Jumat, 02 Maret 2012

Jenggot

Lumpur di lorong-lorong Pasar Cempaka sudah mengering sejak beberapa jam lalu. Siang ini aktifitasnya sudah tidak seramai pagi tadi. Namun bau amis, busuk, kecut, harum, dan segala macam bau masih dapat dicium dengan jelas. Lalat-lalat pun masih mencari nafkahnya di antara sumber bau.
Beberapa meter dari situ, terdapat seorang pemuda yang tengah sibuk memperhatikan sekitarnya. Penampilannya persis mata-mata. Kaca mata hitam, topi hitam, dan jaket hitam. Hampir semuanya hitam, kecuali gigi, kulit, dan celana abu-abu yang belum sempat ia tanggalkan sepulang sekolah. Ia tidak ingin keberadaannya di pasar itu diketahui oleh orang lain, apalagi teman-teman sekolahnya. Langkahnya tampak terburu menuju kios bumbu-bumbu masak.
“Bu, beli kemiri seperempat kilo!” ujar pemuda itu seraya memberi uang lima ribuan kepada si penjual. Proses transaksi tak berlangsung lama, langkahnya kembali terburu meninggalkan kios.
***
“Assalamualaikum!” teriak Budi yang disusul dengan hentakan pintu yang dibanting.
“Waalaikumussalam. Bud, makan dulu,” ujar ibunya. Namun tak dihiraukannya. Dengan cepat Budi sudah berada di lantai dua, menuju kamarnya berada.
“Inilah saatnya melakukan ritual itu!” Budi tampak bersemangat. Segala atribut dan perlengkapan “ritual” pun telah siap.
“Hm… tunggu dulu…” Budi ingat sesuatu.
Ckleck!
Kamarnya ia kunci, khawatir kalau ibunya tiba-tiba masuk kamar sewaktu-waktu.
Kemiri dibakar. Tunggu sebentar. Diperes minyaknya. Terus minyaknya dioleskan di tempat yang diinginkan.
Budi mengikuti semua catatan intruksi dari Ujang, teman baiknya yang telah berhasil menumbuhkan jenggot dengan eksperimen minyak kemiri.
Sebelum mengoleskan minyak ke janggutnya, terlebih dahulu otaknya berkhayal tentang wajahnya yang ditumbuhi jenggot. Otaknya memilih-milih model jenggot yang sekiranya pas dengan mukanya yang lonjong. Rhoma Irama, Onci Ungu, Surya Saputra, dan sejumlah artis berjenggot pun menjadi referensi.
Dengan tangan gemetar, entah karena tidak sabar atau grogi, perlahan ia mulai mengoleskan minyak kemiri ke janggutnya yang plontos polos. Tak lupa lafadz doa terucap khidmat dari mulutnya, berharap jenggot segera tumbuh.
***
Sudah lama sekali Budi ingin memiliki jenggot. Tapi sampai sekarang belum juga janggutnya yang mulus itu ditumbuhi jenggot.
Sebenarnya ia bukan orang yang kekurangan hormon penumbuh bulu. Terbukti dari lebatnya bulu kaki, kumis, dan segala tempat yang ada bulunya. Namun entah kenapa hanya jenggot yang belum ia punya. Terkadang ia sempat kesal ketika temannya ada yang mempertanyakan perihal jenggotnya.
“Bud, jenggot lu ke mana?”
“Hm…setiap hari gw cukur terus, habis gw gak suka jenggot sih,” jawab Budi seadanya. Meski berbohong, dalam hatinya ia ingiiin sekali punya jenggot. Ia kesal karena hanya dia yang belum punya jenggot di antara teman-temannya. Padahal kini ia sudah kelas 3 SMA!
