulan, aku janji.”
“Well… kupertimbangkan.”
“Please, berjanjilah, Ping. You’re my only hope. Sebagai tambahan, pihak sponsor menyediakan honor yang memuaskan!”
Aku tertawa sumbang. Honor? Hem…sebandingkah dengan risiko yang mungkin kuterima? Aku mulai gamang. Saat ini aku butuh banyak uang untuk mengobati Dinda, putri semata wayangku yang mengidap kelainan jantung bawaan. Lagipula yang meminta adalah Danny, dia teman ’seperjuanganku’. Kami sama sama merangkak dari bawah hingga menjadi artis terkenal. Di pertengahan karier, dia putar haluan menjadi produser, sekaligus merintis manajemen artis plus mendirikan sebuah event organizer, seperti impiannya. Sementara aku menikmati kepopuleranku sebagai artis multitalenta.
Film yang memasangku sebagai pemain utama selalu meraup jutaan penonton. Lagu-laguku tembus hingga ke negara tetangga. Produk dari iklan yang kubintangi selalu mencapai penjualan yang luar biasa. Tak terhitung acara yang memajang ku sebagai presenter. Semua itu berakhir hanya dengan satu kata. Sukses.
Sampai prahara itu datang.
“Pingkan, are you still there?”
Aku tergeragap. Tak menyadari Danny yang masih menunggu jawabanku. Dia sahabat paling setia. Sampai saat ini belum beristri, tapi tahu benar bagaimana menjaga perasaanku sebagai wanita. Bahkan dia juga yang membantu pelarianku dulu.
“Oke. Tapi aku punya syarat untukmu.”
“Apa pun.”
“Jangan pernah memintaku untuk menanggalkan jilbab, mengomentari penampilanku, apapun yang kupakai!”
“Deal!”
Pingkan Anjanni, siapa yang tak kenal nama itu. Di awal tahun 2000, aku adalah artis paling bersinar yang dimiliki bangsa ini. Puluhan film layar lebar, ratusan judul lagu hits, sejumlah iklan dan acara acara penting akan bertambah gengsinya dengan kehadiranku. Semua orang mengelu-elukanku. Bahkan aku punya klub penggemar yang setia mengikuti perkembangan beritaku. Bukan hanya remaja, tapi juga anak anak dan orang tua. Mereka menjadikan aku trend center. Semua yang kulakukan akan diikuti. Gaya berpakaianku, caraku ber-make up, bahkan caraku berbicara. Apalagi aku termasuk artis yang bersih dari gossip. Tentu saja, aku mati matian menjaga imej. Aku tak ingin karir yang susah payah kubangun kandas hanya karena kebodohanku. Apalagi kakek yang semula tak setuju dengan pilihan karirku, mulai mendukung. Aku tak boleh mengecewakannya.
Tapi, bagaimanapun aku tetap manusia biasa. Aku menjalani fase-fase kehidupan sebagaimana manusia biasa pula. Jatuh cinta, menjalani masa pacaran, dan menikah. pesta pernikahan mewah yang menelan dana ratusan juta itu menyedot jutaan mata pemirsa televisi. Banyak yang memprediksi bahwa karirku akan redup seiring dengan kesibukanku menjalani rumah tangga. Apalagi Ryan, lelaki yang kunikahi memang berbeda profesi denganku. Aku tak peduli. Toh, meskipun itu terjadi, aku sudah cukup bahagia dengan pilihan hidupku. Dan Ryan adalah lelaki yang sangat kucintai.
Namun, hari bahagia itu adalah awal malapetaka buatku. Apakah harus ku sebut ia malapetaka? Atau justru klimaks perjalanan hidupku?
Entah dari mana sumbernya, gossip itu mulai ramai menghiasi acara infotaintment. Pingkan Anjanni, seorang artis ternama ternyata adalah seorang anak haram, hasil hubungan gelap seorang wanita bernama Ninda dengan seorang petinggi negeri. Dan yang lebih tragis, Ryan, suamiku disebut -ebut sebagai saudara sedarahku dari istri sah pejabat tersebut.
Aku terkulai lemas. Jujur aku tak tahu persis asal usulku. Mamaku, Ninda Anjanni meninggal dunia saat melahirkanku. Dan aku tak pernah tahu siapa papaku. Aku besar di bawah asuhan kakek dan nenek yang sangat mencintaiku. Dan mereka begitu pandai mengunci mulut. Aku tak mampu memaksa. Maka, saat tampil dalam jumpa pers, klarifikasiku tampak gamang. Kalimatku tak meyakinkan. Sikapku mencurigakan. Bahkan Ryan yang mendampingiku mulai gamang. Ada banyak fakta yang merujuk pada kebenaran gossip itu. Tinggal satu hal. Pernyataan dari Adrian Wiraguna, ayah Ryan, ayah mertuaku, yang disebut sebut sebagai ayah kandungku.
