Jumat, 02 Maret 2012

Hilangnya Akibat Khilafku

“Allahu Akbar… Allahu Akbar!”
Alunan azan membahana dari masjid seantero kota Surabaya. Udara pagi terasa menelusuk tulang hingga mendorong tanganku menarik selimut dan menyempurnakan posisiku, menutupi seluruh bagian tubuhku.
“Allahu Akbar… Allhu Akbar!”
Seruan itu kembali mengoyak telingaku. Akhh… mataku terasa berat sekali. Kurasakan lelah yang mendera di sekujur tubuh. Kututup kedua telingaku dengan bantal. Aku tak hendak mendengarkan seruan itu.
“Asyhadu anlaa ilaaha illalloh…!” Aku tak sanggup lagi. Mataku telah tergembok rapat. Semalaman aku berkencan dengan seabrek tugas kantor yang harus kuselesaikan hari kemarin. Keadaan seperti ini sering terjadi saat aku sedang kelelahan tak bisa mengahantarkan tubuhku ke kedinginan air yang menyergapku. Aku kalah pada keadaan. Sebenarnya tidak juga begitu. Aku terserang penyakit malas. Karena kesibukanku yang makin menggila. Aku rasa, aku butuh istirahat yang cukup.
***
Kriiingg… kring…! suara jam weaker mengejutkanku hingga aku terbangun dari tidur yang tak begitu nyaman. Pukul tujuh. Artinya, aku harus segera bersiap-siap pergi ke kantor. Aku harus lekas menemui relasi dan klien-klienku, tak boleh terlambat. Tak lama kemudian, hand phoneku berdering.
“Hallo… dengan Rio, ada apa menghubungi saya pagi-pagi begini?”
“…………”
“ Baik saya segera ke kantor!”
Dalam sekejap BMW-ku melaju melewati jalanan kota yang mulai dilanda macet dan berbaur dengan aroma CO2. Udara yang seharusnya masih segar dan sehat sepagi ini, telah dilalap kentalnya kadar karbondioksida yang membanjiri Surabaya. Namun aku sudah bersahabat dengan segala keadaan ini, karena mencari uang adalah hidupku. Kesibukan duniawi yang membawaku kepada kenyamanan lahir, telah membuatku puas.
Dulu, waktu Ibu masih hidup, aku selalu dibanjiri oleh nasihatnya agar aku tak meninggalkan shalat. Tapi nikmatnya dunia kini membuatku berpikir, untuk apa aku shalat? Toh rezeki itu aku yang kejar sendiri. Ia tak akan datang ketika aku hanya berdiam diri dan shalat di rumah. Kalau aku begitu, jadilah aku orang yang miskin, yang hanya mengharap belas kasihan orang lain untuk dapat makan barang sehari. Tak mungkin uang akan turun dari langit seperti hujan. Mustahil. Dan jadi orang miskin itu hanya merusak martabat manusia. Membuat aib saja.
“Assalamualaikum! Selamat pagi, Bos!” sapa seorang karyawan.
“Pagi..” aku menjawab tanpa menoleh. Aku menerobos ruang dan waktu, berjalan angkuh layaknya seorang bos. Itulah hari-hariku. Ya, seperti yang aku ceritakan sebelumnya. Aku puas dengan semua kecukupan yang aku miliki sekarang. Limpahan harta. Kesenangan dunia membuatku perlahan melupakan bahkan tak merasa ada orang yang telah melahirkanku dulu. Bagiku, itu memang sudah takdir. Dan sekarang aku bisa mengubah takdir dengan tanganku. Haahh… aku senang dengan hidupku.
***
Ruang kantorku sengaja dirancang kedap suara, karena aku menginginkan kenyamanan ketika berada di dalamnya. Aku tak mau terganggu oleh deru mesin kendaraan yang berlalu hilir mudik di sekitar kantorku. Memang, letak kantorku sangat strategis. Dan aku tak sadar, bangunan seperti itu juga telah melalaikanku dari mendengarkan suara azan. Tiba-tiba ada perasaan tak nyaman hinggap di bagian tubuhku yang paling dalam. Menyeringai, menelusuk relung hatiku. Aku merasakan ketaknyamanan tak bertepi. “Jangan lupa sholat Nak!…” sekelebat bayangan wanita 50 tahun-an lewat di ruang otakku. Namun segera kuenyahkan perasaan dan bayangan itu.
“Tok..tok..tok!”
Partikel-partikel pada daun pintuku bergerak menghasilkan gelombang bunyi yang berfrekuensi tinggi dan mengejutkanku.
“Masuk!” jawabku sekenanya.
“Pak Rio, saya minta izin 15 menit keluar dulu…!”
“Sari kemarin kok izan, izin… Bapak tidak lihat apa kantor kita sedang banyak orderan?! Baru setahun jadi karyawan di sini sudah berani sering-sering izin!”
“Iya, saya tau, Pak… insya Allah nanti setelah saya kembali, saya selesaikan tugas saya.”
“Baiklah! Sepuluh menit!” Aku marah.
Entah apa yang membuatku marah. Mungkin rasa berkuasalah yang selama ini telah mengalahkanku. Selama ini memang aku selalu sensitif jika sedang berhadapan dengan karyawan-karyawanku. Aku selalu memposisikan diriku sebagai bos. Aku merasa bahwa aku berkuasa atas hidup mereka. Aku merasa hidup mereka ada di tanganku. Kapan pun aku bisa membuat mereka kehilangan pekerjaan. Dan selama ini, jika ada karyawan yang ku-PHK, banyak dari mereka yang memohon-mohon padaku untuk dikembalikan pekerjaannya.