Banyak alasan kenapa Budi ingin sekali punya jenggot. Di antaranya adalah melengkapi kejantanannya yang kurang, menutupi bekas lukanya yang ada di dagu, dan buat jadi pelengkap kebiasaannya mengelus dagu saat berpikir. Gak keren rasanya kalau ngelus dagu tapi gak ada jenggotnya. Namun di balik itu semua, alasan yang paling kuat adalah karena ia sempat ditolak sama adik kelas yang sudah lama ia incar, Lola namanya. Ia ditolak dengan alasan si doi gak suka kumis. Katanya kumis sudah gak jaman. Si doi lebih suka cowok yang punya jenggot. Lebih keren katanya.
“Jangan pernah datangi aku jika kau tidak punya jenggot!” ujar Lola seperti dialog sinetron di akhir proses penolakan.
Selama ini Budi percaya bahwa kumis adalah sumber kejantanan. Karena Bapaknya menaklukan Ibunya lewat model kumis yang sedang populer saat itu. Dengan kata lain, tanpa kumis mungkin Budi tidak akan pernah ada di dunia ini. Namun Budi segera sadar, kejayaan kumis telah hancur seiring hancur hatinya karena ditolak Lola. Lola suka jenggot. Titik. Gak pake kumis.
Satu minggu… dua minggu… dan akhirnya jadilah 3 bulan. Budi mengahampiri Ujang dengan geram. Ia protes. Pasalnya ia sudah mengoleskan minyak kemiri 3 kali sehari setiap sehabis makan, tapi jenggot belum juga hadir di jangutnya hingga sekarang.
“Jang, lu bohong nih! Mana khasiyat kemiri yang lu janjikan? Buktinya sampe sekarang gw belum juga ada jenggot!” protes budi setengah berbisik kepada Ujang di kantin sekolah. Ia tak ingin teman-temannya yang lain tahu kalau ia sedang berusaha menumbuhkan jenggot.
“Sabar donk Bud. Sruuup… Baru juga 3 bulan. Nyamm nyamm… Gw aja dulu ampe setahun! Glekh…” jawab Ujang sambil mengunyah mie goreng pesanannya.
“Gak bisa, Jang. Mana bisa gw nunggu setahun. Nanti keburu kita lulus. Kalau kita lulus kesempatan gw buat ketemu Lola kan jadi susah.”
“Ya kan belum tentu lu lulus, Bud.”
Satu jitakan mendarat di kepala Ujang.
“Serius donk Jang!”
“Hehe… iya iya. Duh, gitu aja marah,” kata Ujang sambil tangan kirinya ngusap-ngusap kepala yang habis dijitak Budi. Tangan kanannya tampak siap memasukkan mie goreng ke dalam mulutnya lagi.
“Lu punya solusi lain gak?” tanya Budi.
Ujang hanya menggeleng. Mulutnya penuh dengan mie goreng. Tak lama kerongkongannya bergerak. Glegh!
“Emang kenapa sih lu demen amat sama Lola? Ampe lu bela-bela numbuhin jenggot gitu.”
“Wah, cinta gw buat Lola gak bisa diungkapkan dengan kata-kata, Jang! Itu cewek imut banget! Senyumnya bagai sabit bulan di tengah malam. Alisnya bak semut beriring. Rambutnya halus sehalus bulu domba…”
“Matanya kaya bola pingpong gak?”
“Hem, hampir.”
“Hidungnya?”
“Licin dan mancung kaya perosotan taman.”
“Kupingnya?”
“Bodo ah!”
Makin hari Budi jadi lebih rajin. Rajin ke warnet, ke perpus, dan berdoa. Tapi bukan rajin belajar biar pinter, melainkan rajin cari tahu bagimana menumbuhkan jenggot. Tak lupa, ritual minyak kemiri tak ia tinggalkan.
Cintanya buat si Lola rupanya sudah sampai ke ubun-ubun. Setiap ada cewek yang dia lihat, selalu menjadi Lola. Guru yang mengajar di kelas adalah Lola. Penjual gado-gado di kantin adalah Lola. Sampai-sampai Kepala sekolahnya adalah Lola. Lola… oh Lola… tapi khayalannya selalu terputus saat ia melihat lelaki berjenggot.