Gossip itu semakin liar. Semua menuntut kebenaran. Aku menjadi begitu phobia pada wartawan. Persis Lady Di dibelahan bumi sana dahulu. Aku tak punya privacy lagi. Bahkan aku merasa selalu ada mata yang mengawasi setiap gerak gerikku. Tak ada jalan lain, aku harus membuktikan bahwa semua itu hanya gossip murahan. Kerjaan iseng waratawan yag tak punya bahan berita. Dan aku hanyalah korban. Terlebih sejak gossip itu beredar, suamiku tak berani lagi menyentuhku. Ia memiliki kekhawatiran yang sama. Harapan yang sama.
Tes DNA adalah jalan keluar. Dengan hati hati ku utarakan niatku pada Ryan. Ia setuju dan meminta kesediaan papanya. Namun diluar dugaan, aib itu terkuak.
Ternyata wartawan memang dibekali dengan indera keenam. Atau paling tidak hidung anjing pelacak, sehingga mampu mengendus kebusukan yang tersimpan puluhan tahun, bahkan dalam radius puluhan kilometer!
Aku limbung. Kebenaran itu begitu menyakitkan. Aib itu begitu memalukan. Dan para tukang gossip diluar sana semakin beringas. Akupun melarikan diri ke desa terpencil di kaki gunung nun jauh dari ibu kota, jauh dari hiruk pikuk dunia. Terpaksa bercerai dari Ryan, kutolak kehadiran papa yang mencoba memohon maaf dariku. Tidakkah dia mengerti? Dosa yang tanpa sengaja kulakukan. Menikah dengan kakak kandungku sendiri!
Pingkan Anjanni menghilang. Mengundurkan diri dari panggung hiburan yang membesarkanku, tapi juga menyakitiku. Sayang, aku tak mampu menolak janin yang telah terlanjur hadir dirahimku. Dibawah bimbingan seorang ustadz, aku menjalani pertaubatan. Merasakan kesejukan islam yang menyentuhku perlahan lahan. Meski agamaku Islam sejak lahir, ibadahku hanyalah ritual tak bermakna. Hatiku tak peka akan kenikmatan-Nya. Aku ingin meraihnya. Dan yang terpenting, aku harus melindungi buah hatiku dari dunia keartisan yang kejam.
Tapi kini… Tawaran itu menggodaku. Dinda, putriku yang membuatku bertahan hingga kini tak pernah lama menikmati keceriaannya. Kelainan jantung bawaan membuatnya tak bisa sempurna ceria. Cacat itu mungkin karena darahnya mengandung gen yang sama. Rekeningku tak boleh kosong karena Dinda butuh perawatan. Sementara warisan dari kakek kian menipis. Lagipula, darah seni yang mengalir deras ditubuhku selalu membuatku rindu berakting. Atau paling tidak muncul di televise. Sekedar say hello. Tapi apakah orang orang di luar sana telah melupakan kisahku? Bahkan meski telah sepuluh tahun lewat!
***
“Welcome home, Pingkan Anjanni. Dunia ini selalu akan menjadi surgamu ”
Danny menyambutku. Sekilas dia hendak memelukku, tapi urung menyadari penampilanku yang tertutup baju kurung rapat. Aku tersenyum. Ini ruangan pribadinya. Beberapa asistennya tampak hilir mudik. Sesekali melirikku. Acara belum dimulai, tapi ratusan, mungkin ribuan peserta audisi sudah memadati stadion. Artis rupanya sudah menjadi cita-cita sebagian besar remaja negeri ini. Tak peduli berbakat atau tidak.
“Aku janji, Dan, ini yang terakhir.”
Danny tersenyum, “Boleh kutahu kenapa akhirnya kau menyerah?”
“Aku berhak untuk tidak memberimu alasan.”
“Kau masih seperti yang dulu Ping.” Dia meneliti penampilanku. “Kau cantik dengan jilbab lebar itu. Tapi kalau boleh kuminta, gantilah jilbabmu dengan yang lebih modis!”
“Well, kita sudah sepakat. Kau tidak akan mengusik penampilanku. Kau hanya butuh naluriku untuk mencari calon superstar,” suaraku meninggi.
“Oke… oke… selalu ada pengecualian. Terutama untuk seorang Pingkan Anjanni. Semua orang merindukanmu. Acara ini live di Star TV. Aku sudah menyiapkan kru untuk mengantisipasi apapun. Tak usah khawatir. Lagipula telah sepuluh tahun lewat? Aku yakin orang orang telah melupakan kisahmu ”
Aku tersenyum kecil. Tapi senyumku hilang saat memulai audisi. Remaja-remaja ini! Mereka hanya tahu kalau artis adalah profesi yang luar biasa. Terkenal, banyak uang. Tak memikirkan risiko. Bahkan sama sekali tak menyadari kalau kebanyakan dari mereka tak berbakat. Hanya berbekal semangat, nekad, bahkan beberapa pingsan ketika antrean mulai tak teratur. Miris. Yang lebih parah, saat audisi, mereka memakai pakaian mini, seksi, mengumbar aurat. Mereka pikir dengan memamerkan tubuh, akan memuluskan jalan mereka? Huh! Bayangkan! Dari 2.500 nomor peserta, hanya 20 yang kunyatakan lolos ke tahap seleksi berikutnya. Dan rekan-rekan juri yang lain berpendapat sama.