Tapi kurasakan keanehan kini, aku merasa tak enak hati setelah memarahi Pak Halim, seorang karyawan yang setiap pukul 12.00 dan 15.00 meminta izin untuk keluar sejenak. Yang mukanya selalu teduh menghadapi keegoisanku. Selalu sabar menghadapi luapan emosiku yang kerap meledak-ledak di hadapannya.
Setahuku dia berasal dari keluarga yang kurang mampu. Tapi aku juga tahu dia mempunyai potensi yang besar untuk memajukan perusahaanku. Karena itulah, aku tetap mempertahankannya di perusahaanku. Pun ia tak pernah melalaikan tugasnya. Ia sangat bertanggung jawab. Lantas apa yang membuat aku marah-marah padanya hari ini dan tak jarang pada hari-hari lain?
“Lama sekali orang ini!” Aku membatin sambil menunggu Pak Halim yang sudah hampir setengah jam tak muncul- muncul juga di hadapanku.
Aku tahu, Pak Halim izin keluar hanya untuk menunaikan shalat; yang seharusnya aku pun melakukannya. Namun karena sering melalaikannya, aku jadi terbiasa tidak melaksanakan shalat. Aku tak merasa berdosa. Aku membiasakan diriku tuk tidak mendengarkan hatiku.
“Maaf, Pak! Tadi saya harus…”
“Ah… Alasan saja Anda ini! Mulai besok, Anda tidak boleh duduk di kursi itu lagi!”
Pak Halim paham apa maksud ucapanku dan ia lalu berpamitan setelah mengucapkan terima kasih.
***
Sejak kejadian itu, aku kini sering merenung. Aku sendiri kini yang harus memikirkan nasib perusahaanku. Dalam kondisi diriku yang seperti ini, bayangan wanita tua yang selalu mengingatkanku akan shalat pun selalu muncul setiap kali aku membutuhkan konsentrasi untuk memikirkan nasib perusahaan. Keputusan yang kuambil tak pernah tepat kini. Alhasil, perusahaanku pun gulung tikar. Utang di mana-mana.
“Aghhhhrrrhhh…!” Aku marah pada diriku sendiri. Aku terlalu egois. Kalau saja Pak Halim masih mendampingiku, aku tak akan sesusah ini. Ah… aku menyesal.
Kustarter BMW-ku, mesin berbunyi halus. Tanpa konsentrasi yang penuh, aku melaju.. Kali ini tak tahu aku akan pergi ke mana. Aku tak tahu, ingin aku kembali ke kampung halaman, meminta maaf pada ibuku, menziarahi kuburnya, aku malu. Pun begitu juga kepada saudara-saudaraku. Pak Halim, yang terkadang menjadi tempat curhatku, kini tak ada lagi di sampingku.
“Nak, bagaimanapun, jangan tinggalkan shalat! Itu adalah ibadah yang pertama kali dihisab.” Tiba-tiba bayangan Ibu muncul lagi di kaca depan mobilku. Menghalangi pandanganku ke depan.
“Nak! Kembalilah kejalan Tuhan-Mu!” Kali ini keringat dingin membasahi sekujur tubuhku. Aku menggigil. Perasaanku tak karuan.
“Nak! Ingatlah… semua harta benda hanya titipannya… kembalilah!”
“Tidaakk…!” Klakson dari mobil belakangku membuat konsentrasiku makin membuyar. Sorotan cahaya lampu dari mobil yang berlawanan arah denganku menyilaukan pandangan ini, saat bayangan Ibu hilang, yang kulihat hanya cahaya terang. Terang sekali, hingga aku tak nyaris buta. Klakson dari belakang terus beriringan.
“Ciiitttt! Brakkkk!!”
“Aduhh…” kurasakan nyeri yang tak terperi di bagian kepalaku. Cairan hangat mengalir dari kedua telingaku. Aku tak dapat menahan rasa nyeri yang amat sangat ini. “Bu,… maafkan aku…!”
“Ini peringatan buatmu, Nak! Kembalilah!” itu adalah kalimat terakhir ibu yang masih dapat kudengar dan kuingat. Ingatanku hilang seiring hilangnya bayangannya.
***
“Di mana aku? Mana Ibu ..?” Samar-samar kulihat wajah yang tak asing itu duduk di sampingku.
“Pak Halim? Kau kah yang membawaku ke rumah sakit ini?!”sembari bertanya-tanya pada diriku sendiri, mulutku terus berkomat-kamit.
Pak Halim hanya memandangiku haru. Air matanya mengalir. Sesekali ia seperti mengucapkan sesuatu kepadaku. Tapi aku tak mendengar apa-apa. “Astaghfirullohal’azhiim…!!!” ku berteriak mengharapkan ampunan dari Allah. Namun lagi-lagi, aku tak mendengar teriakanku sendiri. Tiba-tiba telingaku sakit. Dan aku baru sadar, kecelakaan malam itu membuatku tak dapat mendengar dan mungkin juga tak dapat berbicara. Aku tuli.
Tak ada yang lain yang bisa kulakukan. Hanya jeritan dalam hati yang mampu aku teriakkan. Tubuhku menggigil, kurasakan ngilu di ulu hatiku, seperti ditusuk sembilu. Dalam dan semakin dalam. Aku ingin shalat. Jam di dinding kamar putih itu menunjukkan pukul dua belas siang, waktu yang aku gunakan untuk memarahi Pak Halim yang izin keluar untuk melaksanakan shalat. Waktu ketika aku sering mengunci rapat-rapat telingaku dari suara azan yang mengalun syahdu. Dan kini suara itu benar-benar tak dapat lagi kudengar. Selama-lamanya.

0 komentar:

Posting Komentar