Oh iya, jenggot!
Ia kembali berfikir keras untuk menumbuhkan jenggot. Percuma dia mendekati si Lola kalau dia belum punya jenggot.
Berbagai cara ia lakukan. Mulai dari makan makanan yang dipercaya dapat menumbuhkan jenggot, sampai melaksanakan pantangan-pantangan yang menyebabkan jenggot rontok.
Alhasil, usaha kerasnya kini berbuah manis, jenggot Budi tumbuh! Namun baru sebatas bulu halus. Berselang 2 meter, bulu halus itu sudah tak jelas terlihat. Ah, Mana bisa dapetin cintanya Lola kalau begini?
“Jangan pernah datangi aku jika kau tidak punya jenggot!”
Kata-kata Lola kembali terngiang.
***
Hari ini, seperti biasa, setiap seminggu sekali Budi pergi ke Pasar Cempaka untuk membeli kemiri. tapi kebiasaannya itu terpaksa tertunda beberapa jam karena ia ketiduran. Tapi tetap, pasar yang berjarak lebih dari 2 kilometer dari rumahnya itu ia datangi dengan berjalan kaki. Namun setelah dekat dengan lokasi, langkahnya terhenti. Matanya terkesiap dan meniti orang-orang yang panik dan berlari. Sementara beberapa meter, si jago merah tampak menari sendiri. Pujian angin buat api makin percaya diri. Tapi lain halnya dengan si Budi. Ia jadi panik. Jantungnya bertentum bagai bola basket yang terpantul. Sedang tubuhnya diam mematung. Sesekali matanya ia sapukan, seolah tak percaya dengan apa yang terjadi.
Entah bisikan dari mana, langkahnya mulai hidup kembali. Budi ikut berlari. Tapi tidak sembunyi. Ia ikut membantu mengambil air dengan mencontoh orang-orang yang dari tadi sudah mencari.
Setelah tiga jam, tarian api baru bisa berhenti. Meninggalkan gores luka yang kian meninggi. Tak ada yang tersisa. Termasuk kios kemiri.
Semua orang lelah. Termasuk Budi. Matanya masih menatap sisa-sisa bangunan yang habis dimakan api. Ada satu hal yang ia sadari, bahwa ia bisa saja mati jika saja ia tidak terlambat tadi. Ia kini paham,  kematian bisa hadir kapan saja.
Jantungnya Budi masih berdegub kencang, air matanya mengalir. Hari itu, untuk pertama kalinya, ia melupakan Lola lebih dari tiga jam. Budi tak sadar itu.
***
Waktu bergulir dengan pasti. Tak ada yang tahu kemana arah skenario kehidupan yang ditulis Tuhan. Sepeninggal kejadian di pasar itu, Budi berubah. Ia tidak seperti biasanya. Ia sekarang rajin sholat, setidaknya untuk beberapa minggu ini. Namun itu semua memberikan dampak yang signifikan pada wajahnya. Selain mukanya lebih segar, kini ia punya jenggot! Jenggot dalam arti yang sesungguhnya. Tidak sekedar bulu halus, tapi jenggot tulen! Entah apa karena air wudhu yang sering mengalir di wajahnya atau memang karena minyak kemiri sudah memberikan efeknya. Yang pasti, meski hanya 3 helai, ia bangga telah memilikinya.
Tapi bagai kacang lupa ingatan, memang dasar si Budi, sudah punya jenggot bukannya Tuhan yang diingat, tapi malah sosok Lola yang dilihat. Matanya kembali berapi-api. Jantungnya beradu ramai. Jenggotnya bergoyang-goyang, tanda tekadnya sudah bulat. Ia akan menembak Lola lagi! Kali ini dengan jenggot 3 helai sebagai saksinya.
Lola, akan kupinang engkau dengan jenggotku!

0 komentar:

Posting Komentar