Ruangan audisi sudah sepi. Ingar bingar musik, tawa yang lolos dan tangis yang gagal sudah menguap. Lelah. Aku teringat Dinda, putri cantikku. Sesungguhnya dia memiliki bakat yang besar untuk menjadi seorang bintang. Darah seni yang kuwarisi mengalir pekat di tubuhnya. Tapi aku mati-matian menghindarinya berkenalan dengan dunia itu. Cukup aku yang menjadi korban.
“Mama, semalam Dinda bermimpi buruk. Mama hati-hati ya.”
Gadis kecil itu memelukku erat. Ditemani Andin, adikku, ia mengantarku ke bandara tadi pagi. Jakarta adalah kota pertama yang akan mengadakan audisi. Dan setelah sepuluh tahun, untuk pertama kalinya, aku akan menginjakkan kaki dikota itu lagi.
Aku tertawa kecil.
“Insya Allah, Sayang. Nanti mau Mama bawain apa?”
Dinda menggeleng.
“Dinda nggak mau apa-apa. Dinda cuma ingin nanti malam nggak bermimpi. Dinda nggak mau mimpi buruk lagi.”
Aku mengernyitkan kening.
“Insya Allah, kalau Dinda minta sama Allah, pasti dikasih. Kenapa Dinda nggak minta diberi mimpi yang indah?”
Dinda menatapku. Matanya!! Tuhan, bagai ada mutiara yang tenggelam di sana.
“Malam ini, Dinda nggak ingin bermimpi. Kalau Mama sudah pulang baru Dinda mau bermimpi lagi …”
“Ping, pasukan khususmu sudah siap…”
Aku tergeragap. Bayangan Dinda sepenuhnya hilang. Danny tersenyum menyaksikan kekagetanku.
“Luar biasa, nalurimu tak pernah padam. Hasil audisi tadi sangat memuaskan. Honor minggu ini langsung ditransfer ke rekeningmu. Kita ketemu lagi minggu depan di Banjarmasin. Tiketmu akan kukirim.”
Aku mengangguk. Tanpa bicara, diikuti setengah lusin anak buahnya, aku keluar studio melalui ‘pintu rahasia’. Pintu rahasia itu berada di lantai dua. Di luarnya, ada tangga penghubung yang menuju jalan setapak, langsung ke jalan raya dan tertutup rimbun daun kembang sepatu. Danny selalu menggunakannya untuk menyembunyikan para artis dari kejaran fans dan wartawan.
Tapi, ya Allah, di bawah tangga, ratusan orang telah menyemut! Belum lagi wartawan yang pasti menunggu kabar dariku. Hari ini, Pingkan Anjanni yang telah lama menghilang muncul di televisi. Tentu saja itu akan menjadi berita besar. Mereka akan memakai segala cara untuk mendapat gambar dan secuil berita dariku. Tuhan, kenapa aku tidak memperhitungkan hal ini?
Kutatap Danny. Dia tampak panik. Orang orang yang disebutnya sebagai ‘pasukan khususku’ pun tampaknya tak dapat diharapkan. Tak ada cara lain. Aku harus mencari sendiri jalan untuk keluar dari situasi ini. Aku tak akan membuka mulut untuk mereka, wartawan wartawan itu. Aku tak akan mebiarkan kehidupan pribadiku di usik lagi.
Ada harus nekad, menuruni tangga tangga keramik, lalu secepatnya melarikan diri, berkelit diantara pohon pohon kembang sepatu. Sulit dan sedikit curam memang, tapi melangkah, meskipun dengan risiko adalah lebih baik daripada diam menunggu.
“Mbak…mbak… mbak Pingkan, bagaimana anak Anda? Anda punya anak kan dari perkawinan dengan Ryan dulu? Anak sekaligus keponakan?”
Aku tersentak. Tuhan, tolong aku, biarkan aku pergi!
“Mbak …anak Anda sudah besar. Sepuluh tahun mungkin. Apakah dia tahu siapa bapaknya?”
Tuhan, tidak bisakah mereka membiarkanku hidup tenang? Aku menggeleng tanpa sadar. Mataku berkunang-kunang menyambut kilatan blitz yang menyilaukan. Dalam kepanikan aku tak memperhatikan langkahku, tak sadar aku menginjak pinggiran tangga keramik itu, membuatku terpeleset. Padahal masih ada 8 anak tangga lagi yang harus kulalui. Wajah Dinda membayang. Tubuhku terasa ringan saat bergulingan di tangga keramik itu. Lalu jatuh berdebam dij alan yang ditutupi paving blok. Kepalaku menghantam ujung runcing tangga keramik yang keras. Ada yang basah di sana. Perih. Sebelum kesadaranku tercabut sempurna, kudengar lagi suara Dinda.
“Mama, malam ini, aku tak ingin bermimpi.”

0 komentar:

Posting Komentar